Skip to main content

Pasar

SETIAP kali pergi ke Malino, ada satu tempat yang menarik perhatian saya: pasar. Saya tidak sedang bercerita mengenai perjalanan wisata, di sebuah kota kecil di pegunungan yang agraris, berkabut dan berhawa sejuk, berjarak sekitar 80 kilometer atau 2-3 jam dari Makassar. Tempat yang saya sebut ini, sesungguhnya tidak jauh berbeda di tempat lainnya. Karena, saya sering kali tergoda untuk mencari tahu: apakah pasar bekerja untuk orang miskin (petani, penjual, konsumen). Mereka yang bertatap-muka dengan ketimpangan penghidupan dan harapan, serta "sistem pasar" yang kerap gagal menjawab secara sempurna masalah mereka. Jika pasar disebut sebagai aset dalam lembar buku statistik, apakah pasar memiliki kontribusi terhadap kewarasan untuk melipat relasi yang timpang.
Di pasar di desa pertanian, apakah tenaga pekerja (buruh) juga memberikan nilai terhadap komoditas. Kita tahu, sejauh ini sumberdaya pertanian dikreasi insentif modal ketimbang menurunkan ketimpangan. Insentif modal akan melumpuhkan harapan petani gurem dan buruh tani. Ketika mereka berhubungan dengan pasar, kita akan bertanya, bagaimana daya beli buruh tani terhadap upah yang mereka terima. Berapa upah sesungguhnya yang mereka terima, setelah upah itu dibagi dengan daya beli. Saya kurang tahu secara persis grafik upah real buruh tani. Namun, seorang petani pemilik lahan di Maros, bercerita betapa sulitnya mencari buruh tani pada saat ini, yang bisa menanam, menggarap, serta memanen padinya. Inilah yang menggoda saya untuk bertanya-tanya: apakah pasar memang benar-benar bekerja untuk orang miskin. 
Sebagian orang percaya, bahwa pasar tidak dapat mengorganisir dirinya. Mereka lantas memajukan pilihan terhadap kehadiran Negara. Karena pasar punya kaitan erat dengan fungsi negara: pemenuhan kebutuhan dasar dan keadilan. Maka, kita pun juga akan bertanya: seberapa besarkah kemampuan Negara dan sampai dimana batasnya. 
Saya kembali mengingat-ingat perjalanan beberapa waktu lalu, di beberapa tempat sebagian buruh migran (rantau) itu berasal. Di tempat dimana orang selalu bertanya-tanya mengenai pasar kerja setempat dan arus migrasi. Jika kemampuan itu diukur dari alokasi dan distribusi sumberdaya, seberapa besar pajak daerah dibanding pendapatan per kapita penduduknya. Apakah pertumbuhan ekonomi setempat didorong oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah. Apakah juga terbentuk regulasi untuk menolong mekanisme pasar. Apakah realisasi belanja daerah memang benar-benar terserap untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran. Saya seringkali berpikir, jangan-jangan transfer uang buruh migran itu ke kampungnya, yang mendorong laju pertumbuhan ekonomi di kampung.

Ambon, 4 Juni 2015

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Separasi, Segregasi, Ruang Kota Kolonial

HALAMAN belakang selalu memberi imajinasi. Pekan lalu, saya merasa beruntung dapat menjelajahi halaman belakang Pulau Ambon. Garis awal, pagi itu, langit biru sedikit awan, dari jalan sempit di samping markas polisi. Mobil kami mulai merayap di tanjakan jalan dan berkelok-kelok di punggung pegunungan Ambon. Mata kami mesti tetap awas di Lei Timur, beberapa ruas badan jalan digerus tanah longsor. Pekan ini, nampaknya para nelayan, di wilayah yang berhadapan dengan Laut Banda ini, lebih banyak waktunya di darat. Badan meteorologi dan geofisika setempat meramalkan cuaca buruk. " Bodi bisa picah-picah ," kata seorang nelayan, itu sebabnya perahu penangkap tuna, sebagian bantuan dari kementerian kelautan, tertelungkup di tepi pantai.        Lewat Passo, kami menjelajah ke Tanah Hitu. Masih di halaman belakang. Saya menikmati pesona Jazirah Lei Hitu. Mesjid tua yang bersejarah di Negeri Hila, juga bangunan peninggalan Belanda, Benteng Amsterdam, semula adalah loji P...

Cerita dari Tual

PESAWAT yang membawa saya dari Makassar itu tiba-tiba terguncang keras. Tak lama setelah terperangkap dalam awan kelabu. Lantas, terasa meluncur turun dengan cepat sekali dari ketinggian. Hingga akhirnya menyentuh ujung landasan, menghempas genangan air hujan. Musim timur di Ambon rupanya mengirim hujan deras sejak pagi-pagi buta. Saya singgah transit beberapa jam di Bandara Pattimura. Siang hari baru menuju Ibra-Langgur, Maluku Tenggara.  Lebih dari sepuluh tahun lalu, saya hanya transit sejenak di pangkalan angkatan udara Dumatubun, Langgur, dalam sebuah perjalanan ke Saumlaki, Tanimbar dari Ambon. https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/02/Topographic_map_of_the_Kai_Islands-en.svg Hujan ternyata belum juga reda, ketika mesin baling-baling (turboprop) pesawat ATR itu menyala. Perjalanan ke Ibra-Langgur tidak sampai dua jam. Di atas Laut Banda, langit kembali cerah, meski sedikit berawan. Sebelum mendarat di Bandara Karel Sadsuitubun, dari balik jendela pesawat, namp...

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he...