Skip to main content

Matano, Kisah Dua Tambang

SAWEDI Muhammad, seorang kawan, malam itu memberi saya sebuah buku. Usai sebuah pertemuan di kedai kopi, seberang sebuah bangunan apartemen yang berdiri congkak di jantung keramaian Makassar. Sebuah buku bersampul latar warna abu-abu: Gelombang Perlawanan di Tepian Matano. Ada dua hal yang memikat dari buku ditulis kawan saya. Pertama, kata Matano itu sendiri. Ingatan akan dua kisah tambang. Jejak-jejak sejarah peradaban metalurgi sebelum tahun 1000 hingga pada kisaran 1200. Sejumlah temuan arkeologi, mengirim bukti atau petunjuk geografis yang menguatkan mengenai pemukiman awal, pergerakan populasi, ekstraksi dan peleburan bijih besi, dan jaring ekonomi perdagangan besi hingga akhir abad 16. Kisah selanjutnya, penambangan nikel yang beroperasi sejak di awal rezim Soeharto. Kedua, buku ini ditulis seorang yang pernah bekerja selama 8 tahun pada sebuah maskapai tambang transnasional, PT International Nickel Indonesia - sekarang bernama PT Vale, anak perusahaan Inco Canada Limited yang didirikan 25 Juli 1968, dua hari sebelum penandatanganan Kontrak Karya. Ia, dalam buku ini, menuturkan posisi pekerjaannya berada di garda-depan perusahaan, berkaitan pertanggungjawaban sosial perusahaan (corporate social responsibility-CSR). Maka, pada sisi ini, menjadi menarik disimak: bagaimana kawan saya membangun argumentasi dalam memeriksa, mengurai dan menganalisis resistensi atau perlawanan masyarakat di lingkar tambang nikel PT Inco di Blok Soroako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. 
Matano adalah nama danau, berhadapan dengan Soroako. Letaknya di dataran berkerut di pinggang Sulawesi. Sebuah wilayah kaya akan pegunungan, sungai, dan danau, serta deposit mineral dalam perut bumi, seperti emas dan biji besi-nikel. Berada di Tana Luwu. Matano mengingatkan saya pada sebuah bagian tulisan sejarawan Ian Caldwell dan arkeolog David Bulbeck. Saya sungguh menikmati cara kedua ilmuan ini dalam mengumpulkan informasi berserak, menginterogasi teks-teks historis, menyandingkan dengan bukti-bukti arkeologis yang memakai analisis pertanggalan radiocarbon temuan dan transformasi linguistik, tradisi tutur masyarakat yang beragam dalam topografi Luwu, pada penulisan sejarah. Kalau boleh saya kutip, temuan situs ekstraksi tradisional bijih besi di sekitar Matano, sebagaimana tulisan mereka mengenai: Negeri Besi (Land of Iron, The Historical Archeology of Luwu and the Cenrana Valley). Matano menjadi awal landskap geografis peleburan besi dan jalur perdagangan penting setidaknya bertahan hingga abad 16.
Peralatan besi menjadi barang penting dalam pembukaan hutan dan ekspansi lahan pertanian-padi bagi masyarakat Bugis dalam kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Istilah Bugis setempat menyebut sebagai bessi Ussu', besi Ussu, merujuk ke Matano, sebagai sumber besi di Luwu. Pontanoa Bangka dapat dijadikan penanda asal usul peleburan besi ringan di pesisir Danau Matano, di pemukiman Mori atau para leluhur pada kisaran tahun 410 hingga 660 Masehi. Sekitar seribu tahun sebelum keberadaan industri peleburan besi skala penuh di Kampung Matano. Nuha dan Sukoyo, dua situs di utara Danau Matono menyediakan bukti dapat menjembatani pengolahan besi di Pontanoa Bangka dan Kampung Matano yang berada di pesisir barat Danau Matano. Nuha berada di ujung setapak ke utara menuju berbagai titik pedalaman Mori. Lokasi  menunjukan keterkaitan dengan jaringan dagang terpusat di lembah Lemo dan Sungai La, Sulawesi Tengah. Di sisi lain, Matano menjadi lokasi logis produksi besi komersial berorientasi ekspor dan rute perdagangan ke selatan di situs-situs pantai di ujung utara Teluk Bone, seperti di Wotu. Hal ini dapat disandingkan dengan bukti temuan pecahan keramik berdasar pertanggalan radiocarbon. Selain pergerakan populasi yang direlasikan dengan tempat pemukiman dan kuburan. Temuan tersebut kemudian mendeskripsikan atau mencitrakan suatu masyarakat berbasis ekonomi perdagangan, menyantap sagu sebagai makanan pokok daripada beras. Sejak 1200, terjadi peningkatan relasi dagang Selayar dengan pantai timur Jawa. Selain itu, melalui pantai timur Jawa dan Filipina selatan, rute dagang itu bergabung dengan jaringan dagang Cina dan India. Tak hanya ekspor besi, akan tetapi hasil hutan seperti getah damar dan rotan. Juga, terjadi peningkatan permintaan beras. Sebagaimana dinyatakan Caldwell, industri barang besi Luwu mempunyai dua kaitan dengan ekspansi pertanian padi-basah di dataran rendah lainnya di Sulawesi Selatan, sebagai sumber tersedianya peralatan besi bagi masyarakat berbasis ekonomi pertanian yang dapat ditukar dengan beras. Beras memiliki nilai tertinggi bagai masyarakat yang menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Selain, untuk mendeskripsikan masyarakat berbasis ekonomi perdagangan memperoleh kemakmuran atas ekstraksi, peleburan, penempaan dan ekspor besi.
Abad 16, permintaan besi Luwu mulai redup, berkaitan dengan maraknya perdagangan rempah-rempah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), kongsi dagang Hindia-Timur Belanda yang didirikan dengan modal 6,5 juta gulden. Selain besi berkualitas rendah dari Cina dan Eropa itu mulai berdatangan pada abad 17. VOC memusatkan atau monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku dan memilih Makassar sebagai pelabuhan utama. Sulawesi Selatan pun terhubung dengan perdagangan global. Hal ini pula yang membuat pelabuhan Luwu di Teluk Bone menjadi senyap. Jumlah penduduk mulai menurun karena banyak orang meninggalkan Luwu. Nama Luwu menghilang dalam percaturan perdagangan di Nusantara. Tradisi peleburan besi dari Matano itu pun turut menghilang, bersama dengan para pandai-besi. Kendati hingga awal abad 20, dilaporkan, besi leburan Nuha diperdagangkan ke utara menuju lembah Lemo dan diekspor dari pantai Bungku menuju ke timur Nusantara. Hal ini dapat memberi sedikit penjelasan, terjadinya konsentrasi kapital atas jalur perdagangan (teritorial) mengubah landskap geografis, sekaligus melumpuhkan entitas teritorial tertentu.
Kisah selanjutnya, pertambangan nikel, pada saat negara mulai meletakkan logika kapital menjadi fitur utama. Di sebuah tempat yang sama, di Matano. Namun, logika kapital telah melakukan reorganisasi atau rekonstruksi entitas teritorial. Dalam rentang waktu 1973-1978, PT Inco membangun pabrik pengolahan nikel, PLTA untuk menyuplai energi ke pabrik hingga memulai produksi komersial pertamanya. Kisaran waktu yang hampir sama dengan sebuah proyek yang diprakarsai dan didanai Bank Dunia dan USAID di Luwu: Proyek Luwu. Sebuah pembangunan jalan raya dari ujung selatan hingga ke timur Luwu, seperti mengikuti garis pantai Teluk Bone. Selain, irigasi pertanian padi dan transmigrasi, lebih tepatnya migrasi tenaga kerja. Sebuah jalan menuju ke lokasi industri ekstraktif: kelapa sawit dan tambang nikel.
Sepanjang saya pahami dari Buku Gelombang Perlawanan di Tepian Matano, adalah pada pertanyaan pokok, mengapa resistensi masyarakat lingkar tambang tidak pernah surut. Buku ini meminjam konsep kunci: accumulation by dispossession, istilah yang diperkenalkan David Harvey, seorang antropolog-cum geographer. Konsep ini dioperasikan dalam melihat gerakan perlawanan. Mula-mula buku ini melihat praktik-praktik atau proses pengambilalihan tanah milik masyarakat tempatan (indigenous community) oleh industri pertambangan, yang membuat mereka kehilangan asset dan menjual tenaga di perusahaan atau menjadi tenaga berupah lepas. Selain, operasi tambang juga mengubah bentang alam dan mendesak lokasi pemukiman warga. Menurut kawan saya, sebagian konsep accumulation by dispossession menemukan validitas. Sebagian lagi, dalam simpulan atau klaim buku ini, perlawanan bukan semata-mata terjadi sebab asset utama mereka dilucuti, dirampas dan dihilangkan oleh perusahaan, akan tetapi dengan sengaja oleh masyarakat dijadikan senjata, sebagai nilai tawar mereka terhadap perusahaan. Kawan saya menggambarkan sebagai ketergantungan secara berkelebihan terhadap perusahaan. Ada sejumlah opsi dalam buku ini, seperti pemberian saham perusahaan pada masyarakat lingkar tambang. Seberapa besar dana CSR terbukti tidak efektif, tidak bisa meredam konflik di lingkar tambang. Saya pun jadi teringat dengan kata antropolog Kathryn Robinson: nama Matano, selain berarti mata-air, juga bermakna mata-parang.

Paccerakkang, 27 Juni 2017

Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga

Saat Korporasi Mengatur Perut Kita

SAHABAT saya, Al Mujahid Akmal, menulis di halaman  facebook -nya: "jika setiap orang berpikir, siapa dan dengan cara seperti apa makanan diproduksi sebelum mereka konsumsi ... ada baiknya kalau saya coba belajar menanam sendiri". Aneka tanaman sayuran dan tanaman pangan, tumbuh sehat di halaman belakang rumahnya. Rasanya, kata "halaman belakang" sudah lama menghilang di setiap-kali pameran rumah di Kota Makassar. Orang di kota ini, terlanjur hidup diantara tembok yang bersekat-sekat, tanpa halaman. Beruntung sahabat saya ini, dapat berkebun di halaman belakang, yang bukan dimaksudkan bagian dari estetika atau keindahan, apalagi guna memenuhi kebutuhan cerita cerdas sebuah proyek. Akan tetapi, dibaca sebagai bagian sikap dan kritik dia atas sistem produksi pangan, selain untuk keperluan konsumsi sendiri. Atau, dalam bahasa ideologisnya, sebagai "konsumsi berkelanjutan". Sekitar 13 ribu kilometer dari tempat sahabat saya menulis sikapnya, tengah terj

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New Imp