Skip to main content

Perebutan Makna

BUNG, Usi, Abang, Caca: memiliki makna yang sejatinya sama. Panggilan yang digunakan untuk kakak laki-laki dan kakak perempuan, bagi para penutur Ambon. Namun, makna (tanda) itu dapat berbeda ketika dibaca ternyata menggambarkan segregasi sebagai identitas kelompok yang "semakna". Bagaimana kemudian "bahasa" (langue) dapat memproduksi "persamaan" dan "perbedaan" makna. Boleh jadi, bersamaan dengan kehadiran kata (kode) yang disandikan: Obet dan Acang (atau, Sarani dan Salam), pada peristiwa (konteks) konflik kekerasan yang menghebat di Ambon. Sejauh mana kita dapat membaca (dan dibaca) makna simbolik tersebut, mungkin sejauh kemampuan (kompetensi) untuk menelusuri relasi sosial dan kuasa politik, juga ikatan sejarah, yang mempengaruhi pembacaan (kesadaran) seseorang terhadap dunia sosial. Maka, pengertian "kompetensi" ini berhubungan dengan kelas sosial, juga "kesenjangan" dalam ruang geografis. Pertanyaan penting yang masih tersisa, bagaimana bisa dijelaskan: perjumpaan, bentrokan, dan perebutan makna (langue) dalam ruang “melting pot” atau “mozaik”. Bagaimana arena tersebut menjebak, menjelma menjadi oposisi biner "kita versus mereka", atau sebaliknya akan mengisolasi "kemajemukan" menjadi ruang (lokasi) yang-lain (the other). Saya pikir, serangkaian esai pemikiran Pierre Bourdieu, antara akhir 1970-an hingga pada pertengahan 1980-an: Language and Symbolic Power, bisa jadi menjelaskan perkara ini. Bourdieu mungkin dapat menuntun kita, yang menggunakan metafora ekonomi: the economiy of linguistic exchange (dengan terma kunci: "pasar", "profit", "kapital", dan sebagainya). Pemaknaan tidak berhenti pada cara makan dan pakaian (fashion) dan mitos, akan tetapi bagaimana makna dielaborasi, dipasarkan, dipertukarkan, hingga menjadikan wacana (discourse) tetap hegemonik. 
Perebutan makna boleh jadi menemukan momentum pada hari-hari belakangan ini. Media sosial yang cukup berisik, salah satunya, dengan aksi-aksi di jalanan Jakarta. Orang ramai berbicara, bergunjing, berkomentar, berkomunikasi melalui sebuah mesin robotic global bernama: media sosial. Di sanalah, kebutuhan psikologis orang akan apresiasi, rupanya melewati batas-batas alami. Meski sebagian menyangsikan akan ketulusan yang diekspresikan ke dalam mesin yang terkadang kelewat abstrak tersebut. Simbol jempol (like) atau simbol ekspresi lainnya dalam media sosial, menjadi bermakna dan sedang diperebutkan. Boleh jadi, hal ini sebagai kekuatan (kuasa) simbolik, atau malah berubah menjadi kekerasan simbolik menuju politik kekerasan. Lewat mesin itu pula, orang ramai memperluas pengikut semakna (follower). Atau, mencari panggung populisme, sebuah pengertian yang longgar, pengertian berbeda bagi kelompok yang berbeda. Media sosial menjadi situs budaya populer, menjadi tempat (venue) konsumen makna yang ketagihan bernegosiasi: bersepakat atau beroposisi, kemudian serta-merta mengubah dirinya aktif menjadi produsen makna, berperilaku agen. Seperti, salah satu manifesto Ronald  Barthes: teks memungkinkan pembaca mengalami 'jouissance' (ekstasi), kenikmatan erotis yang ekstrim sekaligus menggelisahkan. 
Dalam media sosial itu juga, kita menyaksikan, makna simbolik “kesalehan” (piety) yang sedang diperebutkan sebagai identitas di ruang publik. Konteks “kesalehan” sendiri dianggap tanda penting yang merujuk perilaku, yang akan tersambung dengan pemaknaan pleasure (kepuasan) dan leisure (kesenangan). Sejumlah studi menyebut hubungan antara kaum urban (dibaca sebagai lapisan sosial menengah kota: borjuis/petite bourgeois) dengan budaya populer. Hubungan yang sesungguhnya sangat kompleks antara kekuasaan sosial dengan penggunaan produk (komoditas) budaya: buku, film, musik, fashion, traveling, kuliner, institusi keuangan, institusi pendidikan, bentuk organisasi, bahkan kosa kata yang diucapkan ketika memulai pembicaraan, yang kemudian dibaca sebagai identitas kelompok yang berbeda. Saya menduga, perebutan makna ini mungkin saja berhubungan dengan kecemasan atau kegusaran petite bourgeois (soal genealogi kelas menengah kota, bisa dibaca dalam literatur sejarah negeri ini), boleh jadi sedang mencari panggung populism atau mungkin berkait konvergensi ekonomi global (dalam istilah Thomas Friedman: "dunia datar", flat-world platform, yang kecil bisa bertindak besar). Atau, boleh jadi dalam konteks tertentu populism yang menguat berkait ketimpangan pembangunan (uneven, istilah yang biasa dipakai menjelaskan karakteristik inheren dalam kapitalisme). 
Saya mencoba membayangkan tanda "uneven" dalam ruang geografis. Mungkin, ilustrasi sederhana mengenai Sulawesi Selatan dari tanda-tanda statistik dalam kajian ekonomi dan keuangan regional yang diterbitkan Bank Indonesia untuk November 2016. Coba membayangkan secara sederhana, pertumbuhan ekonomi yang berada diatas pertumbuhan ekonomi negeri ini, akan tetapi rasio gini menempatkan Sulawesi Selatan pada tingkat ketimpangan yang tinggi di pulau Sulawesi.  Lantas, takjub dengan pertumbuhan rekening perseorangan di atas 20 miliar di Makassar. Sementara, dari data sensus pertanian BPS, kita dapat melihat menurunnya lahan kepemilikan rumah tangga para petani gurem, anehnya kepemilikan lahan di atas 3 hektar justru meningkat.
Boleh jadi, dengan "tanda-tanda" ini, sedang terjadi pengrusakan basis material kebudayaan di mana-mana, ketika terjadi konvergensi ekonomi. Atau, dalam konteks lain, meneguhkan anggapan bahwa proyek kapitalisme memang merancang ketimpangan (market unrest), terus bergerak mencari ruang-ruang keruk baru, sembari meninggalkan ruang yang telah rusak. Mungkin saja, anak-anak muda yang terkena "bonus demografi", yang dicitrakan sebagai generasi polyglot, dapat menjadi bridging group. Paling tidak memaknai, bahwa kita tidak berada di "tataran dunia datar", seperti kata Friedman, yang hanya menghasilkan uneven.

Tamalanrea, 21 Pebruari 2017



Popular posts from this blog

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis

Makassar, Subaltern

BETAPA sulitnya menulis masa lalu. Abdul Rasyid Idris, seorang kawan, memberi saya tiga buku berharga di ujung Syaban. Salah satu buku, dari tiga buku karyanya, bertajuk: Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu. Rasanya, buku ini bukan sebuah produk industri nostalgia yang dimaksudkan memicu perasaan melankolik setiap orang. Saya sendiri tak hendak mencari tahu dalam buku ini, ketika memenuhi kerinduan akan sebuah lapak kopi di selasar Pasar Cidu'. Sebuah lapak yang menjual kopi yang lebih enak dan harganya lebih murah berkali-kali lipat dari Starbucks. Secangkir kopi yang bikin mata melek, yang bisa menghidupkan ekonomi orang pasar siang malam. Saya pikir, kawan saya ini tidak terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Akan tetapi, ia melakukan pembacaan kembali, hal-hal apa yang hadir menjadi ingatan. Apa yang dialaminya dalam ruang temporal (masa lalu). Hanya saja, bahasa menyimpan problem internal, ketika menghadirkan kembali (re-presentasi). Coba kita membayangkan denga

Saat Korporasi Mengatur Perut Kita

SAHABAT saya, Al Mujahid Akmal, menulis di halaman  facebook -nya: "jika setiap orang berpikir, siapa dan dengan cara seperti apa makanan diproduksi sebelum mereka konsumsi ... ada baiknya kalau saya coba belajar menanam sendiri". Aneka tanaman sayuran dan tanaman pangan, tumbuh sehat di halaman belakang rumahnya. Rasanya, kata "halaman belakang" sudah lama menghilang di setiap-kali pameran rumah di Kota Makassar. Orang di kota ini, terlanjur hidup diantara tembok yang bersekat-sekat, tanpa halaman. Beruntung sahabat saya ini, dapat berkebun di halaman belakang, yang bukan dimaksudkan bagian dari estetika atau keindahan, apalagi guna memenuhi kebutuhan cerita cerdas sebuah proyek. Akan tetapi, dibaca sebagai bagian sikap dan kritik dia atas sistem produksi pangan, selain untuk keperluan konsumsi sendiri. Atau, dalam bahasa ideologisnya, sebagai "konsumsi berkelanjutan". Sekitar 13 ribu kilometer dari tempat sahabat saya menulis sikapnya, tengah terj

Gudo, Lasem. Perjumpaan Negeri yang Berbeda

SAYA beruntung dapat menjejaki dua tempat: Gudo, Jombang dan Lasem, Rembang. Nah, bersiaplah dengan kisah perjalanan saya kali ini, menembus lorong waktu. Gudo dan Lasem, dua  tempat yang sebelumnya telah menggoda perhatian saya. Boleh jadi, karena keinginan perjumpaan akan ruang geografis etnis dan penghayatan subyektifnya yang berbeda dengan tempat lain di negeri ini, dalam memahami hubungan pasang-surut akibat pertikaian sosial. Atau , tertarik dengan kalimat akhir sebuah artikel yang mengutip tulisan para pecinta pemikiran Gus Dur di klenteng (untuk menyebut rumah ibadah Tionghoa) Gudo: "semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita". Di kedua tempat ini, Gudo dan Lasem, klenteng menjadi landmark (mercu-tanda) . Jarak keduanya,  cukup berjauhan. Jalan pintas terdekat, sekitar 180 kilometer, membelah punggung pegunungan kapur Kendeng. Dari Gudo menuju ke utara, lewat Tuban. Lalu ke arah barat, berjalan di atas jalanan warisan Gubernur Jenderal Hindia Bel

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New Imp