Skip to main content

Capung

DRAGONFLY effect. Saya mendapatkan istilah ini dalam sebuah obrolan, dalam sebuah grup WhatsApps. Obrolan tersebut membincangkan sebuah buku yang ditulis Jennifer Aaker dan Andy Smith: "The Dragonfly Effect", yang menggambarkan betapa cepat, efektif, dan kuatnya media sosial dalam mendorong perubahan. Saya sendiri sedikit tergoda dengan ungkapan metafor mengenai: capung. Orang Makassar menyebutnya, bereng bereng, seperti merek kaos yang dibuat anak muda di Makassar. Mengapa mesti capung? Salah satu jenis serangga predator, yang diperkirakan telah terbang di bumi sejak 300 juta tahun lalu. Dalam ranah budaya di banyak tempat, capung penuh dengan simbolisme, penuh dengan cerita. 
Serangga ini terlihat seperti hewan mungil yang ramah tidak berbisa, namun faktanya, capung adalah predator paling brutal di dunia binatang. Bahkan melebihi singa Afrika, sebagai hewan karnivora yang ditempatkan di puncak rantai makanan. Capung mampu memburu, menangkap, mengunyah total mangsanya dengan tingkat keberhasilan mencapai 95 persen. Bandingkan dengan tangkapan si kucing besar dari Afrika itu, hanya 25 persen dari total mangsa yang mereka kejar. Boleh jadi, karena kemampuan penglihatan capung yang multifaset, dengan sudut pandang 360 derajat. Sebagai pengendali biologis, capung dapat mengunyah 50 nyamuk dalam sehari pada saat terbang. Capung merupakan penerbang yang tangguh, dengan kecepatan terbang mencapai 100 kilometer per jam. Seperti manuver helikopter, capung dapat mendorong dirinya terbang ke enam arah: ke atas, bawah, depan, belakang, kiri, dan kanan, selain dapat melayang dan meluncur bebas
Dalam pandangan tradisional, capung dilambangkan dengan perubahan yang bersumber dari kematangan mental dan emosional. Pemaknaan ini biasanya terinspirasi dengan fakta mengenai capung. Capung menghabiskan sebagian besar hidupnya di bawah air sebagai nimfa dalam fase larva mereka, kadang-kadang sampai 3 tahun. Dan, hidup singkat, sekitar satu bulan, di atas permukaan air sebagai capung dewasa. Berbekal kemampuan penglihatan yang mengagumkan, capung mampu membedakan antara cahaya warna, ultraviolet, bahkan cahaya yang terpolarisasi. Hal ini membuat mereka mampu mendeteksi refleksi dalam air. Serangga ini menggunakan hampir 80 persen kekuatan otaknya untuk melihat. Kombinasi warna, bak permainan ilusi polarisasi cahaya warna, ditunjukan capung dewasa baik pada tubuh maupun sayapnya. Banyak orang terinsiprasi dengan keberadaan capung dan memberi pemaknaan yang mendalam. Mungkin ini pula analogi efek capung yang dimaksud oleh Aaker dan Smith, bagaimana capung menyelesaikan tujuan secara sederhana, efektif, dan cepat, bahkan boleh jadi melampaui apa yang ada di permukaan. 
The Dragonfly Effect Model, adalah semacam rancangan untuk berpikir. Model ini mengacu pada empat sayap capung, dan mengurutkannya secara sistematik. Namun, intinya adalah cerita, storytelling, dalam menggunakan media sosialMetode cerita yang terfokus, menarik perhatian, kemudian melibatkan banyak orang, hingga dapat membuat tindakan, boleh jadi sebuah metode yang sederhana, yang dapat membuat perubahan. Modal bercerita, memang sudah lama diterapkan sejak nenek moyang kita, atau ketika kita masih kanak-kanak, kita masih ingat ibu kita mendongeng sebelum kita tertidur pulas. Namun, bagaimana cerita yang mengandung informasi yang menarik perhatian, bagaimana mengemas informasi menjadi kekuatan aksi kolektif, mungkin kita butuh pengetahuan dan keterampilan yang cukup.
Kembali pada cerita capung. Komunitas pecinta capung saat ini sedang risau, capung di Indonesia terancam punah. Kondisi perairan di negeri ini sangat memprihatinkan, polusi, pencemaran, alih fungsi, adalah fakta-fakta yang berkembang yang menyertainya. Padahal kehidupan capung tergantung pada kondisi air. Saya sendiri toh seperti berharap merek kaos bereng bereng itu, bisa juga memicu kesadaran mengenai habitat capung yang sedang tergerus oleh pembangunan yang tidak ramah.

Paccerakkang, 1 Juli 2016

Popular posts from this blog

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New...

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Lenyapnya Kampung Kota

APA arti kampung kota? Pengertiannya agak elusif. Kampung kota memiliki memori kolektif. Sebagian besar menautkan pembentukan kampung kota di kota-kota besar Indonesia dengan fenomena urbanisasi, bahkan terhubung dengan kisah para pelarian dari konflik sosial di tempat lain. Kita mungkin dapat segera mengidentifikasi penanda atas ruang geografis dengan memakai spektrum etnisitas. Kampung Melayu, Kampung Maluku, Pecinan, beberapa diantaranya. Tentu saja, tidak seluruhnya. Kalau kita membaca sebuah buku karya profesor Mattulada, “Menyelusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah 1510-1700”, kita dapat mengetahui penamaan kampung-kampung yang memiliki kisah yang khas. Kampung Lariang Bangi, misalnya, sebutan tempat anak muda membawa lari (menculik) anak gadis pada malam hari. Atau, kisah tempat perjumpaan orang Mandar yang ahli membuat tali, lantas ditukar dengan ikan hasil tangkapan para pelaut dari Turatea, sehingga terbentuk kampung Paotere sebagai tempat berlabuh perahu dan pasar ik...

Dia Bicara Lorong

BERAPA sebenarnya jumlah lorong di Kota Makassar. Saya berusaha keras mencari jawaban ini. Saya sudah sekian kali mengulik, menelusuri di internet. Rasanya tak ada sumber atau rujukan yang dapat memastikan jumlahnya secara tepat. Jumlah lorong di Makassar diestimasikan lebih dari 1.500. Saya sendiri tiba-tiba saja tertarik dengan pertanyaan ini, seusai sebuah pertemuan yang tak terduga dengan seorang kawan lama. Selepas magrib, di depan lapak penjual sate Mase Masea , sudut perempatan jalan Bandang dan Mesjid Raya. Sebuah lapak yang buka malam hari, yang tak terlupakan sejak kami kuliah pada paruh akhir dekade 1980-an. Dia bicara lorong, saat membuka percakapan. Ada keinginan kuatnya, menghentikan langkah orang untuk merampok, membegal uang rakyat, dalam "proyek pembangunan" di lorong-lorong Makassar. Saya menangkapnya pada kata "partisipasi", karena partisipasi menghindarkan orang akan keterkucilan, eksklusi sosial. Namun, mengeksekusi kata "partisipasi"...

Melintasi Sabana, Seram Barat

PAGI-PAGI benar saya sudah meninggalkan penginapan di depan mesjid negeri Passo, Ambon. Saya meluncur ke arah pelabuhan Hunimua, Liang, dimana kapal feri menuju Waipirit itu bersandar. Jalanan masih basah, hujan semalaman. B aliho para kandidat gubernur Maluku tampak berjejer di tiap sudut jalan. Pemilihan gubernur kali ini boleh jadi terasa penting, paling tidak menguji kembali semangat rekonsiliasi, penyelesaian politik identitas atau fitur oposisi perasaan "ke-kita-an" terhadap yang lain, yang sempat membakar masa lalu. Bukankah,  sebagian dari pemilih tersebut, adalah mereka yang pernah menjadi kombatan saat masih berumur anak-anak dalam konflik kekerasan bersentimen etnis dan agama di Maluku pada 1999-2002. Data statistik struktur usia penduduk dalam sebuah dokumen rencana pembangunan tahun 2016 menggambarkan, jumlah penduduk terbesar di Kota Ambon, adalah yang berusia 20-24 tahun, diikuti mereka yang berusia 25-30 tahun. Matahari pagi hangat dan laut tenang, penyebe...