SAAT sarapan pagi di teras kafe sebuah hotel, tiga hari lalu, di Jakarta. "Rasanya ganjil, jika bisa omong di luar rumah, sementara kalau di rumah tidak bisa bicara apa-apa," kata Mama Martha, demikian kami panggil namanya, perempuan separuh baya kelahiran Flores, yang tinggal di desa Noelbaki, Kupang. Sembari menyeruput kopi hitam hangat, saya sebelumnya mempercakapkan lawatan ke Lombok Timur dan Belu, beberapa bulan lalu. Dua daerah yang dikenal sebagai tempat buruh migran atau buruh rantau itu berasal. Saya berbagi cerita soal kecenderungan pengambilan keputusan berkaitan pengeluaran rumah tangga dan politik yang biasanya diputuskan oleh para suami di dua daerah tersebut. "Itu sudah, yang terjadi di Timor, perempuan mesti bersuara, duduk sama-sama, sampai ambil keputusan," ujar Mama Martha.
Saya lantas bercerita, perempuan di lereng Gunung Lakaan, Belu. Mereka bekerja keras, mandi keringat, setiap hari. Mereka berkebun, beternak, guna memenuhi kebutuhan pangan tiap hari, serta untuk dijual di pasar terdekat. Maksud saya, perempuan tidak saja melakukan kerja-kerja reproduksi, melainkan juga produksi. Bahkan kerja-kerja komunitas, seperti di rumah adat yang berbentuk bulat, beratap rumbia, biasanya berada di belakang rumah. Kata kawan saya, yang tinggal di Mota Ain, mereka juga dapat bertemu dengan para leluhur, nenek moyang, di rumah adat itu. Namun, dalam penceritaan dengan para perempuan, cenderung mereka seringkali tidak terlibat atau tidak biasa mengambil keputusan penting di dalam rumah. "Mereka mesti membereskan itu dulu di rumah, mampu ambil keputusan di rumah, jika di rumah sudah beres, baru bicara, duduk sama-sama, ambil keputusan, kelola uang di luar rumah, perempuan di Noelbaki bisa lakukan itu, artinya itu bisa dilakukan di mana saja," cerita Mama Martha.
Semalam sebelumnya, saya ketemu seorang kawan karib, Aflina Mustafainah, yang bekerja di Komnas Perempuan. Kami membuka percakapan di sebuah lapak penjual sate dan sop kambing, di sudut perempatan jalan Sabang dan Wahid Hasyim. Kami lama tak bertemu. Seorang penjaja buku, menawarkan setumpuk buku di atas meja kami. Seperti mengikuti standar pesan pemasaran penjual buku di Jalan Sabang, dia merayu kami: "kalau bukunya Pramoedya ini, buku yang laris, dicari dimana-mana, ini tetralogi Buru, dicari banyak orang". Kami memang benar-benar termakan bujukannya, akhirnya membeli dua buku dengan sedikit penawaran: Cerita dari Blora dan Arus Balik.
Karib saya, Aflina, lantas melanjutkan cerita mengenai proyek penulisan dan pembuatan film Calalai. Kami membicarakan kebudayaan Bugis. "Orang biasanya banyak bicara soal calabai, tapi jarang membicarakan calalai," tutur Aflina membuka percakapan. Identitas gender yang diakui dalam kebudayaan Bugis tradisional, selain uruane (laki-laki) dan makunrai (perempuan), terdapat: calabai dan calalai, serta para-gender, Bissu, sudah diteliti lama oleh Sharyn Graham. Dalam Inside Indonesia, Sharyn menulis, calalai secara anatomi perempuan yang mengambil peran dan fungsi apa yang diharapkan laki-laki, sebaliknya dengan calabai. Namun, karib saya kelihatan memiliki perspektif yang agak berbeda. Dia menyebutkan kata-kata kunci: androgini, ekspresi gender. Sambil menikmati sop kambing, karib saya mengingatkan kembali naskah klasik "I La Galigo". Secara semiotik huruf "I" di Sulawesi Selatan dinisbatkan pada perempuan, sedangkan "La" untuk laki-laki. Secara harfiah, makna ini berarti kesempurnaan manusia. "Dahulu para pemimpin perempuan Bugis, memiliki banyak kecakapan, sebagaimana apa yang harapan laki-laki, seperti berkuda dan memanah," tutur kawan karib saya.
Kami lalu mempercakapkan orang bisa saja terjebak dalam dikotomi biner: "salah-benar", "perempuan-laki-laki", "fakta-mitos". "Mungkin kita perlu menoleh kembali ke belakang, melihat kembali pisau analisis jaman dulu itu seperti GAD atau WAD, mungkin ada sedikit kebenaran," katanya sambil tertawa. I La Galigo merupakan petanda pengetahuan ideologis mengenai cara hidup dan eksistensi masyarakat Bugis yang bersumber pada sistem meta-gender. Gender bukan fenomena yang bersifat statis. Dan, membuat saya berpikir, kekayaan kebudayaan dapat menjadi modal memutuskan hambatan kultural yang mengganjal bagi kelompok rentan, perempuan, dalam partisipasi politik.
Waktu saat itu, hampir tengah malam. "Pak Gubernur ....," kawan karib saya tiba-tiba berguam. Saya menoleh ke belakang. Benar, Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Tak jauh dari meja tempat makan kami, di teras luar sebuah Warung Pandang. Saya ajak Aflina,"gubernur sudah lihat kita, tersenyum pada kita, kita mesti kasih salam sama beliau". Kami bersalaman, juga dengan beberapa pejabat yang menyertainya. Kami bercerita sedikit soal partisipasi politik perempuan di desa. Lalu, kami berpamitan. "Sampai ketemu di Makassar ya,"kata Pak Gubernur pada kami.
Paccerakkang, 18 Desember 2015
Saya lantas bercerita, perempuan di lereng Gunung Lakaan, Belu. Mereka bekerja keras, mandi keringat, setiap hari. Mereka berkebun, beternak, guna memenuhi kebutuhan pangan tiap hari, serta untuk dijual di pasar terdekat. Maksud saya, perempuan tidak saja melakukan kerja-kerja reproduksi, melainkan juga produksi. Bahkan kerja-kerja komunitas, seperti di rumah adat yang berbentuk bulat, beratap rumbia, biasanya berada di belakang rumah. Kata kawan saya, yang tinggal di Mota Ain, mereka juga dapat bertemu dengan para leluhur, nenek moyang, di rumah adat itu. Namun, dalam penceritaan dengan para perempuan, cenderung mereka seringkali tidak terlibat atau tidak biasa mengambil keputusan penting di dalam rumah. "Mereka mesti membereskan itu dulu di rumah, mampu ambil keputusan di rumah, jika di rumah sudah beres, baru bicara, duduk sama-sama, ambil keputusan, kelola uang di luar rumah, perempuan di Noelbaki bisa lakukan itu, artinya itu bisa dilakukan di mana saja," cerita Mama Martha.
Karib saya, Aflina, lantas melanjutkan cerita mengenai proyek penulisan dan pembuatan film Calalai. Kami membicarakan kebudayaan Bugis. "Orang biasanya banyak bicara soal calabai, tapi jarang membicarakan calalai," tutur Aflina membuka percakapan. Identitas gender yang diakui dalam kebudayaan Bugis tradisional, selain uruane (laki-laki) dan makunrai (perempuan), terdapat: calabai dan calalai, serta para-gender, Bissu, sudah diteliti lama oleh Sharyn Graham. Dalam Inside Indonesia, Sharyn menulis, calalai secara anatomi perempuan yang mengambil peran dan fungsi apa yang diharapkan laki-laki, sebaliknya dengan calabai. Namun, karib saya kelihatan memiliki perspektif yang agak berbeda. Dia menyebutkan kata-kata kunci: androgini, ekspresi gender. Sambil menikmati sop kambing, karib saya mengingatkan kembali naskah klasik "I La Galigo". Secara semiotik huruf "I" di Sulawesi Selatan dinisbatkan pada perempuan, sedangkan "La" untuk laki-laki. Secara harfiah, makna ini berarti kesempurnaan manusia. "Dahulu para pemimpin perempuan Bugis, memiliki banyak kecakapan, sebagaimana apa yang harapan laki-laki, seperti berkuda dan memanah," tutur kawan karib saya.
Kami lalu mempercakapkan orang bisa saja terjebak dalam dikotomi biner: "salah-benar", "perempuan-laki-laki", "fakta-mitos". "Mungkin kita perlu menoleh kembali ke belakang, melihat kembali pisau analisis jaman dulu itu seperti GAD atau WAD, mungkin ada sedikit kebenaran," katanya sambil tertawa. I La Galigo merupakan petanda pengetahuan ideologis mengenai cara hidup dan eksistensi masyarakat Bugis yang bersumber pada sistem meta-gender. Gender bukan fenomena yang bersifat statis. Dan, membuat saya berpikir, kekayaan kebudayaan dapat menjadi modal memutuskan hambatan kultural yang mengganjal bagi kelompok rentan, perempuan, dalam partisipasi politik.
Waktu saat itu, hampir tengah malam. "Pak Gubernur ....," kawan karib saya tiba-tiba berguam. Saya menoleh ke belakang. Benar, Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Tak jauh dari meja tempat makan kami, di teras luar sebuah Warung Pandang. Saya ajak Aflina,"gubernur sudah lihat kita, tersenyum pada kita, kita mesti kasih salam sama beliau". Kami bersalaman, juga dengan beberapa pejabat yang menyertainya. Kami bercerita sedikit soal partisipasi politik perempuan di desa. Lalu, kami berpamitan. "Sampai ketemu di Makassar ya,"kata Pak Gubernur pada kami.
Paccerakkang, 18 Desember 2015