JUDUL buku ini kelihatan rada provokatif. Capitalism without Capital. Sebuah buku penuh kejutan, diterbitkan Princeton University Press yang dirilis tahun lalu. Memantik sejumlah perhatian, menggoda orang ramai mempercakapkan kembali. Apakah asal usul kapitalisme itu alamiah? Apa yang disebut kapital dalam kapitalisme? Bagaimana cara ekonomi kapitalisme bekerja? Tengok sub judul buku ini, kebangkitan ekonomi tak berwujud (the rise of the intangible economy). Sebuah ungkapan yang mulai populer di belakang hari. Pada sampul depan buku, mengilustrasikan gudang pabrik yang masih menyala tapi tampak lengang, hanya ada sebuah troli besi membawa laptop dengan layar terbuka. Serasa menguatkan gambaran, kita sedang berada di era disrupsi (disruption). Boleh jadi, lebih jauh dari perubahan berbisnis ke dalam jubah digitan, pada cara kita melihat kepemilikan dan kolaborasi bisnis.
photo credit: katerha it's in the eyes via photopin (license)
Terma kapital dalam buku ini, bukan sebagaimana dipahami para pengeritik kapitalisme, tentu saja. Melainkan pada kategori aset. Seperti halnya kita mengambil fisik sekaleng minuman berkarbonasi yang dapat kita sentuh dan raba, lalu dibandingkan dengan produk "pengetahuan" yang terasa gamang saat kita hendak mengkalkulasi nilai: merek, desain, algoritma. Sejak ditemukan teknologi roda dan mesin uap, gagasan ekonomi hampir sepenuhnya melihat modal sebagai bentuk fisik. Buku ini mengajak kita menilai ulang gagasan itu.
Jonathan Haskel dan Stian Westlake, penulis buku ini, selama satu dekade menyisir mengenali, dan mengeksporasi gelombang perubahan pola investasi, namun lebih spesifik pada investasi bisnis tak berwujud. Melalui pembacaan angka statistik, investasi ini beranjak tumbuh cepat, melesat melampaui investasi dengan modal yang terwujud di Amerika Serikat dan Inggris. Maka, aktivitas intelektual terpenting dalam buku ini adalah, kemampuan mengukur investasi tak terwujud. Haskel dan Westlake mengukurnya melalui empat fitur aset tak terwujud: skalabilitas, sunkenness, spillover, dan sinergi. Aset yang tak terwujud cenderung memiliki prilaku berbeda dengan yang terwujud. Pergeseran pola investasi ini membantu penjelasan mengapa ketidaksetaraan meningkat dan produktivitas yang stagnan. Tapi saya tidak ingin mengulas lebih jauh. Bagaimana pun juga buku ini telah mengundang banyak ulasan.
Saya sendiri agak tergelitik dengan sejumlah kata kunci. Buku ini memang tidak berakhir pada penyebutan dua negara di atas, akan tetapi menjalin dengan narasi politik populisme: pemungutan suara Brexit dan pemilihan Donald Trump. Kita masih ingat dugaan sejumlah pakar yang menempatkannya melalui dua sisi retakan sosial: kesenjangan ekonomi dan pertentangan kultural. Dalam argumentasi Heskel dan Westlake, kedua sisi ini saling berkait sebagai harga ketidaksetaraan dalam konteks ekonomi tak terwujud. Jika diurai berdasar tempat kedua peristiwa politik terjadi, di tempat nilai-nilai kosmopolitan berada yang berkoneksitas tinggi cenderung memiliki ekonomi tak terwujud yang lebih baik. Toh, ketidaksetaraan itu tetap saja menciptakan pemenang dan pecundang. Satu hal yang menyulitkan orang dalam membangun masa depan kolektif.
Kata kunci lainnya yang menggoda untuk dibicarakan lebih lanjut adalah, hak kekayaan intelektual dalam ekonomi tak terwujud. Hak yang berkaitan dengan produksi dan akses pengetahuan, selain berkait informasi. Hal ini terhubung dengan kuatnya dorongan perjajian perdagangan internasional yang berkait hak kekayaan intelektual (TRIPs) untuk diharmonisasi dalam undang-undang nasional pada dekade 1990 an. Wacana yang ramai dipercakapan berkait dengan kekayaan hayati. Dalam buku ini, kita dapat melihat dekade yang sama ketika investasi tak terwujud melewati investasi berwujud.
Salassae, Bulukumba, 29 Maret 2018
photo credit: katerha it's in the eyes via photopin (license)
Terma kapital dalam buku ini, bukan sebagaimana dipahami para pengeritik kapitalisme, tentu saja. Melainkan pada kategori aset. Seperti halnya kita mengambil fisik sekaleng minuman berkarbonasi yang dapat kita sentuh dan raba, lalu dibandingkan dengan produk "pengetahuan" yang terasa gamang saat kita hendak mengkalkulasi nilai: merek, desain, algoritma. Sejak ditemukan teknologi roda dan mesin uap, gagasan ekonomi hampir sepenuhnya melihat modal sebagai bentuk fisik. Buku ini mengajak kita menilai ulang gagasan itu.
Jonathan Haskel dan Stian Westlake, penulis buku ini, selama satu dekade menyisir mengenali, dan mengeksporasi gelombang perubahan pola investasi, namun lebih spesifik pada investasi bisnis tak berwujud. Melalui pembacaan angka statistik, investasi ini beranjak tumbuh cepat, melesat melampaui investasi dengan modal yang terwujud di Amerika Serikat dan Inggris. Maka, aktivitas intelektual terpenting dalam buku ini adalah, kemampuan mengukur investasi tak terwujud. Haskel dan Westlake mengukurnya melalui empat fitur aset tak terwujud: skalabilitas, sunkenness, spillover, dan sinergi. Aset yang tak terwujud cenderung memiliki prilaku berbeda dengan yang terwujud. Pergeseran pola investasi ini membantu penjelasan mengapa ketidaksetaraan meningkat dan produktivitas yang stagnan. Tapi saya tidak ingin mengulas lebih jauh. Bagaimana pun juga buku ini telah mengundang banyak ulasan.
Saya sendiri agak tergelitik dengan sejumlah kata kunci. Buku ini memang tidak berakhir pada penyebutan dua negara di atas, akan tetapi menjalin dengan narasi politik populisme: pemungutan suara Brexit dan pemilihan Donald Trump. Kita masih ingat dugaan sejumlah pakar yang menempatkannya melalui dua sisi retakan sosial: kesenjangan ekonomi dan pertentangan kultural. Dalam argumentasi Heskel dan Westlake, kedua sisi ini saling berkait sebagai harga ketidaksetaraan dalam konteks ekonomi tak terwujud. Jika diurai berdasar tempat kedua peristiwa politik terjadi, di tempat nilai-nilai kosmopolitan berada yang berkoneksitas tinggi cenderung memiliki ekonomi tak terwujud yang lebih baik. Toh, ketidaksetaraan itu tetap saja menciptakan pemenang dan pecundang. Satu hal yang menyulitkan orang dalam membangun masa depan kolektif.
Kata kunci lainnya yang menggoda untuk dibicarakan lebih lanjut adalah, hak kekayaan intelektual dalam ekonomi tak terwujud. Hak yang berkaitan dengan produksi dan akses pengetahuan, selain berkait informasi. Hal ini terhubung dengan kuatnya dorongan perjajian perdagangan internasional yang berkait hak kekayaan intelektual (TRIPs) untuk diharmonisasi dalam undang-undang nasional pada dekade 1990 an. Wacana yang ramai dipercakapan berkait dengan kekayaan hayati. Dalam buku ini, kita dapat melihat dekade yang sama ketika investasi tak terwujud melewati investasi berwujud.
Salassae, Bulukumba, 29 Maret 2018