Skip to main content

Buru

BURU. Sebuah nama, lekat dalam ingatan sejarah. Buru mengingatkan kita pertama pada, tahanan politik (Tapol) paska peristiwa 1965. Terakhir, para penambang liar yang memburu emas. Untuk pertama kalinya, saya menjejakan kaki di tanah Buru, di Namlea. Sebelum subuh tiba. Sehabis melaut delapan jam dari Galala, Ambon. Tidak semua orang bisa naik kapal laut. Kita seperti dikocok-kocok. Selepas Tanjung Allang, di Laut Banda, kapal besi yang saya tumpangi mulai berjalan terhuyung dihantam gelombang besar. Sekitar 49 tahun silam, dari cerita-cerita yang ada. Sebuah kapal apkiran Perang Dunia II yang berkarat, hampir karam di laut ini. Kapal itu yang mengirim "orang-orang merah" dari dermaga Sodong, Nusakambangan ke Pulau Buru, pada 17 Agustus 1969. Mereka diasingkan, dibuang begitu saja, tanpa pernah diadili. "Aku menuju ke happy land somewhare," tulis Pramoedya Ananta Toer dengan nada satire, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. "Kami berangkat bersama lebih delapan ratus orang dengan kapal ADRI XV sebagai hadiah ulang tahun Republik Indonesia," lanjut Pram. Di kemudian hari, kapal ini dikabarkan tenggelam di tengah jalan, ketika berlayar menuju dok di Hongkong.

Saya menuju ke arah Lolong Guba, sekitar dua jam dari Pelabuhan Namlea. Pagi masih belum terang benar. Jalanan yang masih lengang. Rasanya, kendaraan yang saya tumpangi, mengikuti alur Teluk Kayeli. Lalu, mendaki dan berkelok di antara bukit-bukit cadas yang dipangkas miring sisi-sisinya. Tak lama, matahari pagi mulai terasa hangat. Hari mulai terang. Kesempatan baik bagi saya, cari tahu nama tempat yang dilewati. Ada plang yang menjorok ke dalam dari pinggir jalan raya, di bawahnya tertulis: Savanajaya. 
Ya, Savanajaya. Awalnya, salah satu unit dari kamp Tapol di Pulau Buru. Pemerintahan Soeharto menyebut Buru itu sebagai Tefaat (tempat pemanfaatan). Lalu, berganti nama menjadi Inrehab (instalasi rehabilitasi). Pada Juni 1972, tempat ini menjadi proyek pedesaan pertama di lembah Waeapo. Diberi nama: Desa Savanajaya. Lembah Waeapo merupakan dataran yang paling luas di Buru. Saya baru singgah di Savanajaya sehari sebelum balik ke Ambon, itupun hari sudah gelap. Saya hanya menjemput seorang kawan, yang sudah menunggu tak jauh dari bekas gedung kesenian Tapol.
Sepanjang perjalanan di lembah Waeapo, sawah terhampar luas, dengan bukit-bukit yang bersambungan di belakangnya. Puluhan tahun lalu, adalah padang rumput ilalang savana. Tanah yang tidak mudah dicangkul dan diolah. Tanah keras, yang miskin hara. Hanya tanaman kayu putih, rasanya, yang bisa bertahan dengan keadaan itu. Saya lalu membayangkan bagaimana para Tapol itu dipaksa kerja mencetak sawah di atas tanah yang keras. Boleh jadi, mereka dalam keadaan lapar. Begitulah dari cerita-cerita yang ada. Lebih dari 10 ribu Tapol dikirim ke Buru. Mereka yang dikirim itu, katanya, agar tidak bikin sesak penjara di Jawa. Para Tapol itu tak sekedar mencetak sawah atau berladang. Mereka juga menyuling minyak kayu putih, membangun waduk irigasi, bahkan merintis jalan raya menuju Namlea, sebelum kedatangan para transmigran dari Jawa pada tahun 1980. Tak lama berselang, setelah Tapol Buru terakhir itu dibebaskan, November 1979. Nus, seorang kawan, yang saat itu duduk di bangku sekolah dasar di Namlea, sempat menyaksikan upacara pembebasan Tapol terakhir. "Banyak yang jatuh pingsan karena tidak tahan terik matahari," kenang kawan saya itu. Semua bangunan yang punya sejarah kelam itu sudah diratakan, sebelum kedatangan para transmigran. Hanya bekas gedung kesenian Tapol di Savanajaya itu saja, yang tersisa bisa menjadi penanda.
Selain itu, mungkin saja, kata yang masih tersimpan dalam kepala orang: Mako dan unit. Dalam sejumlah percakapan, orang memakai dua istilah itu untuk merujuk lokasi. Istilah yang berasal dari masa pengasingan Tapol. Mako singkatan dari markas komando Waeapo, kamp khusus bagi Tapol yang keras kepala, tidak mau tunduk. Mako menjadi horor bagi para pembangkang. Namun, bangunan atau barak Mako sudah tidak ada lagi jejaknya. Saya sendiri agak penasaran, dimana letak persisnya Mako pada waktu itu. Paling tidak, saya menemukan dua jawaban: di sekitar kantor kecamatan dan Polsek Waepo. Tapi secara umum, itu pula yang membuat Waenetat, ibukota Kecamatan Waeapo, lebih sering disebut Mako. 
Di Waenetat, kita tak terlampau sulit menemukan penginapan. Seperti halnya di ibukota kabupaten, Namlea. Namun untuk ukuran ibukota kecamatan itu, jumlah penginapan yang ada sudah melampaui cukup. Hal ini bisa menjelaskan beberapa hal. Terutama sejak butiran emas ditemukan di Gunung Botak, Desa Dava, Kecamatan Waelata. Emas telah itu menyilaukan mata puluhan ribu orang. Mereka menyerbu Gunung Botak, menggali lubang, menggerusnya, berebut bebatuan berurat emas. Para pemburu emas, cukong penambang gelap, juga prostitusi. Penambangan emas ilegal juga dilakukan di Gogorea, Waeapo, dan Gunung Nona, Lolong Guba. Mereka beroperasi siang malam.
Tiba di Lolong Guba. Saya menginap beberapa hari. Dalam sejumlah percakapan dengan kawan-kawan desa, ada dua kata yang merisaukan mereka: sianida dan merkuri. Keduanya dipakai guna memisahkan butiran emas dari bebatuan itu. Akan tetapi, keduanya juga mengancam sumber pangan di lokasi lingkar tambang. Ketika limbah sianida dan merkuri dari lokasi tambang itu mengalir ke sungai. Ratusan pohon sagu kering. Sawah tercemar. Hewan ternak dan ikan mati. Kedaulatan pangan mereka benar-benar sedang terancam. Satu dua orang kawan tiba-tiba bersikap ragu, saat saya bertanya, apakah pranata adat masyarakat tempatan bisa memecahkan perkara ini.
Di atas Kapal Motor Penyeberangan Temi, pagi itu. Perjalanan kembali ke Ambon. Seorang kawan berkata,"kita tidak sedang menulis apa-apa, di google sudah banyak tulisan soal Buru, yang penting kita sudah berkunjung, ini semacam ziarah". Ya, selalu saja terjadi perebutan atas apa yang diingat atau, sebaliknya, mengusik apa yang harus dilupakan. Ziarah, untuk menumbuhkan ingatan atas wacana-wacana kecil. Ziarah di tanah pengharapan.

Paccerakkang, 28 Mei 2018

Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga

Saat Korporasi Mengatur Perut Kita

SAHABAT saya, Al Mujahid Akmal, menulis di halaman  facebook -nya: "jika setiap orang berpikir, siapa dan dengan cara seperti apa makanan diproduksi sebelum mereka konsumsi ... ada baiknya kalau saya coba belajar menanam sendiri". Aneka tanaman sayuran dan tanaman pangan, tumbuh sehat di halaman belakang rumahnya. Rasanya, kata "halaman belakang" sudah lama menghilang di setiap-kali pameran rumah di Kota Makassar. Orang di kota ini, terlanjur hidup diantara tembok yang bersekat-sekat, tanpa halaman. Beruntung sahabat saya ini, dapat berkebun di halaman belakang, yang bukan dimaksudkan bagian dari estetika atau keindahan, apalagi guna memenuhi kebutuhan cerita cerdas sebuah proyek. Akan tetapi, dibaca sebagai bagian sikap dan kritik dia atas sistem produksi pangan, selain untuk keperluan konsumsi sendiri. Atau, dalam bahasa ideologisnya, sebagai "konsumsi berkelanjutan". Sekitar 13 ribu kilometer dari tempat sahabat saya menulis sikapnya, tengah terj

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New Imp