Skip to main content

Panderman, Ekologi Politik

TIBA sore di Panderman, pekan lalu. Sebuah jalan menanjak, di kaki Gunung Panderman, di Desa Oro-oro Ombo, Batu, Jawa Timur, yang sesak dengan rumah inap (homestay) yang disewakan pada para pelancong. Kata seorang warga, terdapat lebih 250 homestay di Batu. Bisnis ini tumbuh menggeliat mulai 15 tahun lalu, sejak adanya pasar malam, BNS (Batu Night Spectacular). "Setiap rumah, sedikitnya ada tiga bilik kamar yang disewakan,"ujarnya sembari mengkalkulasi. Mungkin relatif agak berbeda dengan hotel, boleh jadi kalau dihitung-hitung lebih hemat, terasa seperti rumah sendiri, bisa menginap sekeluarga dalam satu kamar. Toh, kita mesti lebih jeli, tidak seperti kita bayangkan sebelumnya, tarif tiba-tiba melejit setara hotel, ketika para pelancong tumpah ruah di musim liburan panjang. "Homestay juga dikenakan iuran wajib paguyuban, tidak seberapa, untuk uang ronda keamanan dan dana sosial, seperti untuk para janda, kalau pajak dari pemerintah itu kan untuk tambal-tambal aspal jalanan,"kata seorang warga.
Kembali ke Batu, seperti mengembalikan ingatan masa kanak-kanak. Seingat saya, saat itu, sebelum masuk sekolah dasar, adalah pohon-pohon apel di halaman rumah kerabat dan kampung yang berhawa sejuk. Apabila kita mengulik di internet, disebutkan tahun 1970-an adalah masa keemasan apel Batu, saat para petani beralih dari tanaman kopi, kemudian menjadi ikon Batu. Seorang kawan menyebutnya sebagai "keajaiban", tumbuhan di daerah empat musim itu bisa berbuah di negara tropis sepanjang tahun. Mungkin ini juga bisa jadi semacam ironi. Kita pun juga tahu, beberapa tahun lalu, ketika negeri ini melepas petani apel di pasar-bebas, tanpa kebijakan progresif yang mendukung petani seperti reformasi agraria dan subsidi, hanya membuat petani kelimpungan.  Harga apel Batu jatuh, saat negeri ini dikepung apel Washington dan Cina. 
Waktu yang terus bergerak, membuat saya merasa, kampung ini berubah menjadi ramai dengan wahana wisata. Saya mencoba melihat gambaran kota yang memiliki populasi sekitar 189 ribu jiwa ini. Dengan menggunakan data departemen keuangan dan BPS, diketahui realisasi belanja (volume APBD)  per kapita di Kota Batu dalam update 1 Desember 2015 sebesar Rp 1.138.225. Bandingkan dengan tingkat kemiskinan 4,8 persen dari jumlah penduduk, dengan garis kemiskinan Rp 336.844 per kapita per bulan. Sebuah kota kecil tanpa pedestrian yang memadai, pejalan kaki seperti saya sekeluarga akan terasa kurang nyaman. Di sepanjang jalan Oro-oro Ombo, penuh dengan reklame jual kapling tanah, seolah tak ada lagi yang disisakan untuk lahan pertanian dan ternak. Namun, bagi saya, dalam gambaran kecil di Panderman, masih menyisakan suasana kampung, suasana kekeluargaan. Pemilik rumah yang kami inapi selama empat malam ini, mengirim susu sapi segar setiap pagi ke kamar. Maklum sekitar 100 meter dari tempat menginap, terdapat tempat distribusi koperasi susu sapi. 
Kami mengawali perjalanan sebuah wahana yang bernama Eco Green Park. Pertama kali kita diajak untuk menyaksikan model teknologi, yang saya pikir, mengembalikan ingatan akan kerja-kerja LSM akhir tahun 1980-an, riset partisipatoris dan teknologi tepat-guna. Saya melihat anak-anak menyukai dan berusaha mempelajari teknologi seperti: gravitasi air, tenaga surya, briket, biogas dan kaitannya dengan fenomena pemanasan global, perubahan iklim seperti merasakan gempa dan badai, tentu saja soal kampanye ekologi-hijau. Maka, pertanyaan yang selalu menggoda pikiran saya, apakah wahana ini menjadi terintegrasi dalam ekologi politik di Kota Batu. Saya jadi ingat perkataan pemilik rumah,"wah bapak ini ini bawa rejeki, sejak bapak menginap di sini air jalan terus, sebelumnya kami harus beli air pakai jerigen untuk isi bak air kamar mandi". Mungkin perkataan itu berlebihan, yang saya tangkap adalah kota ini mungkin saja bermasalah dengan sumberdaya air, tidak sekedar masalah pelayanan PDAM.
Dua hari lalu, saya bertemu dengan sahabat saya, seorang akademisi, di sebuah ruangan di kantornya, lembaga penerbitan sebuah universitas di Makassar. Kami mempercakapkan sebuah buku karya David Korten yang diterbitkan tahun lalu, Change the Story, Change the Future: A Living Economy for A Living Earth. Sahabat saya ini mengatakan,"Korten menganalogikan bumi seperti wahana antariksa di alam semesta, dan kita bergelantungan di wahana itu seperti astronaut". Buku Korten ini, kumpulan esai inspiratif, mendiskusikan kegagalan sistem sosial dan lingkungan. Sementara manusia dilahirkan dan dipelihara oleh bumi dan hidup di alam semesta, kata Korten, maka untuk bertahan hidup dan berkembang mestinya kita belajar berkontribusi dan bertanggungjawab untuk kehidupan masyarakat di bumi. Kebijakan masyarakat tradisional, pelajaran dari para nabi, dan temuan ilmu mengkonfirmasikan kisah nyata yang hidup di hati manusia, guna menemukan masa depan yang cerah, kita harus berbagi satu dengan yang lainnya apa yang sudah kita ketahui, demikian kata Korten dalam Majalah YES!
Maka Eco Green mestinya bukan museum yang mati, apalagi wahana wisata untuk selfie, foto narsis. Wahana ini dipraktikan, terintegrasi dengan kota kecil ini, kehidupan ekonomi politik yang ekologis. Hari terakhir liburan, menuju bandara Juanda, Waru, saya terkejut dengan perkataan driver mobil kami,"pak kalau mau investasi, beli murah di dekat Fun Predator Park, masih murah, bapak nanti bisa bikin homestay, bikin warung makanan dan usaha laundry, tahun ini lagi dibangun kereta gantung dari Kota Malang, tiang pancangnya mulai ditanam". Saya pikir, ini bukan yang diharapkan David Korten, tentu saja, dalam menemukan ekonomi baru di bumi.

Paccerakkang, 7 Januari 2016



Popular posts from this blog

Matano, Kisah Dua Tambang

SAWEDI Muhammad, seorang kawan, malam itu memberi saya sebuah buku. Usai sebuah pertemuan di kedai kopi, seberang sebuah bangunan apartemen yang berdiri congkak di jantung keramaian Makassar. Sebuah buku bersampul latar warna abu-abu: Gelombang Perlawanan di Tepian Matano. Ada dua hal yang memikat dari buku ditulis kawan saya. Pertama, kata Matano itu sendiri. Ingatan akan dua kisah tambang. Jejak-jejak sejarah peradaban metalurgi sebelum tahun 1000 hingga pada kisaran 1200. Sejumlah temuan arkeologi, mengirim bukti atau petunjuk geografis yang menguatkan mengenai pemukiman awal, pergerakan populasi, ekstraksi dan peleburan bijih besi, dan jaring ekonomi perdagangan besi hingga akhir abad 16. Kisah selanjutnya, penambangan nikel yang beroperasi sejak di awal rezim Soeharto. Kedua, buku ini ditulis seorang yang pernah bekerja selama 8 tahun pada sebuah maskapai tambang transnasional, PT International Nickel Indonesia - sekarang bernama PT Vale, anak perusahaan Inco Canada Limited yang ...

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Topeng Monyet, Malam Lebaran

MONYEEET ... Anak perempuan saya berteriak, ketika melintas depan sebuah swalayan waralaba. Tak jauh dari rumah. Malam lebaran. Takbir berkumandang, menyempurnakan bulan suci Ramadhan. Orang ramai merayakan kemenangan. Di depan swalayan itu, tengah berlangsung pertunjukan dari rombongan pengamen topeng monyet. D i beberapa tempat di Jawa dikenal sebagai tandhak bedhes  (tarian monyet).   Teriakan anak saya itu, membuat saya penasaran melacak hal ikhwal topeng monyet. Seni pertunjukan komersial yang saat ini bertahan di lorong-lorong sempit, pemukiman miskin, dan kampung pinggiran kota Makassar. Begitu pula dengan kata-kata, yang masih dalam ingatan saya: "sarimin pergi ke pasar".  Nama Sarimin menjadi semacam brand paling umum dipakai, bagi si "aktor" monyet berekor panjang ( macaca fascicularis ) itu. Asal-usul nama itu tak begitu jelas bagi saya. Mungkin saja, diambil dari alat tabuh saron mini, yang dipakai dalam atraksi pertunjukan topeng monyet. Kata-kata: ...

Separasi, Segregasi, Ruang Kota Kolonial

HALAMAN belakang selalu memberi imajinasi. Pekan lalu, saya merasa beruntung dapat menjelajahi halaman belakang Pulau Ambon. Garis awal, pagi itu, langit biru sedikit awan, dari jalan sempit di samping markas polisi. Mobil kami mulai merayap di tanjakan jalan dan berkelok-kelok di punggung pegunungan Ambon. Mata kami mesti tetap awas di Lei Timur, beberapa ruas badan jalan digerus tanah longsor. Pekan ini, nampaknya para nelayan, di wilayah yang berhadapan dengan Laut Banda ini, lebih banyak waktunya di darat. Badan meteorologi dan geofisika setempat meramalkan cuaca buruk. " Bodi bisa picah-picah ," kata seorang nelayan, itu sebabnya perahu penangkap tuna, sebagian bantuan dari kementerian kelautan, tertelungkup di tepi pantai.        Lewat Passo, kami menjelajah ke Tanah Hitu. Masih di halaman belakang. Saya menikmati pesona Jazirah Lei Hitu. Mesjid tua yang bersejarah di Negeri Hila, juga bangunan peninggalan Belanda, Benteng Amsterdam, semula adalah loji P...