Skip to main content

Seko, Displaced

LISTRIK adalah pembuka peradaban. Salah satu kicauan Sudirman Said, menteri energi dan sumberdaya mineral sebelum reshuffle kabinet pertengahan tahun lalu. Kicauan itu menegaskan langkah mengejar pembangunan pembangkit 35 ribu MW dan jaringan transmisi sepanjang 46 ribu kilometer. Klaim “peradaban” (civilization) itu sendiri, kerap kali dipakai sebagai penanda. Boleh jadi, memberitahu kita hidup pada sebuah zaman dimana kapitalisme tengah menjalar kemana-mana. Bukan pula berarti, klaim itu tidak menyulut perlawanan. Asosiasi peradaban dengan kemajuan, dalam banyak kenyataan hanyalah bentuk penyamaran atas visi penaklukan. Dalam perkembangannya kata peradaban ini justru dijadikan oposisi biner dengan kata kebudayaan (culture). Sejarah (history) peradaban berbalut kapitalisme, sepanjang ingatan kita, seringkali menggusur kisah (story), asal-usul, tradisi, bahkan mitos (myth). Padahal, kita juga tahu, bahwa kata culture berakar dari bahasa Latin yang bermakna: pelestarian atau pengasuhan.
Maka, tak heran, kalau hari-hari belakangan ini, sebuah perlawanan sedang disuarakan di Seko. Suara yang menyebar hingga ribuan kilometer jauhnya. Seko, sebuah wilayah masyarakat hukum adat di jantung Sulawesi diantara lipatan pegunungan Takolekaju dan Quarles, yang kaya sungai dan deposit mineral dalam perut bumi, di Luwu Utara. Sebuah pembangkit listrik tenaga air 450 MW hendak dibangun di sana. Narasi pembangunan pembangkit adalah janji menghapus defisit listrik. Tapi bagi orang Seko, antara apa yang dijanjikan itu dengan pembangunan pembangkit untuk siapa, merupakan batas-batas yang paling kontradiksi. Sebuah proyek pembangunan tanpa didahului percakapan dan persetujuan masyarakat, tanpa ketersediaan data-data proyek yang cukup dan memadai untuk dipahami. Besaran kapasitas listrik yang dihasilkan pembangkit, dalam akal sehat kit adalah konstruksi skala besar. Sudah barang tentu, konstruksi itu akan melibatkan serangkaian pembangunan terkait: waduk, jaringan pipa, bangunan turbin, skema konservasi tangkapan air, jaringan transmisi, bangunan untuk para pekerja. Boleh jadi, pembangunan ini akan makan banyak ruang, yang semula sumber penghidupan. Apa yang bisa dibayangkan kemudian? Soal ruang hidup. Ruang hidup orang Seko yang terampas, dan terhempas. Gelagat pembangunan itu pun terasa tidak ramah. Sikap menolak ditanggapi dengan penganiayaan, penangkapan, pemenjaraan, bahkan pengasingan.
Saya sendiri belum pernah ke Seko. Hanya sampai di sebuah persimpangan di Sabbang, dalam sebuah perjalanan saya dari Belopa ke Masamba, tepat dimana sebuah petunjuk ke arah Seko itu berdiri. Dari tempat itulah, perjalanan ke Seko ditempuh lebih dari sehari memakai sepeda motor. Kata seorang kawan, tidak sepenuhnya kita berkendaraan, tapi diselingi jalan kaki dan mendorong sepeda motor. Jalanan buruk berbatu, licin berlumpur, berkabut, mengitari tebing dan menyeberangi sungai berarus deras, sebelum sampai lembah Seko. Namun, penolakan mereka ini mengingat kembali saya mengenai sisi gelap wacana pembangunan.  Seperti apa yang terjadi di belahan dunia lainnya, di Gujarat dan Madhya Pradesh, India.
Sebuah proyek pembangunan bendungan raksasa paling ambisius: Sardar Sarovar, di sungai Narmada. Pembangunan tersebut merupakan bagian dari proyek pembangunan pedesaan Narmada. Narasi Sardar Sarovar adalah janji kemakmuran akan surplus beras, air bersih dan listrik. Kemakmuran, kata paling mewah bagi rakyat kebanyakan di dunia ketiga. Sardar Sarovar menjadi wacana pembangunan, diasosiasikan sebagai kuil modern India. Dalam buku-buku teks di sekolah, anak-anak menghapal bendungan itu sebagai nasionalisme, pembangunan bangsa, dan mengantar India bebas dari kelaparan dan kemiskinan. Kata Sardar Sarovar menjadi narasi. Akan tetapi, janji itu justru melawan nalar orang Narmada. Dalam catatan pribadi Paul Routledge, seorang peneliti, di desa Domkhedi, di lembah Narmada: penduduk desa bersumpah, lebih memilih tenggelam ketimbang dipaksa keluar dari rumah dan tanahnya di luar kehendak mereka. Proyek itu lantas membangkitkan amarah, mempertontonkan sisi paling gelap dalam wacana pembangunan.
Saya terpesona dengan pemikiran Arundhati Roy, seorang arsitek, penulis, dan aktivis. Ia menulis esai "The Living Cost", mengenai sisi gelap proyek Sardar Sarovar. Roy tidak sekedar menulis, akan tetapi juga memobilisasi perlawanan terhadap proyek bendungan itu. Kalau boleh saya kutip beberapa kalimat Roy, yang terasa magis bagi saya. Bendungan dibangun, orang-orang tercerabut, hutan terendam. 114 ribu orang dari 162 desa, mengungsi. Mereka diusir dari rumah mereka, bersamaan naiknya air, dikejar seperti tikus, tanpa pemberitahuan. Tidak ada rehabilitasi. Mengapa demikian? Bendungan besar adalah monumen korupsi. Korupsi internasional dalam skala yang tidak terbayangkan. Bankir, politisi, birokrat, konsultan,  lembaga bantuan internasional - semuanya terlibat, dalam satu keranjang. Orang-orang yang mereka mangsa adalah sebagian besar terpinggirkan dan populasi negara-negara termiskin di dunia. Mereka tidak dihitung sebagai orang. Seperti kata pepatah: ada banyak uang dalam kemiskinan.
Di Narmada, di Seko, dan di tempat lainnya, mempertunjukan bagaimana narasi pembangunan menggerakan subyek, sebagai wacana kekuasaan. Terma "membangun dari pinggiran", boleh jadi melawan mainstream sebelumnya, akan tetapi jika terma ini hanya mengeyahkan budaya, ekologi, penghidupan di pinggiran, ini berarti hanyalah slogan. Kesadaran dan kemampuan membongkar sisi gelap wacana pembangunan menjadi keniscayaan. Toh, saya masih membayangkan ketika terjadi interkoneksi pembangkit listrik di Seko, Salo Uro, dan Karama, ini sama saja menghapus jejak nenek moyang orang Seko. Sungai mati, hutan hilang, udara tidak bisa untuk bernafas, kembali saya kutip kalimat Arundhati Roy. Kita menjadi terlantar. Displaced.

Tamalanrea, 23 April 2017 

Popular posts from this blog

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New...

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Dia Bicara Lorong

BERAPA sebenarnya jumlah lorong di Kota Makassar. Saya berusaha keras mencari jawaban ini. Saya sudah sekian kali mengulik, menelusuri di internet. Rasanya tak ada sumber atau rujukan yang dapat memastikan jumlahnya secara tepat. Jumlah lorong di Makassar diestimasikan lebih dari 1.500. Saya sendiri tiba-tiba saja tertarik dengan pertanyaan ini, seusai sebuah pertemuan yang tak terduga dengan seorang kawan lama. Selepas magrib, di depan lapak penjual sate Mase Masea , sudut perempatan jalan Bandang dan Mesjid Raya. Sebuah lapak yang buka malam hari, yang tak terlupakan sejak kami kuliah pada paruh akhir dekade 1980-an. Dia bicara lorong, saat membuka percakapan. Ada keinginan kuatnya, menghentikan langkah orang untuk merampok, membegal uang rakyat, dalam "proyek pembangunan" di lorong-lorong Makassar. Saya menangkapnya pada kata "partisipasi", karena partisipasi menghindarkan orang akan keterkucilan, eksklusi sosial. Namun, mengeksekusi kata "partisipasi"...

Melintasi Sabana, Seram Barat

PAGI-PAGI benar saya sudah meninggalkan penginapan di depan mesjid negeri Passo, Ambon. Saya meluncur ke arah pelabuhan Hunimua, Liang, dimana kapal feri menuju Waipirit itu bersandar. Jalanan masih basah, hujan semalaman. B aliho para kandidat gubernur Maluku tampak berjejer di tiap sudut jalan. Pemilihan gubernur kali ini boleh jadi terasa penting, paling tidak menguji kembali semangat rekonsiliasi, penyelesaian politik identitas atau fitur oposisi perasaan "ke-kita-an" terhadap yang lain, yang sempat membakar masa lalu. Bukankah,  sebagian dari pemilih tersebut, adalah mereka yang pernah menjadi kombatan saat masih berumur anak-anak dalam konflik kekerasan bersentimen etnis dan agama di Maluku pada 1999-2002. Data statistik struktur usia penduduk dalam sebuah dokumen rencana pembangunan tahun 2016 menggambarkan, jumlah penduduk terbesar di Kota Ambon, adalah yang berusia 20-24 tahun, diikuti mereka yang berusia 25-30 tahun. Matahari pagi hangat dan laut tenang, penyebe...

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel...