AKHIR Juli. Saya agak takjub melihat sebuah gedung bioskop tua, dekat kantor polisi di Kepatihan, Kaliwates, Jember. Bioskop ini dibuka pertama kali 1952. Masih bertahan hingga saat ini: memutar film, sekaligus masih punya penonton yang bersetia. Sebuah bioskop yang berdiri tersendiri, tidak terintegrasi dengan pusat perbelanjaan sebagaimana penampakan bioskop pada "zaman now". Bangunan kuno ini terasa kokoh bagi saya. Bukankah banyak bioskop serupa mengakhiri riwayatnya dengan cara menyedihkan.
Awalnya bernama Ambassador. Lantas, tahun 1960 berganti nama. Seiring seruan Presiden Soekarno kala itu, mengganti semua penggunaan nama-nama asing. Beberapa kali berganti nama. Terakhir, bernama Jember Cineplex. Penamaan yang mengingatkan kita akan jejaring bioskop yang mulai populer akhir 1980an.
Gedung bioskop Ambassador rupanya menyimpan jejak peristiwa penting di negeri ini. Tak sekedar, sebagai tempat tontonan. Akhir 1958, gedung bioskop ini menjadi tempat pertemuan antara para pengusaha partikelir berbagai perkebunan milik Belanda di Jember dengan pemerintah setempat. Tepat sepekan dilaksanakan rapat pleno DPR, yang menyetujui undang undang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Atau, sekitar setahun sesudah kampanye besar-besaran di Jakarta dan kota-kota lainnya: sita modal Belanda. Tidak semua pengusaha mau sukarela menyerahkan aset kepemilikan perkebunan. Mereka ini lantas dipanggil ke Surabaya oleh penguasa militer.
Lewat catatan sejarah, kita pun tahu, peristiwa nasionalisasi dipicu ketika tensi politik kian memanas, diplomasi berkait tanah Papua (Irian Barat) dengan Belanda yang mulai macet. Perlawanan repertoar massa buruh dan petani dalam melakukan re-klaim (pengambil-alihan) perusahaan-perusahaan asing pada paska kemerdekaan. Selain, dukungan dan keterlibatan tentara dalam peristiwa nasionalisasi. Di kemudian hari, militer menjadi pemain penting dalam perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi.
Pertemuan di gedung bioskop itu, paling tidak, memperlihatkan pada kita: bagaimana ruang (spasial) diproduksi atau diciptakan lewat logika kapital. Seperti kata kawan saya, Wahyudin Hasan, alumni sejarah sebuah universitas di Makassar: "perkebunan-perkebunan besar milik partikelir itu membentuk kota ini". Saat kami membuka percakapan produksi dan praktik ruang, di pinggir pelataran alun-alun Jember, tak jauh dari Mesjid Jami' Al Baitul Amien, menjelang magrib. Pertanyaan pentingnya, bagaimana kita dapat menjelaskan relasi dialektika politik teritorial dengan akumulasi kapital dalam landskap ruang. Bagaimana logika kapital mereorganisasi atau mengkonstruksi entitas teritorial.
Kalau boleh, kita dapat membuka kembali peraturan pemerintah yang terbit akhir Pebruari 1959, dimana menempatkan sejumlah perusahaan perkebunan tembakau milik Belanda di Jember yang dikenai nasionalisasi, selain perkebunan-perkebunan tembakau di Deli Serdang dan tempat lainnya. Di dalamnya terdapat nama NV Landbouw Maarschappij Oud Djember (LMOD). Perusahaan yang didirikan George Birnie dan dua rekannya, Oktober 1859. Mereka membuka perkebunan tembakau skala besar di Jember. Namun, jauh sebelum kedatangan Birnie, tembakau sudah dikembangkan di Jember. Kelak di kemudian hari, berkembang perkebunan besar milik partikelir selain tembakau, seperti kopi, kakao tebu dan karet. Ketika diberlakukan undang-undang agraria 1870 (agrarische wet), yang didorong para politisi liberal di Hindia Belanda sebagai reaksi atas sistem tanam paksa (cultuurstelsel) 1830, Birnie mendapatkan hak erfpach, di Jenggawah, Jember. Hak itu dapat dibaca sebagai kuasa partikelir atas sumberdaya agraria, dalam konteks perebutan bahkan bisa dinyatakan perampasan sumberdaya agraria. Di Jenggawah itu, mengingatkan kita akan konflik besar agraria disertai kekerasan antara massa petani dengan PT Perkebunan XXVII tahun 1979. Usaha NV LMOD ini berkembang pesat setelah mendapatkan hak erfpach. Birnie juga bekerjasama dengan perusahaan pelayaran Belanda yang didirikan 1870, NV Stoomvaart Maatschappij Nederland (SMN) membangun pelabuhan Panarukan dengan nama Maatschappij Panaroekan pada 1886. Selain itu, pelabuhan Panarukan kemudian terhubung dengan jalur kereta api ke Jember yang beroperasi 1897.
Nama Panarukan mengingatkan kita pada Sang Tuan Besar Guntur atau Mas Galak, julukan bagi Gubernur Hindia Belanda 1808-1811, Herman Willem Daendels. Ia kerap kali dikenali dalam kaitan Jalan Raya Pos (De Grote Posweg) yang berawal dari Anyer di ujung barat. Usai lawatannya di Surabaya, pada September 1808, Daendels memerintahkan segera memulai pengerjaan Jalan Raya Pos yang berujung di timur hanya sampai di Panarukan. Mengapa hanya sampai Panarukan, selain karena alasan mempertahankan teritorial Hindia Belanda dari serangan Inggris dan penaklukan daerah? Daendels juga dikenali mereorganisasikan teritorial secara sentralistik dengan memecah wilayah menjadi karesidenan, selain mempreteli kuasa raja-raja Jawa sebagai pemilik tanah sebelumnya. Boleh jadi, politik teritorial berelasi dengan pergerakan kekuatan kapital mencari ruang keruk baru. Sebagaimana jalur Surabaya sampai Panarukan, yang menjadi lumbung gula dan terhubung dengan pasar komoditi internasional.
Saya singgah di sebuah kedai kopi, disamping gedung bioskop yang saya ceritakan. Saya memesan secangkir kopi kesukaan saya, Vietnamese drip. Saya sungguh menikmati atraksi tetesan kopi yang jatuh dari saringan melumeri susu kental di bawahnya. Sembari membaca sebuah tulisan Edy Burhan Arifin, sejarahwan Universitas Jember. Sesekali saya menengok gedung bioskop itu dari balik jendela kaca kedai kopi. Perkebunan-perkebunan besar milik partikelir itu memang membentuk ruang kota. Bukan pula hanya spasial, akan tetapi cara hidup. Ruang itu, mempercepat transisi dari barter menjadi uang tunai (monetisasi), juga berkembangnya populasi multi-etnik. Menjadi menarik, ketika kita melacak dialek di Jember. Jika dialek satu etnik dipahami sebagai tanda isolasi sosial mengalami perjumpaan dan saling dimengerti oleh etnik yang lainnya. Pelan-pelan saya menyeruput vietnamese drip.
Tamalanrea, 14 Desember 2017
Awalnya bernama Ambassador. Lantas, tahun 1960 berganti nama. Seiring seruan Presiden Soekarno kala itu, mengganti semua penggunaan nama-nama asing. Beberapa kali berganti nama. Terakhir, bernama Jember Cineplex. Penamaan yang mengingatkan kita akan jejaring bioskop yang mulai populer akhir 1980an.
Gedung bioskop Ambassador rupanya menyimpan jejak peristiwa penting di negeri ini. Tak sekedar, sebagai tempat tontonan. Akhir 1958, gedung bioskop ini menjadi tempat pertemuan antara para pengusaha partikelir berbagai perkebunan milik Belanda di Jember dengan pemerintah setempat. Tepat sepekan dilaksanakan rapat pleno DPR, yang menyetujui undang undang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Atau, sekitar setahun sesudah kampanye besar-besaran di Jakarta dan kota-kota lainnya: sita modal Belanda. Tidak semua pengusaha mau sukarela menyerahkan aset kepemilikan perkebunan. Mereka ini lantas dipanggil ke Surabaya oleh penguasa militer.
Lewat catatan sejarah, kita pun tahu, peristiwa nasionalisasi dipicu ketika tensi politik kian memanas, diplomasi berkait tanah Papua (Irian Barat) dengan Belanda yang mulai macet. Perlawanan repertoar massa buruh dan petani dalam melakukan re-klaim (pengambil-alihan) perusahaan-perusahaan asing pada paska kemerdekaan. Selain, dukungan dan keterlibatan tentara dalam peristiwa nasionalisasi. Di kemudian hari, militer menjadi pemain penting dalam perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi.
Pertemuan di gedung bioskop itu, paling tidak, memperlihatkan pada kita: bagaimana ruang (spasial) diproduksi atau diciptakan lewat logika kapital. Seperti kata kawan saya, Wahyudin Hasan, alumni sejarah sebuah universitas di Makassar: "perkebunan-perkebunan besar milik partikelir itu membentuk kota ini". Saat kami membuka percakapan produksi dan praktik ruang, di pinggir pelataran alun-alun Jember, tak jauh dari Mesjid Jami' Al Baitul Amien, menjelang magrib. Pertanyaan pentingnya, bagaimana kita dapat menjelaskan relasi dialektika politik teritorial dengan akumulasi kapital dalam landskap ruang. Bagaimana logika kapital mereorganisasi atau mengkonstruksi entitas teritorial.
Kalau boleh, kita dapat membuka kembali peraturan pemerintah yang terbit akhir Pebruari 1959, dimana menempatkan sejumlah perusahaan perkebunan tembakau milik Belanda di Jember yang dikenai nasionalisasi, selain perkebunan-perkebunan tembakau di Deli Serdang dan tempat lainnya. Di dalamnya terdapat nama NV Landbouw Maarschappij Oud Djember (LMOD). Perusahaan yang didirikan George Birnie dan dua rekannya, Oktober 1859. Mereka membuka perkebunan tembakau skala besar di Jember. Namun, jauh sebelum kedatangan Birnie, tembakau sudah dikembangkan di Jember. Kelak di kemudian hari, berkembang perkebunan besar milik partikelir selain tembakau, seperti kopi, kakao tebu dan karet. Ketika diberlakukan undang-undang agraria 1870 (agrarische wet), yang didorong para politisi liberal di Hindia Belanda sebagai reaksi atas sistem tanam paksa (cultuurstelsel) 1830, Birnie mendapatkan hak erfpach, di Jenggawah, Jember. Hak itu dapat dibaca sebagai kuasa partikelir atas sumberdaya agraria, dalam konteks perebutan bahkan bisa dinyatakan perampasan sumberdaya agraria. Di Jenggawah itu, mengingatkan kita akan konflik besar agraria disertai kekerasan antara massa petani dengan PT Perkebunan XXVII tahun 1979. Usaha NV LMOD ini berkembang pesat setelah mendapatkan hak erfpach. Birnie juga bekerjasama dengan perusahaan pelayaran Belanda yang didirikan 1870, NV Stoomvaart Maatschappij Nederland (SMN) membangun pelabuhan Panarukan dengan nama Maatschappij Panaroekan pada 1886. Selain itu, pelabuhan Panarukan kemudian terhubung dengan jalur kereta api ke Jember yang beroperasi 1897.
Nama Panarukan mengingatkan kita pada Sang Tuan Besar Guntur atau Mas Galak, julukan bagi Gubernur Hindia Belanda 1808-1811, Herman Willem Daendels. Ia kerap kali dikenali dalam kaitan Jalan Raya Pos (De Grote Posweg) yang berawal dari Anyer di ujung barat. Usai lawatannya di Surabaya, pada September 1808, Daendels memerintahkan segera memulai pengerjaan Jalan Raya Pos yang berujung di timur hanya sampai di Panarukan. Mengapa hanya sampai Panarukan, selain karena alasan mempertahankan teritorial Hindia Belanda dari serangan Inggris dan penaklukan daerah? Daendels juga dikenali mereorganisasikan teritorial secara sentralistik dengan memecah wilayah menjadi karesidenan, selain mempreteli kuasa raja-raja Jawa sebagai pemilik tanah sebelumnya. Boleh jadi, politik teritorial berelasi dengan pergerakan kekuatan kapital mencari ruang keruk baru. Sebagaimana jalur Surabaya sampai Panarukan, yang menjadi lumbung gula dan terhubung dengan pasar komoditi internasional.
Saya singgah di sebuah kedai kopi, disamping gedung bioskop yang saya ceritakan. Saya memesan secangkir kopi kesukaan saya, Vietnamese drip. Saya sungguh menikmati atraksi tetesan kopi yang jatuh dari saringan melumeri susu kental di bawahnya. Sembari membaca sebuah tulisan Edy Burhan Arifin, sejarahwan Universitas Jember. Sesekali saya menengok gedung bioskop itu dari balik jendela kaca kedai kopi. Perkebunan-perkebunan besar milik partikelir itu memang membentuk ruang kota. Bukan pula hanya spasial, akan tetapi cara hidup. Ruang itu, mempercepat transisi dari barter menjadi uang tunai (monetisasi), juga berkembangnya populasi multi-etnik. Menjadi menarik, ketika kita melacak dialek di Jember. Jika dialek satu etnik dipahami sebagai tanda isolasi sosial mengalami perjumpaan dan saling dimengerti oleh etnik yang lainnya. Pelan-pelan saya menyeruput vietnamese drip.
Tamalanrea, 14 Desember 2017