HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia, dimana lebih 10 juta hektar hutan produksi itu berada.
Saya menyusur sungai Sesayap dengan speedboat empat mesin dari pelabuhan Tengkayu, Tarakan, menuju Malinau. Jarak tempuh sekitar tiga jam. Speedboat yang saya tumpangi kerap menghindar potongan-potongan kayu yang hanyut mengapung, agar tidak membuat kita terkatuk-katuk. Kayu-kayu itu juga nampaknya berisiko bagi mesin speedboat. Sejumlah media lokal menyebutkan, usaha kayu bentukan (moulding) telah membuang limbah potongan kayu itu. Sungai Sesayap juga menjadi jalur sibuk kapal tongkang angkut batubara. Ada tiga-empat pelabuhan (port) dengan coal stock pile, tempat penyimpanan batubara sebelum dijual atau dikapalkan, yang berada di tepian sungai, seperti di Muara Bengalun dan Batu Lindung. Beberapa menit sebelum sandar di dermaga pelabuhan speedboat Malinau, tampak sebuah coal stock pile yang berada diseberang PLTU Kelapis, Malinau, sebuah PLTU batubara skala kecil 2x3 MW, salah satu yang disebut Presiden Jokowi sekitar setahun lalu, dari 34 proyek pembangkit listrik yang mangkrak, terbengkalai.
Saya tiba di kota Malinau, cuaca cukup terik, suhu menunjukan angka 33 derajat celcius. Sebuah kota yang berada pada pertemuan dua sungai Malinau dengan Sesayap. Populasi kabupaten Malinau pada 2015, lebih dari 77 ribu jiwa. Saya agak tergoda dengan rasio jenis kelamin, ada 117 laki-laki untuk 100 perempuan. Sektor pertambangan dan penggalian memberi kontribusi terbesar struktur ekonomi kabupaten ini. Saya ingin masuk lebih ke dalam lagi. Saya ingin menyimak perubahan apa yang terjadi pada kelompok etnis lokal ketika ruang-ruang geografis berubah atau mengalami reorganisasi bersamaan datangnya industri ekstraktif. Jika dipahami bahwa ruang bukanlah sesuatu yang obyektif akan tetapi mengalami penghayatan atau pemaknaan sebagai pengalaman subyektif. Di Malinau terdapat kelompok etnis seperti, Lundayeh, Punan, Kenyah, Tidung, Merap. Bagaimana kebudayaan mereka bekerja merespon perubahan ruang.
Pagi itu, belum pukul 7. Saya menuju desa Long Lore (Loreh). Sekitar tiga jam dari kota Malinau. Selimut kabut pagi masih tersisa di sela-sela pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, di kiri-kanan jalan raya ke arah ibukota Tanjung Selor. Di sebuah persilangan jalan, kami berbelok ke arah selatan mengambil jalan pintas, melaju di atas coal hauling road, jalan pengangkutan batubara (dump truck). Menembus jalan hauling bukan hal mudah. Jalan tanah yang tidak rata, berdebu, penuh tikungan dan tanjakan, selain lalu-lalang truk-truk besar yang membawa batubara antara 18 hingga 30 ton. Jalan hauling bukan jalan sunyi. Penambangan batubara tidak pernah tidur. Setiap melewati rest area, saya melihat wajah-wajah kusut dan mata yang masih memerah para sopir truk besar itu. Musik rock menghentak sepanjang perjalanan dari pemutar cakram padat mobil yang saya tumpangi, membuat kami tetap terjaga diantara kabut pagi seiring debu-debu menggumpal yang beterbangan menyergap kaca mobil setiap kali truk-truk besar itu lewat. Kami memutar ke belakang lewat Desa Langap sebelum ke Long Loreh. Dua desa yang sama-sama berada di daerah aliran sungai Malinau.
Tidak seluruh jalan hauling itu membelah hutan belukar, akan tetapi melewati lahan milik penduduk, kebun kakao dan kopi, huma atau lahan padi ladang, juga pemukiman petani pekebun. Seorang kawan bercerita cara masyarakat yang berada di jalan hauling itu melampiaskan kemarahan. Satu hal yang tiba-tiba saja mengingatkan saya pada riset antropolog James Scott, di kampung Sedaka, Kedah, Malaysia. Sebagaimana dalam buku klasiknya yang tak pernah dicetak ulang lagi: Senjatanya Orang-orang yang Kalah. Strategi perlawanan atau pertarungan anonim kaum lemah menghadapi tekanan struktural dan relasi mencengkeram dari kelompok ekonomi politik yang kuat, meski tidak atau kurang memiliki akibat-akibat yang revolusioner. Tentu saja, kisah-kisah itu tidak tercatat dalam sejarah formal.
Mereka biasa membentangkan tali rafia memblokir jalan hauling, yang menyebabkan truk-truk besar itu berhenti beroperasi, membuat lumpuh ekonomi perusahaan tambang untuk sementara waktu. Aksi tali rafia itu mulai berkait pada tuntutan kompensasi atau ganti rugi yang belum terbayarkan hingga hanya meminta perusahaan tambang segera menyiram air di jalan hauling agar debu-debu itu tidak beterbangan.
Saat ini ada empat perusahaan tambang batubara yang beroperasi di Malinau, dari enam perusahaan tambang yang mendapat izin eksploitasi. Pada 22 Desember 2016, gubernur bank Jepang, JBIC (Japan Bank for International Cooperation), Akira Kondoh, menandatangani perjanjian pinjaman sebesar USD 24 juta dengan perusahaan Jepang, Idemitsu Kosan. Pinjaman yang digunakan membiayai Idemitsu Kosan mengakuisisi 30 persen saham tambang batubara Malinau. Idemitsu Kosan juga melakukan kesepakatan pembelian jangka panjang, membeli 30 persen batubara termal yang dihasilkan dari tambang Malinau dan menjualnya pada perusahaan pembangkit listrik Jepang. Idemitsu, rasanya bukan kata asing di bengkel-bengkel mobil dan sepeda motor. Idemitsu dikenali sebagai salah satu merek minyak pelumas (oli) mesin.
JBIC memiliki kepentingan turut mengamankan pasokan sumberdaya ke Jepang, salah satunya adalah batubara. Bagi Jepang, Indonesia merupakan negara asal importir batubara yang kedua, setelah Australia. Selain itu, pemerintah Jepang juga memberikan utang untuk pembangunan PLTU batubara di Indonesia sejak masa pemerintahan presiden Soeharto.
Pada november 1994, ODA (Official Development Assistance) Jepang memberikan utang untuk pembangunan PLTU batubara di Asam Asam, sekitar 123 kilometer dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kemudian, berlanjut penambahan unit pembangkit listrik batubara dari 4x65 MW, dengan pembangunan unit 5 dan 6 (2x100 MW). Korporasi ITOCHU yang berkantor pusat di Minato-ku, Tokyo, pada 31 Juli 2017, dalam siaran persnya menyebutkan JBIC juga turut menyokong dalam pinjaman sebesar USD 89 juta guna mendanai proyek pembangunan unit 5 dan 6 PLTU Asam Asam tersebut. ITOCHU diketahui terlibat dalam bisnis pembangkit listrik di Indonesia, salah satunya investasi IPP pembangkit listrik panas bumi (geothermal) Sarulla, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, konsorsium bersama Medco Power Indonesia.
Dalam perjalanan, saya melihat dan menyimak cerita akan ceruk-ceruk di titik lokasi tambang batubara. Saya sendiri kurang paham sistem, metode, dan teknik penambangan batubara, mulai dari pengupasan hingga reklamasi. Namun, dari cerita yang hadir dan kesaksian masyarakat sekitar atau lingkar tambang menunjukan, tercerabutnya narasi dan penghayatan atau pemaknaan atas ruang dalam pengalaman subyektif mereka sebelumnya. Tambang-tambang itu berada di dalam landskap Kalimantan yang penuh sungai dan anak sungai. Banyak kecemasan orang yang sudah merasuk sampai ke dalam tulang-tulang, ketika para penambang itu melalaikan tanggung jawabnya atas ceruk-ceruk atau lubang-lubang bekas penambangan. Ceruk-ceruk yang rapuh itu menampung air asam tambang (acid mine drainage), lantas dengan mudah merembes atau menerobos ke sungai hingga terasa sampai ratusan kilometer.
Di Kalimantan Selatan, tempat pemasok batubara nomor dua di negeri ini, saya mendengar cerita seorang warga desa Asam Asam, bagaimana perusahaan tambang membelokkan, menggeser sungai demi operasi penambangan batubara. Sementara warga yang lainnya mengeluhkan kerapkali terjadi banjir bandang yang menyapu pemukiman, menenggelamkan rumah mereka dan susutnya hasil tangkapan udang galah sungai, setelah beroperasinya penambangan batubara.
Di Kalimantan Utara, saya menjumpai cerita yang serupa. Seorang warga di kota Malinau menuturkan bagaimana keruhnya air sungai Malinau akibat meluapnya air dari lubang endapan limbah perusahaan tambang batubara, hingga membuat lumpuh PDAM beberapa hari dalam mendistribusikan air bersih ke rumah warga. Peristiwa tercemarnya air sungai Malinau akibat limbah tambang bukan satu kali terjadi. Ikan air tawar seperti patin dan pelian, mulai tidak mudah dicari. Para pencari ikan dengan katinting, perahu motor tempel, harus menembus lebih jauh lagi menuju hulu. Hasil tangkap ikan pelian juga tidak seperti dulu lagi, mulai menurun, meski harganya sudah tembus 80 ribu per kilogram.
Hal yang lain dalam perjalanan ini, yang memantik minat saya untuk tahu lebih dalam adalah, desa-desa yang hilang, berpindah, bahkan berkumpul satu lokasi bersama desa lainnya. Di desa Long Loreh, saya mendapati kantor desa Sengayan. Dua desa yang memiliki mayoritas etnis atau ethno linguistik yang berbeda, Kenyah dan Merap. Selain itu, desa Pelancau di pemukiman Long Loreh yang mayoritas etnis Punan. Saya tertarik dengan gambar peta sebaran kelompok etnis di daerah aliran sungai Malinau dalam buku Desentralisasi Tata Kelola Hutan (Politik, Ekonomi, dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia) yang diterbitkan CIFOR (Center for International Forestry Research), 2009. Sejarah pemukiman di daerah aliran sungai Malinau, bagi saya, cukup kompleks, dengan berbagai relasi kuasa berkait klaim kepemilikan dan wilayah geografis, selain mengubah formasi sosial. Formasi sosial berkait dengan corak produksi. Salah satu bagian tulisan dalam buku ini menyebutkan, dalam rentang waktu 1970 hingga 1990, pemerintah Orde Baru mendorong perpindahan kelompok komunitas, desa-desa dari hulu ke hilir, bukan hanya penduduk akan tetapi juga struktur dan wilayah administrasi desa. Perpindahan desa juga terjadi pada desa-desa yang berada di wilayah konsesi tambang.
Corak produksi kapitalistik yang didorong lembaga-lembaga keuangan internasional kian merasuk ke pedalaman negeri ini. Bank dunia boleh jadi, mengakui masyarakat adat, bahkan memberi hibah USD 6,25 juta, akan tetapi tetap saja memiliki watak antagonis. Titik paling krusial adalah pemahaman atau penafsiran lembaga-lembaga keuangan internasional itu terhadap masyarakat adat, bukan pada masyarakat hukum adat, sebagai penyandang hak, subyek hukum dan pemilik wilayah adat. Di desa Langap, jalanan baru saja disiram air dari truk pengangkut air perusahaan tambang. Matahari pagi yang hangat mulai terasa. Tak begitu jauh dari rumah sakit Bergerak. "Udara di sini masih segar," kata saya pada seorang ibu yang telah tinggal lebih dari lima tahun di Langgap. Tapi, wajahnya tak bergeming. Hanya seruas senyum tipis di bibirnya. "Banyak debu di sini," ujarnya pendek.
Tamalanrea, 18 Februari 2018
Di Kalimantan Selatan, tempat pemasok batubara nomor dua di negeri ini, saya mendengar cerita seorang warga desa Asam Asam, bagaimana perusahaan tambang membelokkan, menggeser sungai demi operasi penambangan batubara. Sementara warga yang lainnya mengeluhkan kerapkali terjadi banjir bandang yang menyapu pemukiman, menenggelamkan rumah mereka dan susutnya hasil tangkapan udang galah sungai, setelah beroperasinya penambangan batubara.
Di Kalimantan Utara, saya menjumpai cerita yang serupa. Seorang warga di kota Malinau menuturkan bagaimana keruhnya air sungai Malinau akibat meluapnya air dari lubang endapan limbah perusahaan tambang batubara, hingga membuat lumpuh PDAM beberapa hari dalam mendistribusikan air bersih ke rumah warga. Peristiwa tercemarnya air sungai Malinau akibat limbah tambang bukan satu kali terjadi. Ikan air tawar seperti patin dan pelian, mulai tidak mudah dicari. Para pencari ikan dengan katinting, perahu motor tempel, harus menembus lebih jauh lagi menuju hulu. Hasil tangkap ikan pelian juga tidak seperti dulu lagi, mulai menurun, meski harganya sudah tembus 80 ribu per kilogram.
Hal yang lain dalam perjalanan ini, yang memantik minat saya untuk tahu lebih dalam adalah, desa-desa yang hilang, berpindah, bahkan berkumpul satu lokasi bersama desa lainnya. Di desa Long Loreh, saya mendapati kantor desa Sengayan. Dua desa yang memiliki mayoritas etnis atau ethno linguistik yang berbeda, Kenyah dan Merap. Selain itu, desa Pelancau di pemukiman Long Loreh yang mayoritas etnis Punan. Saya tertarik dengan gambar peta sebaran kelompok etnis di daerah aliran sungai Malinau dalam buku Desentralisasi Tata Kelola Hutan (Politik, Ekonomi, dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia) yang diterbitkan CIFOR (Center for International Forestry Research), 2009. Sejarah pemukiman di daerah aliran sungai Malinau, bagi saya, cukup kompleks, dengan berbagai relasi kuasa berkait klaim kepemilikan dan wilayah geografis, selain mengubah formasi sosial. Formasi sosial berkait dengan corak produksi. Salah satu bagian tulisan dalam buku ini menyebutkan, dalam rentang waktu 1970 hingga 1990, pemerintah Orde Baru mendorong perpindahan kelompok komunitas, desa-desa dari hulu ke hilir, bukan hanya penduduk akan tetapi juga struktur dan wilayah administrasi desa. Perpindahan desa juga terjadi pada desa-desa yang berada di wilayah konsesi tambang.
Corak produksi kapitalistik yang didorong lembaga-lembaga keuangan internasional kian merasuk ke pedalaman negeri ini. Bank dunia boleh jadi, mengakui masyarakat adat, bahkan memberi hibah USD 6,25 juta, akan tetapi tetap saja memiliki watak antagonis. Titik paling krusial adalah pemahaman atau penafsiran lembaga-lembaga keuangan internasional itu terhadap masyarakat adat, bukan pada masyarakat hukum adat, sebagai penyandang hak, subyek hukum dan pemilik wilayah adat. Di desa Langap, jalanan baru saja disiram air dari truk pengangkut air perusahaan tambang. Matahari pagi yang hangat mulai terasa. Tak begitu jauh dari rumah sakit Bergerak. "Udara di sini masih segar," kata saya pada seorang ibu yang telah tinggal lebih dari lima tahun di Langgap. Tapi, wajahnya tak bergeming. Hanya seruas senyum tipis di bibirnya. "Banyak debu di sini," ujarnya pendek.
Tamalanrea, 18 Februari 2018