Skip to main content

Orang Meratap di Negeri Seribu Sungai

LOK Baintan, selepas subuh. Saya menuju kampung di Sungai Tabuk itu dari arah Banjarmasin. Kota yang dipilah jalanan lebar dari bandar udara, kendaraan yang melaju kencang, melewati sebuah jalan layang yang memanjang, perumahan mewah yang dibangun raksasa bisnis properti, diskotik dan mall yang menyala ketika malam tiba. Kota ini terasa mulai memadat. Boleh jadi, keuntungan atas tambang batu bara, sawit, dan kayu mencuri perhatian orang bergerak masuk ke kota ini. Mercu tanda (landmark) yang dilekatkan pada kota ini, kota seribu sungai. Boleh jadi, akan membuat orang tergoda berpikir. Kota itu mulai terasa rakus akan lahan di darat. Bersamaan dengan berkembangnya pemukiman yang menjorok memadati di atas maupun di tepian sungai. Mercu tanda itu tak sekedar sebuah fitur geografis, yang menjadi navigasi bagi orang akan sebuah kota, akan tetapi apakah justru berarti akan mengasingkan ruang hidup sebagian orang. Jadi, apa pemaknaan akan sungai? Tentu saja, membuat kita kemudian menginvestigasi, bagaimana ruang itu diorganisasi, bagaimana relasi-kuasa yang membentuknya.
Mobil perkotaan yang saya tumpangi, dikemudikan seorang ibu beranak dua, ini mulai terasa sedikit berguncang. Meski berjalan lambat. Saat berbelok ke arah kanan dari jalan raya beraspal yang menuju jembatan Barito. Kami memasuki jalan kecil selebar badan mobil, sebuah jalan rabat beton yang terkelupas. Bentangan sawah pasang-surut lahan gambut di sisi kiri jalan. Alur sungai Martapura di sisi lainnya. Sesekali mobil itu mendaki jembatan kayu di atas kanal yang menyalurkan air ke sawah selain jalur para petani, melewati rumah-rumah kayu yang kakinya terbenam di lahan gambut. Pemilik rumah menyisakan lahan pekarangan di depan rumah untuk kotak-kotak penyemaian padi. 
Tiba di dermaga Lok Baintan. Kampung yang dikenali orang ramai, sebagai tempat pasar terapung, selain Muara Kuin. Di atas klotok,  perahu bermesin tunggal, yang mengantar saya menyusuri sungai Martapura dari Lok Baintan hingga Siring,  Banjarmasin, saya berusaha untuk mencari tahu bagaimana orang mengorganisasikan ruang fisik sebagai tempat tinggal dan ruang penghidupan. Tak sekedar urusan ekonomi, interaksi sosial,  pertukaran pengetahuan, melainkan juga ekologi kebudayaan sungai.
Seorang ibu yang menggunakan jukung (sampan) tiba-tiba merapat di sisi kiri klotok yang saya tumpangi. Tak lama,  seorang ibu lainnya,  juga merapatkan jukungnya di sisi kanan. Mereka menawarkan kudapan buah dan wadai (untuk menyebut kue khas Banjar). Ada sejumlah buah lokal Banjar di jukungnya.

"Coba ini pak, ini namanya balangkasua, buah khas Banjar," katanya membuka percakapan. Sepintas buahnya mirip anggur. Saya lantas mencicipinya. Dagingnya berwarna putih tipis membalut biji. "Buah ini mulai langka, di sini tinggal satu orang yang menanam pohonnya." Penjelasan ibu penjual kudapan itu mengejutkan saya. Apa yang sebenarnya terjadi di sini. Boleh jadi, tak hanya balangkasua yang langka,  tapi buah hutan lainnya di pedalaman Kalimantan Selatan lainnya. Orang pun boleh menduga-duga hubungannya dengan menyusutnya hutan. Pengemudi klotok bercerita soal banjir, yang memasuki rumah setinggi ranjang,  tempat tidur,  akses akan air bersih, ikan sungai yang tak banyak lagi, hingga mulai sepinya pasar terapung di Lok Baintan. "Pasar terapung awalnya berada di Lok Baintan. Tapi pemerintah kota Banjarmasin memberi uang kepada pemilik perahu, agar pasar terapung di sana ramai, karena kalau bapak datang ke sini sabtu dan minggu pasti sepi," jelasnya. Saya pun mencoba paham, mulai memudarnya budaya sungai dengan menguatnya kepentingan orientasi kapitalistik dalam atraksi turisme, di sepanjang perjalanan di sungai Martapura menuju menara pandang Siring,  Banjarmasin.
Esok harinya,  saya ke Asam Asam,  Tanah Laut.  Sebuah kampung di tepian sungai Asam Asam,  sekitar tiga jam dari Banjarmasin. Kampung yang dikepung dengan perkebunan sawit,  PLTU batu bara,  dan tambang batu bara di sekitar hulu sungai. Hampir sama dengan Lok Baintan,  jalanan yang mengelupas dan berbatu. 

Sebuah kampung tua.  Itu pula yang membuat penduduknya dapat membandingkan gambaran kampung dalam linimasa. "Kami hanya menerima dampak,  pak. Bukan keuntungan yang kami terima," ujar seorang anak muda.  Kami mempercakapkan seperti apa perubahan yang terjadi, yang mereka rasa dan lihat,  ketika tambang batu bara mulai beroperasi, meluasnya tanaman sawit,  dan pembangunan PLTU batu bara,  serta keberadaan sungai Asam Asam dengan anak muda,  ibu-ibu,  dan pemuka masyarakat. Inilah cerita mereka. Sungai itu tak lagi jernih, dibandingkan sebelum tambang, sawit dan PLTU itu ada.  Airnya tidak lagi dapat untuk memasak dan buat air minum.  Kalaupun gali sumur,  airnya juga tak dapat untuk memasak dan untuk air minum. Kalaupun air sungai untuk mandi,  terasa gatal-gatal. Dulu mereka dapat udang sungai hingga 5 kilo,  sekarang tidak bisa,  sering hanya dapat 2 ekor saja. "Limbah tambang, limbah dari PLTU, dan racun pestisida dari perkebunan sawit yang dibuang ke sungai, itu yang menyebabkan," kata mereka. Mereka juga menceritakan banjir besar dan membuat mereka menggungsi, ketika limbah tambang batu bara dibuang bersamaan dengan air pasang. Banjir itu pula sawah mereka gagal panen. Peristiwa yang tak pernah terjadi sebelum tambang itu ada. 
Pembangunan PLTU dan meluasnya perkebunan sawit hingga sampai di tepian sungai merusak tanaman nipah. Bagi penduduk kampung,  rusaknya nipah menjadi bencana ekonomi. Mata pencaharian mereka sangat tergantung pada tanaman nipah. Mereka adalah pengerajin daun nipah yang dijadikan lembaran atap nipah. Atap nipah mereka jual sampai Bati Bati,  perbatasan Tanah Laut dengan Banjar Baru. Seorang anak muda lainnya,  mengajak saya menyusuri sungai Asam Asam dengan klotok. Ketika melewati PLTU, saya menjumpai bekantan yang bergelantung di pohon-pohon besar di tepi sungai.  Orang menyebutnya monyet belanda,  satwa yang dilindungi.  Boleh jadi,  satwa yang menjadi aikon dunia fantasi di Jakarta itu, habitatnya akan terancam seiring ekspansi lahan sawit yang menggerus hutan mereka.
Maka, boleh jadi kebudayaan sungai itu akan berakhir. Dan, kekuatiran bagi  Banua,  begitu sebutan "negeri" orang-orang Kalimantan Selatan,  adalah Meratus. Pengunungan karst yang membelah Kalimantan Selatan menjadi dua bagian yang hampir sama. Dimana tempat sebagian hulu sungai-sungai itu. Seorang kawan menyebutnya Meratus adalah atap Kalimantan Selatan pada saya. Kita bisa membayangkan, apa jadinya kalau ekosistem Meratus itu rusak. Di Hulu Sungai Tengah,  sebuah kabupaten di Meratus,  pemerintah dan warganya menolak masuk pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Saat ini,  mereka menggalang kampanye  selamatkan Meratus,  seiring dengan rencana pemerintah di Jakarta memberi izin eksploitasi tambang di Meratus. Kita tak ingin warisan ekologis terakhir itu terkoyak dan hilang yang membuat orang meratapinya.

Rawa Barat,  Kebayoran Baru, 6 Pebruari 2018





Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga

Saat Korporasi Mengatur Perut Kita

SAHABAT saya, Al Mujahid Akmal, menulis di halaman  facebook -nya: "jika setiap orang berpikir, siapa dan dengan cara seperti apa makanan diproduksi sebelum mereka konsumsi ... ada baiknya kalau saya coba belajar menanam sendiri". Aneka tanaman sayuran dan tanaman pangan, tumbuh sehat di halaman belakang rumahnya. Rasanya, kata "halaman belakang" sudah lama menghilang di setiap-kali pameran rumah di Kota Makassar. Orang di kota ini, terlanjur hidup diantara tembok yang bersekat-sekat, tanpa halaman. Beruntung sahabat saya ini, dapat berkebun di halaman belakang, yang bukan dimaksudkan bagian dari estetika atau keindahan, apalagi guna memenuhi kebutuhan cerita cerdas sebuah proyek. Akan tetapi, dibaca sebagai bagian sikap dan kritik dia atas sistem produksi pangan, selain untuk keperluan konsumsi sendiri. Atau, dalam bahasa ideologisnya, sebagai "konsumsi berkelanjutan". Sekitar 13 ribu kilometer dari tempat sahabat saya menulis sikapnya, tengah terj

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New Imp