INDONESIA adalah kupu-kupu Malino, bersayap warna-warni, esotik, yang sudah lama diawetkan, dan dijual kemana-mana. Sahabat saya, seorang akademisi Universitas Hasanuddin, mengutip pernyataan metaforik mahasiswanya, ketika berbicara pada sebuah diskusi. Pekan lalu, kami terlibat dalam sebuah diskusi dan peluncuran buku "Ketimpangan Pembangunan di Indonesia", di sebuah ruangan yang sejuk, di Jalan Sultan Hasanuddin, Makassar. Arah diskusi tentu saja tidak sekedar membincangkan kembali ketimpangan yang diawetkan, akan tetapi konteks diterbitkannya buku ini sesungguhnya untuk membongkar: mengapa ketimpangan yang terjadi mengalami percepatan dalam sepuluh tahun terakhir ini. Melalui pertanyaan besar: adakah pola yang ajeg yang membuat ketimpangan selalu berada dalam masyarakat? Apakah ketimpangan meningkat seiring dengan ekspansi ekonomi?
Lembar-lembar pertama buku ini, diisi dengan nuansa pemikiran filsafat para pemikir besar. Halaman selanjutnya, kaya dengan data dan tabel statistik. Ketimpangan memang sudah lama dibicarakan, dibahas, dipikirkan, beberapa abad silam. Mengapa manusia beradab yang mestinya dapat menciptakan kesetaraan, justru melahirkan ketimpangan kondisi, kesejahteraan dan pengetahuan. David Ricardo dan Karl Marx, adalah orang yang mengurai ketimpangan atau kontradiksi dalam prisma kelas sosial. Dalam perkembangannya kemudian, ketimpangan mulai ditelisik secara individual oleh para pemikir, bukan lagi di dalam wilayah sosial. Filsuf ekonomi Italia, Vilfredo Pareto, salah satunya. Orang mengenalnya, dengan Hukum Pareto. Tentu saja, kita membaca karyanya penuh dengan data ilmiah, tabel statistik, dan persamaan matematika.
Pareto adalah orang yang terpesona dengan masalah kekayaan dan kekuasaan: bagaimana cara orang mendapatkannya, bagaimana orang yang memilikinya mendistribusikan di masyarakat, dan bagaimana orang menggunakannya? Pareto lantas mengumpulkan berbagai macam catatan, berkas, arsip, mulai mengusutnya dari data pajak sampai dengan data kekayaan pada setiap masa. Pareto memberi pembelajaran kepada kita: pentingnya ketersediaan data yang benar, siapa sesungguhnya "kelompok kaya" dan "kelompok miskin", bukan mengidentifikasi kelompok yang anonim dan ideal, agar kebijakan fiskal bisa tepat sasaran. Hukum Pareto ini amat masyur dengan mengindikasikan keteraturan pola bahwa 20 persen penduduk mencerminkan 80 persen pendapatan, atau sebaliknya. Namun, Pareto gagal menyediakan ruang perubahan, lantaran terpaku dengan hukum ketetapan "80/20".
Buku ini menjadi penting, sekaligus mengingatkan kembali kita. Data-data yang dipakai dalam buku ini berasal dari sumber resmi pemerintah. Melalui buku ini, pertama-tama, kita diingatkan, bahwa ketimpangan seperti pendapatan anggota masyarakat bukan hanya produk dari ketimpangan usaha atau bakat antar-individu, melainkan juga ketimpangan situasi dan kondisi di luar kendali para individu tertentu. Kita juga diingatkan, dalam 10 tahun terakhir ini, negara ini memang mengalami pertumbuhan ekonomi secara positif, rata-rata pendapatan per kapita 3.500 USD. Akan tetapi di sisi lain, angka ketimpangan meningkat dramatik, melalui Koefisien Gini, tercatat dari 0,33 pada tahun 1990, menjadi 0,41 pada 2013. Ini merupakan angka Koefisien Gini yang tertinggi, yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Dan, menjadi fenomena secara nasional, coba kita lihat di Sulawesi Selatan. Dari data BPS kita mengetahui, pertumbuhan ekonomi (PDRB) di Sulawesi Selatan bergerak dari angka 5,11 pada tahun 2001 menjadi 8,18 pada tahun 2010. Namun jarak ketimpangan (Gini Rasio) melaju naik dari 0,296 pada tahun 1999 menjadi 0,429 pada tahun 2013.
Pada September 2013, 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati 17 persen pendapatan nasional, bandingkan dengan 20 persen penduduk yang memiliki pendapatan tertinggi menikmati 49 persen pendapatan nasional. Selain melebarnya jurang ketimpangan, angka kemiskinan juga menjadi pusat keprihatinan. Jumlah penduduk miskin, dinyatakan semakin menurun, setidaknya demikian dari data dan klaim pemerintah. Tahun 2013 berjumlah 28,6 juta jiwa, sementara tahun 2011, 29,9 juta jiwa. Namun, yang jadi soal adalah efektifitas anggaran. Dari data Menkokesra dan BPS menggambarkan terus-menerus terjadinya kenaikan anggaran pengentasan kemiskinan, dari tahun 2004, 18 trilliun rupiah, menjadi 94 trilliun rupiah pada tahun 2010. Angka kemiskinan pada tahun 2004, 16,7 persen penduduk, pada tahun 2010 menjadi 13,3 persen penduduk. Artinya, pembengkakan anggaran sesungguhnya tidak berdampak pada penurunan angka kemiskinan.
Jika kita menyinggung kembali mengenai kriteria pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan kian positif, maka hampir semua dari kita akan menyatakan adanya "kemakmuran" dengan meningkatnya pendapatan. Akan tetapi, apakah pertumbuhan ekonomi tersebut memihak kaum miskin. Melalui indikator ketimpangan, orang akan menyatakan: tidak. Di situlah, soalnya.
Buku ini memang bukan buku resep. Namun, buku ini memberikan isyarat pada kita, negara atau pasar sama-sama menghidap patologi dalam peran mengatasi ketimpangan. Kalaupun, negara mesti hadir, maka tidak sekedar hanya hadir, tanpa kapabilitas dan ideologi negara-kesejahteraan. Bagaimana pun juga, ketimpangan itu memang kita rasakan. Bahkan, sebagian dari kita, ketimpangan dan kemiskinan seringkali terjadi di luar kendalinya, sekalipun usaha untuk "naik kelas" sudah mereka lakukan sampai "berdarah-darah". Kisah ketimpangan, bagi mereka, terlampau menyakitkan. Atau, kalau boleh dinyatakan, seperti lagu populer yang dilantunkan penyanyi dangdut asal Bandung, Cita Citata: "Sakitnya Tuh Di Sini". Sambil menepuk-nepuk dada sebelah kanan.
Paccerakkang, 24 Nopember 2014
Lembar-lembar pertama buku ini, diisi dengan nuansa pemikiran filsafat para pemikir besar. Halaman selanjutnya, kaya dengan data dan tabel statistik. Ketimpangan memang sudah lama dibicarakan, dibahas, dipikirkan, beberapa abad silam. Mengapa manusia beradab yang mestinya dapat menciptakan kesetaraan, justru melahirkan ketimpangan kondisi, kesejahteraan dan pengetahuan. David Ricardo dan Karl Marx, adalah orang yang mengurai ketimpangan atau kontradiksi dalam prisma kelas sosial. Dalam perkembangannya kemudian, ketimpangan mulai ditelisik secara individual oleh para pemikir, bukan lagi di dalam wilayah sosial. Filsuf ekonomi Italia, Vilfredo Pareto, salah satunya. Orang mengenalnya, dengan Hukum Pareto. Tentu saja, kita membaca karyanya penuh dengan data ilmiah, tabel statistik, dan persamaan matematika.
Pareto adalah orang yang terpesona dengan masalah kekayaan dan kekuasaan: bagaimana cara orang mendapatkannya, bagaimana orang yang memilikinya mendistribusikan di masyarakat, dan bagaimana orang menggunakannya? Pareto lantas mengumpulkan berbagai macam catatan, berkas, arsip, mulai mengusutnya dari data pajak sampai dengan data kekayaan pada setiap masa. Pareto memberi pembelajaran kepada kita: pentingnya ketersediaan data yang benar, siapa sesungguhnya "kelompok kaya" dan "kelompok miskin", bukan mengidentifikasi kelompok yang anonim dan ideal, agar kebijakan fiskal bisa tepat sasaran. Hukum Pareto ini amat masyur dengan mengindikasikan keteraturan pola bahwa 20 persen penduduk mencerminkan 80 persen pendapatan, atau sebaliknya. Namun, Pareto gagal menyediakan ruang perubahan, lantaran terpaku dengan hukum ketetapan "80/20".
Pada September 2013, 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati 17 persen pendapatan nasional, bandingkan dengan 20 persen penduduk yang memiliki pendapatan tertinggi menikmati 49 persen pendapatan nasional. Selain melebarnya jurang ketimpangan, angka kemiskinan juga menjadi pusat keprihatinan. Jumlah penduduk miskin, dinyatakan semakin menurun, setidaknya demikian dari data dan klaim pemerintah. Tahun 2013 berjumlah 28,6 juta jiwa, sementara tahun 2011, 29,9 juta jiwa. Namun, yang jadi soal adalah efektifitas anggaran. Dari data Menkokesra dan BPS menggambarkan terus-menerus terjadinya kenaikan anggaran pengentasan kemiskinan, dari tahun 2004, 18 trilliun rupiah, menjadi 94 trilliun rupiah pada tahun 2010. Angka kemiskinan pada tahun 2004, 16,7 persen penduduk, pada tahun 2010 menjadi 13,3 persen penduduk. Artinya, pembengkakan anggaran sesungguhnya tidak berdampak pada penurunan angka kemiskinan.
Jika kita menyinggung kembali mengenai kriteria pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan kian positif, maka hampir semua dari kita akan menyatakan adanya "kemakmuran" dengan meningkatnya pendapatan. Akan tetapi, apakah pertumbuhan ekonomi tersebut memihak kaum miskin. Melalui indikator ketimpangan, orang akan menyatakan: tidak. Di situlah, soalnya.
Buku ini memang bukan buku resep. Namun, buku ini memberikan isyarat pada kita, negara atau pasar sama-sama menghidap patologi dalam peran mengatasi ketimpangan. Kalaupun, negara mesti hadir, maka tidak sekedar hanya hadir, tanpa kapabilitas dan ideologi negara-kesejahteraan. Bagaimana pun juga, ketimpangan itu memang kita rasakan. Bahkan, sebagian dari kita, ketimpangan dan kemiskinan seringkali terjadi di luar kendalinya, sekalipun usaha untuk "naik kelas" sudah mereka lakukan sampai "berdarah-darah". Kisah ketimpangan, bagi mereka, terlampau menyakitkan. Atau, kalau boleh dinyatakan, seperti lagu populer yang dilantunkan penyanyi dangdut asal Bandung, Cita Citata: "Sakitnya Tuh Di Sini". Sambil menepuk-nepuk dada sebelah kanan.
Paccerakkang, 24 Nopember 2014