INSIDEN kekerasan bersenjata itu kembali meletup, beberapa pekan lalu. Di Nduga, di sebuah tempat yang bertengger di punggung pegunungan tengah yang membelah Papua. Insiden yang membuat saya lagi-lagi menyerngitkan dahi. Untuk kesekian kalinya darah tumpah. Terasa getir tak berkesudahan. Seperti membekukan perjalanan sebuah negeri, lebih dari setengah abad, berhenti di tubir sejarah. Insiden itu berada di jalan raya Trans Papua. Jalan raya yang melewati Taman Nasional Lorentz. Sebuah situs warisan dunia, yang memiliki spektrum ekologi menakjubkan, akan tetapi rentan terdegradasi. Sekaligus, menjadi ruang hidup bagi delapan etnis Papua, Nduga salah satunya. Situs itu selemparan batu jaraknya dengan wilayah operasi tambang emas dan tembaga terbesar, tambang Grasberg. Tambang yang dikelola Freeport Indonesia, anak raksasa tambang asal Phoenix, Amerika Serikat, Freeport McMoRan Inc. Sejak awal, kehadirannya kerapkali merepotkan, menjadi sumber gesekan dan perseteruan.
"Itu bukan salju seperti dikatakan orang, itu panah putih," tutur Mama Yosepha pada saya, ketika mengawali percakapan. Ini seperti menggoncangkan ingatan. Kata "salju" itu, semula terekam dalam kepala kita sebagaimana buku bacaan di sekolah dasar. Bacaan mengenai salju abadi di Piramida Carstensz, atau Puncak Jaya, begitulah yang biasa disebut orang. Jan Carstenszoon, boleh jadi orang yang pertama menyebut "salju" (gletser, endapan salju yang membatu) itu, sewaktu maskapai dagang VOC mengirimnya berlayar dari Ambon untuk sebuah penjelajahan di pantai selatan Papua pada 1623. Apa yang diungkap Mama Yosepha adalah imajinasi kolektif yang diikat dalam kisah orang Amungme. Saya mulai mengerti mengapa orang bisa bertahan hidup dalam sejarah yang berdarah-darah. Maka, kisah seperti apa yang dapat membangun kemampuan luar biasa itu. Boleh jadi, kisah itu bernama: peradaban.
Orang Amungme, dalam bahasa Amungkal, menyebut tempat "bersalju" itu: Nemangkawi-Niggok. Mereka mensakralkannya sebagai salah satu tempat suci di antara puncak gunung lainnya. Wilayah memang tidak untuk dihuni, tidak untuk diusik. Di sanalah, para leluhur Amungme bersemayam. Dan, itulah kisah asal-muasal keberadaan orang Amungme di atas bumi. Bagi mereka, tanah adalah ibu. Kita tahu betul, berbeda dengan hewan mamalia, bayi yang keluar dari rahim ibu, tidak bisa segera berdiri tegak, tempurung kepala yang membungkus otak bayi itu masih lembek. Seorang ibu akan melindungi dan merawat hingga membesarkan bayi mereka. Kemampuan ini membutuhkan dukungan orang di sekeliling ibu. Hanya ikatan sosial yang kuat di antara mereka dapat mewujudkan dukungan itu. Tapi tanpa kisah, kohesi sosial hanyalah ilusi. Hal ini, saya pikir, dapat menjelaskan mengapa orang Amungme, hanya mengambil sedikit sumberdaya dari tanah mereka. Tidak berlebih, secukupnya saja. Selain karena kehidupan mereka sebagai pengumpul-pemburu. Berbeda dengan para petani di Jawa misalnya, yang dibebani target peningkatan produksi beras setelah dimulainya Revolusi Hijau pada awal 1970 an. Sejarah revolusi itu pun nyatanya tidak pernah sempurna. Banyak keluarga tani kehilangan tanah, dan insiden kemiskinan lainnya, atau menjadi urbanis tanpa bekal yang cukup.
Landskap di punggung Papua itu, mungkin saja tidak berubah, andaikata laporan geolog Jean-Jacques Dozy yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden itu, dilupakan orang dan dibiarkan saja berdebu. Dozy melaporkan temuan cebakan mineral yang teramat kaya, dalam sebuah perjalanan ekspedisi ke puncak Carstensz, pada 1936. Di kemudian hari, kita tahu, perusahaan tambang itu pun bisa hadir tepat saat negara tengah mereproduksi kleptokrasi. Sebagaimana orang ramai mengutip filsuf Friederich Nietzsche, kleoptokrasi ibarat monster yang paling dingin dari yang terdingin karena beroperasi mencuri harta rakyat. Menjelang fajar 1970, perusahaan tambang itu mulai leluasa melenyapkan kisah orang Amungme. Padahal, kisah adalah sumber makna bagi kehidupan manusia. Kini, tidak ada lagi kisah, yang terjadi adalah komunitas berantakan akibat keserakahan yang tak terkendali, alkohol dan prostitusi. Juga, kehancuran lingkungan bersamaan dengan lenyapnya tempat-tempat suci di punggung Papua. Apa yang tersisa, sumur-sumur tambang, sungai-sungai yang tercemar, hutan yang punah.
Kita kerap kali tidak berhati-hati, mengabaikan keberadaan kisah. Kalaupun boleh saya mengutip sebuah percakapan sejarahwan Noah Harari: tidak seperti serigala dan simpanse, manusia tidak bertengkar soal wilayah dan makanan, mereka berselisih mengenai kisah. Konflik bermula karena mereka tidak memiliki cerita yang sama, yang dapat dipercaya bersama. Tapi, bukankah tidak ada alasan untuk tidak optimis untuk mengakhirinya. Untuk mendengar suara masing-masing, melibatkan mereka secara bersama, agar tidak saling mengisolasi. Sekalipun, apa boleh buat, kita tidak benar-benar kembali seperti sediakala, sebagaimana memulihkan kisah tempat-tempat suci Amungme.
Paccerakkang, 29 Desember 2018
www.kabarindonesia.com
Saya jadi teringat pada seorang mama Papua. Mama Yosepha Alomang, namanya. Seorang perempuan Amungme yang yatim piatu semasa masih bayi. Kami bertemu pertama kali pada pertengahan 1990 an. Di sebuah rumah, di Jalan Sunu, Makassar. Ia hidup dalam kondisi yang jauh dari normal. Penuh aroma kekerasan, pembunuhan dan penindasan, sejak perusahaan tambang itu mulai beroperasi, pada awal pemerintahan Jenderal Soeharto. Saya selalu tergoda untuk bertanya pada diri sendiri, bagaimana orang bisa kuat menghadapi hal-hal seperti ini. Bahkan, ia tengah berada dalam perjalanan yang berliku, ketika menolak dan melawan perusahaan itu. Mama Yosepha mula-mula mengorganisir sebuah koperasi untuk memasarkan buah dan sayuran, akan tetapi perusahaan tambang itu nyatanya tidak mendukung mereka, malahan mengimpor buah dan sayuran dari luar Papua. Awal 1990 an, ia menyalakan api di landasan pesawat terbang Timika selama tiga hari, memprotes Freeport McMoRan dan perlakuan buruk terhadap orang asli Papua.
Orang Amungme, dalam bahasa Amungkal, menyebut tempat "bersalju" itu: Nemangkawi-Niggok. Mereka mensakralkannya sebagai salah satu tempat suci di antara puncak gunung lainnya. Wilayah memang tidak untuk dihuni, tidak untuk diusik. Di sanalah, para leluhur Amungme bersemayam. Dan, itulah kisah asal-muasal keberadaan orang Amungme di atas bumi. Bagi mereka, tanah adalah ibu. Kita tahu betul, berbeda dengan hewan mamalia, bayi yang keluar dari rahim ibu, tidak bisa segera berdiri tegak, tempurung kepala yang membungkus otak bayi itu masih lembek. Seorang ibu akan melindungi dan merawat hingga membesarkan bayi mereka. Kemampuan ini membutuhkan dukungan orang di sekeliling ibu. Hanya ikatan sosial yang kuat di antara mereka dapat mewujudkan dukungan itu. Tapi tanpa kisah, kohesi sosial hanyalah ilusi. Hal ini, saya pikir, dapat menjelaskan mengapa orang Amungme, hanya mengambil sedikit sumberdaya dari tanah mereka. Tidak berlebih, secukupnya saja. Selain karena kehidupan mereka sebagai pengumpul-pemburu. Berbeda dengan para petani di Jawa misalnya, yang dibebani target peningkatan produksi beras setelah dimulainya Revolusi Hijau pada awal 1970 an. Sejarah revolusi itu pun nyatanya tidak pernah sempurna. Banyak keluarga tani kehilangan tanah, dan insiden kemiskinan lainnya, atau menjadi urbanis tanpa bekal yang cukup.
Landskap di punggung Papua itu, mungkin saja tidak berubah, andaikata laporan geolog Jean-Jacques Dozy yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden itu, dilupakan orang dan dibiarkan saja berdebu. Dozy melaporkan temuan cebakan mineral yang teramat kaya, dalam sebuah perjalanan ekspedisi ke puncak Carstensz, pada 1936. Di kemudian hari, kita tahu, perusahaan tambang itu pun bisa hadir tepat saat negara tengah mereproduksi kleptokrasi. Sebagaimana orang ramai mengutip filsuf Friederich Nietzsche, kleoptokrasi ibarat monster yang paling dingin dari yang terdingin karena beroperasi mencuri harta rakyat. Menjelang fajar 1970, perusahaan tambang itu mulai leluasa melenyapkan kisah orang Amungme. Padahal, kisah adalah sumber makna bagi kehidupan manusia. Kini, tidak ada lagi kisah, yang terjadi adalah komunitas berantakan akibat keserakahan yang tak terkendali, alkohol dan prostitusi. Juga, kehancuran lingkungan bersamaan dengan lenyapnya tempat-tempat suci di punggung Papua. Apa yang tersisa, sumur-sumur tambang, sungai-sungai yang tercemar, hutan yang punah.
Kita kerap kali tidak berhati-hati, mengabaikan keberadaan kisah. Kalaupun boleh saya mengutip sebuah percakapan sejarahwan Noah Harari: tidak seperti serigala dan simpanse, manusia tidak bertengkar soal wilayah dan makanan, mereka berselisih mengenai kisah. Konflik bermula karena mereka tidak memiliki cerita yang sama, yang dapat dipercaya bersama. Tapi, bukankah tidak ada alasan untuk tidak optimis untuk mengakhirinya. Untuk mendengar suara masing-masing, melibatkan mereka secara bersama, agar tidak saling mengisolasi. Sekalipun, apa boleh buat, kita tidak benar-benar kembali seperti sediakala, sebagaimana memulihkan kisah tempat-tempat suci Amungme.
Paccerakkang, 29 Desember 2018