Skip to main content

Racun

KATA "racun", hari-hari ini, menarik perhatian orang ramai. Paling tidak itulah yang terbaca dalam pembicaraan di media sosial dan layar kaca: sebuah sidang pengadilan mengenai matinya seorang perempuan bernama Mirna, 6 Januari 2016. Mirna tiba-tiba tumbang usai menyeruput es kopi Vietnam di sebuah kedai kopi, sebuah mal di Jakarta. Saat saya menulis ini, sidang itu sedang berjalan. Mirip opera sabun atau sinetron, makan waktu panjang, mungkin melelahkan, toh banyak orang sedang menanti ujung akhir ceritanya. Mereka menanti putusan akhir hakim, yang mungkin dapat menjawab: apakah Mirna meninggal karena racun sianida, benarkah racun itu berada dalam kopi yang diminum Mirna. Paling tidak, kasus ini diharapkan tidak larut menjadi "misteri".
Sidang pengadilan yang melekat dengan kata "racun" tersebut, membuat sebagian dari kita memanggil kembali memori lama terkait terbunuhnya Munir. Orang teringat kembali, Munir. Lelaki bersahaja itu kerap kali menerima intimidasi bahkan ancaman pembunuhan, sebelum akhirnya meninggal dalam pesawat Garuda Indonesia GA 974 yang membawanya ke Amsterdam dari Jakarta. Munir Said bin Thalib, seorang penggiat Hak Azasi Manusia, dikenal sebagai sosok pemberani dalam membongkar praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan. Munir tewas di wilayah udara Romania, dua jam sebelum pesawat mendarat di bandara internasional Schiphol, Amsterdam, 7 September 2004.  Hasil otopsi dari forensik Belanda (NFI) yang dirilis dua bulan kemudian, ditemukan racun arsenik yang melebihi dosis dalam tubuh Munir. Kemudian, memang ada serangkaian persidangan di pengadilan, ada yang divonis hukuman penjara oleh hakim, namun tetap menyisakan sejumlah pertanyaan di dalam kepala publik, yang tidak terungkap secara terang-benderang. 
Kasus keracunan di negeri ini, bukan satu dua kasus saja. Atau, tidak saja memapar satu dua orang korban. Seorang dokter di sebuah klinik di Tamalanrea, membuka percakapan mengenai kasus keracunan di Indonesia, tergolong kasus yang tinggi di dunia, di selala-sela diskusi kami soal edukasi dini pada anak-anak mengenai stroke. Saya bisa memahaminya. Kasus keracunan di tempat kerja, misalnya. Dalam sejumlah dokumen pemerintah, yang ditelaah dalam sebuah studi-meja Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan, beberapa tahun yang lalu, keracunan pestisida yang memapar dan mematikan sejumlah petani dinyatakan sebagai "kasus bunuh-diri". Pertanyaan sosiologis yang dapat diajukan: sejauh mana ketegangan sosial di pedesaan. Sayangnya, kasus keracunan dinyatakan dalam "peristiwa yang tunggal" tidak diusut lebih jauh. Misalnya, peran atau intervensi supervisi, edukasi, asuransi bagi para petani jika produksi pangan menjadi langkah kebijakan strategis negeri ini. Atau, investigasi laju produksi dan distribusi pestisida yang tidak terbuka pada publik, mungkin juga soal penyelundupan pestisida untuk perkebunan besar.
Juga, kasus-kasus keracunan makanan. Kasus keracunan makanan di Sulawesi Selatan dua bulan lalu, misalnya. Di Desa Mallosoro, Jeneponto, puluhan orang keracunan, bahkan tiga diantaranya meninggal setelah mengkonsumsi kerang laut (tude) yang diambil di pinggir pantai Bungungpandang. Hasil pemeriksaan sampel kerang laut yang diambil di lokasi tersebut, oleh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan, mengindikasikan positif adanya arsenik dan sianida. Dua kata yang cukup mengingatkan kita mengenai Mirna dan Munir. Sayang jika kasus kerang laut tidak diusut atau ditelaah lebih serius, mungkin seserius sidang-sidang pengadilan kematian Mirna, misalnya. Puluhan orang yang keracunan di Jeneponto, memang orang-orang biasa, akan tetapi jangan lupa, mereka adalah warga di negeri ini. Bukankah negara memiliki kewajiban melindungi, menghargai dan memenuhi hak-hak warga negara.

Tamalanrea, 6 Oktober 2016

1. infografis keracunan bersumber dari https://tirto.id/menanti-gebrakan-bpom-meredam-kasus-keracunan-makanan-KS
2. Soal Munir dapat dilihat di omahmunir.com
3. Keracunan kerang laut di Jeneponto dapat dilihat di http://www.mongabay.co.id/2016/09/12/kerang-mengandung-arsenik-dan-sianida-63-warga-jeneponto-keracunan-2-meninggal/



Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Separasi, Segregasi, Ruang Kota Kolonial

HALAMAN belakang selalu memberi imajinasi. Pekan lalu, saya merasa beruntung dapat menjelajahi halaman belakang Pulau Ambon. Garis awal, pagi itu, langit biru sedikit awan, dari jalan sempit di samping markas polisi. Mobil kami mulai merayap di tanjakan jalan dan berkelok-kelok di punggung pegunungan Ambon. Mata kami mesti tetap awas di Lei Timur, beberapa ruas badan jalan digerus tanah longsor. Pekan ini, nampaknya para nelayan, di wilayah yang berhadapan dengan Laut Banda ini, lebih banyak waktunya di darat. Badan meteorologi dan geofisika setempat meramalkan cuaca buruk. " Bodi bisa picah-picah ," kata seorang nelayan, itu sebabnya perahu penangkap tuna, sebagian bantuan dari kementerian kelautan, tertelungkup di tepi pantai.        Lewat Passo, kami menjelajah ke Tanah Hitu. Masih di halaman belakang. Saya menikmati pesona Jazirah Lei Hitu. Mesjid tua yang bersejarah di Negeri Hila, juga bangunan peninggalan Belanda, Benteng Amsterdam, semula adalah loji P...

Cerita dari Tual

PESAWAT yang membawa saya dari Makassar itu tiba-tiba terguncang keras. Tak lama setelah terperangkap dalam awan kelabu. Lantas, terasa meluncur turun dengan cepat sekali dari ketinggian. Hingga akhirnya menyentuh ujung landasan, menghempas genangan air hujan. Musim timur di Ambon rupanya mengirim hujan deras sejak pagi-pagi buta. Saya singgah transit beberapa jam di Bandara Pattimura. Siang hari baru menuju Ibra-Langgur, Maluku Tenggara.  Lebih dari sepuluh tahun lalu, saya hanya transit sejenak di pangkalan angkatan udara Dumatubun, Langgur, dalam sebuah perjalanan ke Saumlaki, Tanimbar dari Ambon. https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/02/Topographic_map_of_the_Kai_Islands-en.svg Hujan ternyata belum juga reda, ketika mesin baling-baling (turboprop) pesawat ATR itu menyala. Perjalanan ke Ibra-Langgur tidak sampai dua jam. Di atas Laut Banda, langit kembali cerah, meski sedikit berawan. Sebelum mendarat di Bandara Karel Sadsuitubun, dari balik jendela pesawat, namp...

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he...