"ANTIBIOTICS off the menu", demikian kampanye yang diluncurkan organisasi konsumen internasional pada tahun ini. Penggunaan antibiotika yang berlebihan menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global, kita akan berhadapan dengan bakteri (mikroba) yang resisten (kebal) terhadap antibiotika. Hingga pada suatu hari, kita menjumpai kenyataan, antibiotik tidak lagi bisa melawan bakteri. Hanya sedikit goresan saja, orang bisa saja mati terbunuh. Boleh jadi, Alexander Fleming penemu antibiotika penisilin, yang mengobati infeksi, tidak menyangka kalau produksi antibotika tidak saja berada lini industri farmasi, namun berlipat ganda dengan industrialisasi pertanian dan peternakan. Fleming pun menyebutnya sebagai penemuan secara kebetulan. "Ketika saya bangun tidur, setelah fajar menyingsing, 28 September 1928, saya sama sekali tidak berniat merevolusi semua obat dengan penemuan antibiotik atau bakteri pembunuh,"ujarnya.
Sekitar setengah dari produk antibiotika secara global pada saat ini digunakan di sektor pertanian. Bahkan, boleh jadi, melebihi tingkat kekuatiran kita atas perilaku dalam mengkonsumsi antibiotika. Kita seringkali menjumpai kenyataan, bagaimana orang dengan mudah menebus resep di apotek untuk mendapat antibiotika, tidak mengkonsumsi obat sesuai anjuran atau tiba-tiba menghentikan konsumsi obat hanya karena kita merasa sudah baik, bahkan lebih brutal lagi, memaksa dokter memberi antibiotik untuk penyakit akibat virus, padahal antibiotik efektif untuk melawan infeksi bakteri. Atau, lupa dengan kata-kata bijak: lebih baik mencegah daripada mengobati. Sementara di lahan-lahan pertanian, racun pestisida antibiotika guna mengatasi penyakit bakteri dan jamur pada tanaman, kenyataannya berlangsung secara intensif diperburuk dengan lemahnya regulasi. Kebanyakan antibiotika di sektor ini, berada di peternakan, agar hewan-hewan ternak itu segera bisa tumbuh lebih cepat. Kekuatiran kita adalah industri peternakan bersikap keras kepala lebih baik memberi obat antibiotik daripada mencegah. Organisasi konsumen internasional merilis prediksi peningkatan dua per tiga penggunaan antibiotik di sektor ini, dari 63.200 ton pada 2010 menjadi 105.600 ton pada 2030. Pada akhirnya, bakteri yang resisten itu menyebar dari peternakan ke orang melalui udara, tanah, air, pupuk kandang, dan konsumsi daging, serta produk hewani yang terkontaminasi.
Bagaimana kita bisa menjegal resistensi antibiotika dalam rantai makanan? Arsitektur dunia saat ini adalah bangunan oligarki. Mereka, yang sedikit itu, memiliki kuasa atas setiap lini sektor pertanian, pengemasan, distribusi, hingga retail. Di Makassar, petanya pun sudah jelas, jika berada di kawasan industri, bagaimana antara gudang pembelian jagung terhubung dengan pabrik pakan ternak dan DOC (bibit ayam), terhubung kandang-kandang ayam milik petani yang mereka beri nama: kemitraan, para pengumpul hingga sampai di pasar segar. 15 tahun lalu, mereka sangat ambisius dengan: "satu juta kandang ayam", seperti mengepung kota, kota Makassar.
Mertua saya, dulu aktif sebagai seorang pedagang "ayam-potong" di Pasar Pa'baeng-baeng, Makassar. Pernah suatu ketika saya menanyakan soal harga ayam, mengapa bisa naik-turun. Apa jawabnya. "Kau mesti tahu, bagaimana kartel itu bekerja, lihat saja harga di Manado dan Bali, kalau turun, pasti di Makassar tinggi,"katanya. Jadi setelanjang itukah kartel bekerja, di depan mata dan hati kita. Dua bulan lalu, anak kedua saya berkata pada saya,"ayah, saya tidak mau lagi makan ayam potong, tidak jelas asalnya darimana", seraya mengatakan nama sebuah waralaba dan nugget yang dijual di supermarket. Saya mengangguk-angguk, berusaha menebak-nebak apa maksud dibalik pernyataannya. Kemudian, anak saya menyambung kembali,"tapi, masih boleh kalau makan di Warung Padang". Waduh, ini sih bukan alasan ideologis.
Kebayoran Baru, 23 Maret 2016
Bagaimana kita bisa menjegal resistensi antibiotika dalam rantai makanan? Arsitektur dunia saat ini adalah bangunan oligarki. Mereka, yang sedikit itu, memiliki kuasa atas setiap lini sektor pertanian, pengemasan, distribusi, hingga retail. Di Makassar, petanya pun sudah jelas, jika berada di kawasan industri, bagaimana antara gudang pembelian jagung terhubung dengan pabrik pakan ternak dan DOC (bibit ayam), terhubung kandang-kandang ayam milik petani yang mereka beri nama: kemitraan, para pengumpul hingga sampai di pasar segar. 15 tahun lalu, mereka sangat ambisius dengan: "satu juta kandang ayam", seperti mengepung kota, kota Makassar.
Mertua saya, dulu aktif sebagai seorang pedagang "ayam-potong" di Pasar Pa'baeng-baeng, Makassar. Pernah suatu ketika saya menanyakan soal harga ayam, mengapa bisa naik-turun. Apa jawabnya. "Kau mesti tahu, bagaimana kartel itu bekerja, lihat saja harga di Manado dan Bali, kalau turun, pasti di Makassar tinggi,"katanya. Jadi setelanjang itukah kartel bekerja, di depan mata dan hati kita. Dua bulan lalu, anak kedua saya berkata pada saya,"ayah, saya tidak mau lagi makan ayam potong, tidak jelas asalnya darimana", seraya mengatakan nama sebuah waralaba dan nugget yang dijual di supermarket. Saya mengangguk-angguk, berusaha menebak-nebak apa maksud dibalik pernyataannya. Kemudian, anak saya menyambung kembali,"tapi, masih boleh kalau makan di Warung Padang". Waduh, ini sih bukan alasan ideologis.
Kebayoran Baru, 23 Maret 2016