HALAMAN belakang selalu memberi imajinasi. Pekan lalu, saya merasa beruntung dapat menjelajahi halaman belakang Pulau Ambon. Garis awal, pagi itu, langit biru sedikit awan, dari jalan sempit di samping markas polisi. Mobil kami mulai merayap di tanjakan jalan dan berkelok-kelok di punggung pegunungan Ambon. Mata kami mesti tetap awas di Lei Timur, beberapa ruas badan jalan digerus tanah longsor. Pekan ini, nampaknya para nelayan, di wilayah yang berhadapan dengan Laut Banda ini, lebih banyak waktunya di darat. Badan meteorologi dan geofisika setempat meramalkan cuaca buruk. "Bodi bisa picah-picah," kata seorang nelayan, itu sebabnya perahu penangkap tuna, sebagian bantuan dari kementerian kelautan, tertelungkup di tepi pantai.
Lewat Passo, kami menjelajah ke Tanah Hitu. Masih di halaman belakang. Saya menikmati pesona Jazirah Lei Hitu. Mesjid tua yang bersejarah di Negeri Hila, juga bangunan peninggalan Belanda, Benteng Amsterdam, semula adalah loji Portugis tempat menyimpan rempah-rempah, di sampingnya terdapat gereja tua. Di atas menara pengintai benteng itu, saya berusaha membayangkan jalur hilir-mudik kapal-kapal kolonial diantara Pulau Ambon dan Pulau Seram. Di Lei Hitu, mobil kami harus merambat pelan, memasuki lorong-lorong kampung, tidak ada jalan lain, ini adalah jalanan Maluku Tengah. Di Negeri Lima, mobil kami kembali merayap diantara bebatuan bekas banjir besar pertengahan 2013. Air bah dari sungai Way Ela, bak tsunami, menyapu desa ini.
Senja mulai memerah, sesampai di Batu Layar. Suara ombak memecah batu karang, deru angin laut, meresap di hati. Tak lama kemudian, azan Magrib berkumandang dari sebuah mesjid, yang berdiri di atas karang di pinggir laut. "Beta rasa lelah sudah terbayar," kata Bung Hen, sopir mobil yang mengantar keliling Pulau Ambon. Benar, lelah sudah terbayar, karena halaman belakang telah memberi imajinasi.
Halaman belakang, adalah istilah saya untuk mengamati ruang (spasial). Ruang sering dikaitkan dengan garis, pola geometri, demografi. Bayangkan, sebuah kota adalah rumah, biasanya halaman depan yang kerap kali ditengok orang, maka segara urusan berhubungan dengan pencitraan akan bertumpu pada halaman ini. Sebaliknya dengan halaman belakang. Namun, halaman bukanlah sesuatu yang sunyi, justru banyak cerita yang disimpan di sana. Karena ruang bukan sekedar lokasi, akan tetapi bertautan dengan sejarah dan relasi sosial, relasi kuasa.
Sejarah kota kolonial, yang kerap ditandai dengan bangunan benteng, menarik hati untuk melihat separasi dan segregasi yang diciptakan. Kolonial tidak sekedar membagi atau memisahkan lokasi pasar, birokrasi pemerintahan, akan tetapi juga berkaitan dengan etnis, bahkan agama. Ruang merupakan produksi sosial, bahkan politik. Artinya, ruang-ruang kota tidak terbagi serta-merta, sekonyong-konyong. Batas-batas separasi dan segregasi memiliki tanda dan penanda (semiotik) sosial. Bagaimana pun juga, ruang tidak bersifat statis. Perebutan pengaruh para politisi, intervensi investasi para pemodal, sampai insiden-insiden sosial-politik dapat saja mengubah peta separasi dan segregasi dalam sejarah perkembangan kota. Aspek-aspek ruang juga memungkinkan kita mengamati kantong-kantong kemiskinan dan juga akses pelayanan pemerintah. Di ruang mana, misalnya, bidan tidak ada, insiden gizi buruk, distribusi Raskin penuh aroma diskriminasi, kekerasan terhadap perempuan, jalur gemuk angkutan kota. Kita tahu, sejarah separasi dan segregasi ruang, memberikan pembelajaran berharga.
Paccerakkang, 9 Juni 2014
Senja mulai memerah, sesampai di Batu Layar. Suara ombak memecah batu karang, deru angin laut, meresap di hati. Tak lama kemudian, azan Magrib berkumandang dari sebuah mesjid, yang berdiri di atas karang di pinggir laut. "Beta rasa lelah sudah terbayar," kata Bung Hen, sopir mobil yang mengantar keliling Pulau Ambon. Benar, lelah sudah terbayar, karena halaman belakang telah memberi imajinasi.
Halaman belakang, adalah istilah saya untuk mengamati ruang (spasial). Ruang sering dikaitkan dengan garis, pola geometri, demografi. Bayangkan, sebuah kota adalah rumah, biasanya halaman depan yang kerap kali ditengok orang, maka segara urusan berhubungan dengan pencitraan akan bertumpu pada halaman ini. Sebaliknya dengan halaman belakang. Namun, halaman bukanlah sesuatu yang sunyi, justru banyak cerita yang disimpan di sana. Karena ruang bukan sekedar lokasi, akan tetapi bertautan dengan sejarah dan relasi sosial, relasi kuasa.
Paccerakkang, 9 Juni 2014