Skip to main content

Freire, Perencanaan Pembangunan Desa

UNTUK kepentingan siapa saluran irigasi dibuat? Pertanyaan ini terlontar dalam sebuah pertemuan kampung. Sebuah pertemuan yang membicarakan rencana pembangunan desa. Perencanaan pembangunan desa, dari pengalaman yang ada, kerapkali dibikin untuk mengejar target anggaran semata, ketimbang bertujuan pada sasaran perubahan kualitatif. Dokumen perencanaan tentu akan cukup menderita akibat tekanan bobot politis anggaran. Maka, pertanyaan tadi membuat orang kemudian menelusuri, menginvestigasi, mengurai relasi data: kepemilikan lahan, luas lahan sawah dan tambak, jumlah petani di desa ini yang kian susut, penyempitan aliran sungai, bukannya pada narasi target produksi. Karena, target produksi menjadi misteri, yang tidak bisa menjelaskan ketimpangan yang terjadi. Kita pun tahu, secara nasional, nilai tukar petani (NTP) menggambarkan pengeluaran petani lebih besar daripada pendapatan yang mereka terima.
photo credit: ricardoromanoff via photopin cc

Saya yang mengikuti pertemuan tersebut, terkesan dengan cara warga berdialog ketika mempautkan, menghubungkan, menafsirkankan antara data angka dengan apa yang mereka lihat, apa yang mereka alami, sampai menkonfrontrirnya dengan hasil pencacahan mereka. Refleksi bersama tentu saja tidak mudah lantaran berkaitan degan intensitas pengalaman. Sebuah pertemuan, di sebuah desa pesisir Maros. Desa yang memiliki 1922 hektar tambak dan 180 hektar sawah, dengan 548 kepala keluarga, termasuk sekitar 50 kepala keluarga perempuan. Tidak semua kepala keluarga di desa ini memiliki seluruh lahan tambak, hanya sekitar 30 persen saja dari luas tambak. Selebihnya, pemiliknya adalah warga di luar desa ini. Kampung ini sejak dulu dikenal sebagai daerah tambak. Salah satu bukti, yang dikenali warga desa, adalah situs pintu air untuk irigasi tambak yang dibangun partikelir Belanda. Desa ini, secara administratif terbentuk pada 1966, yang merupakan gabungan dari 6 kampung.
Dialog warga, yang mengesankan saya, telah menghasilkan rekonstruksi data dan menjadi "penemuan-baru"(re-inventing) dalam menjawab problem sosial-politik. Saya teringat kembali Paulo Freire. Pemikiran pedagogi Freire, pada akhir 1970 sampai pertengahan 1990 menjadi "mazhab" pendidikan yang populis di kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Seingat saya, buku yang ditulis Freire, yang dialih-bahasakan dalam bahasa Indonesia, cukup mendapat sambutan: "pendidikan kaum tertindas" dan "politik pendidikan". Bagi Freire, dominasi atau kuasa itu dirajut di wilayah budaya, sebagai wilayah subtil bagi manusia, melalui "wahana" pendidikan. Kita menjadi paham, apa yang dikritik keras oleh Freire, ketika sistem pendidikan yang didistorsi kekuasaan hanya akan menghasilkan ketimpangan, kesenjangan, atau kesadaran naif. 
Kodifikasi, kata Freire. Itu yang saya ingat. Metode pendidikan kritis yang melawan gaya "memasok" dan "menyamakan" realitas di setiap kepala orang. Dalam satu pertemuan, warga merefleksikan relasi hak identitas (legal-identity) dengan program perlindungan sosial. Mereka tidak sekedar mempautkan dan menafsirkan ketiaadaan warga desa akan hak identitas dengan realitas sosial, akan tetapi juga mendialogkannya. Mereka lalu mencari tahu, mengundang pengadilan agama, dinas catatan sipil, puskesmas. Lantas, menuliskan aksi dalam dokumen perencanaan pembangunan desa.

Kata Freire lagi, kesadaran atau pembebasan merupakan mimpi yang mesti diwujudkan, secara terencana, punya tujuan, bukan bersifat spontan. Kawan saya dari sebuah LSM Internasional menyebutkan, pembangunan mestinya ditujukan bagi orang-orang yang kekurangan dibandingkan dengan yang berkelebihan. Maka, pertemuan tersebut mesti bertujuan merawat optimisme hidup di kampung. Sebuah pertemuan yang tidak melahirkan sikap pesimistik, atau sinisme. Bukan pula yang dimaksud sebagai sesuatu yang "revolusioner". Tentu saja, saya ingin mengulangi apa yang diingatkan Freire mengenai "revolusi", kurang lebih begini: revolusi yang berasal dari orang berpendidikan mapan, yang hanya menghasilkan kesadaran semu.

Paccerakkang, 17 Nopember 2014

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Separasi, Segregasi, Ruang Kota Kolonial

HALAMAN belakang selalu memberi imajinasi. Pekan lalu, saya merasa beruntung dapat menjelajahi halaman belakang Pulau Ambon. Garis awal, pagi itu, langit biru sedikit awan, dari jalan sempit di samping markas polisi. Mobil kami mulai merayap di tanjakan jalan dan berkelok-kelok di punggung pegunungan Ambon. Mata kami mesti tetap awas di Lei Timur, beberapa ruas badan jalan digerus tanah longsor. Pekan ini, nampaknya para nelayan, di wilayah yang berhadapan dengan Laut Banda ini, lebih banyak waktunya di darat. Badan meteorologi dan geofisika setempat meramalkan cuaca buruk. " Bodi bisa picah-picah ," kata seorang nelayan, itu sebabnya perahu penangkap tuna, sebagian bantuan dari kementerian kelautan, tertelungkup di tepi pantai.        Lewat Passo, kami menjelajah ke Tanah Hitu. Masih di halaman belakang. Saya menikmati pesona Jazirah Lei Hitu. Mesjid tua yang bersejarah di Negeri Hila, juga bangunan peninggalan Belanda, Benteng Amsterdam, semula adalah loji P...

Cerita dari Tual

PESAWAT yang membawa saya dari Makassar itu tiba-tiba terguncang keras. Tak lama setelah terperangkap dalam awan kelabu. Lantas, terasa meluncur turun dengan cepat sekali dari ketinggian. Hingga akhirnya menyentuh ujung landasan, menghempas genangan air hujan. Musim timur di Ambon rupanya mengirim hujan deras sejak pagi-pagi buta. Saya singgah transit beberapa jam di Bandara Pattimura. Siang hari baru menuju Ibra-Langgur, Maluku Tenggara.  Lebih dari sepuluh tahun lalu, saya hanya transit sejenak di pangkalan angkatan udara Dumatubun, Langgur, dalam sebuah perjalanan ke Saumlaki, Tanimbar dari Ambon. https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/02/Topographic_map_of_the_Kai_Islands-en.svg Hujan ternyata belum juga reda, ketika mesin baling-baling (turboprop) pesawat ATR itu menyala. Perjalanan ke Ibra-Langgur tidak sampai dua jam. Di atas Laut Banda, langit kembali cerah, meski sedikit berawan. Sebelum mendarat di Bandara Karel Sadsuitubun, dari balik jendela pesawat, namp...

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he...