MOTA AIN, 22 kilometer. Begitu yang saya baca, tulisan papan petunjuk jalan, selepas menyelusuri jalan berkelok-kelok
tajam menuruni punggung perbukitan dari Kota Atambua. Pohon-pohon asam besar berjejer di tepian jalan, tapi terik matahari Timor masih terasa
menyengat. Di atas mobil, musik dangdut koplo belum juga habis menghentak-hentak. Berlari kencang di atas jalanan mulus, melewati Atapupu, pelabuhan kontainer
di utara Belu, menuju garis depan negeri
ini. Kawan saya, seorang anak muda keturunan Timor Leste, bilang kalau
kapal-kapal yang sedang merapat itu, membawa beras dan semen dari Makassar.
Mota Ain, titik paling ramai, diantara jalanan ke tapal batas Timor Leste lainnya, termasuk daerah eksklave, Oecusse. Seingat saya, ketika
saya masuk dari desa Fatuketi, jalanan menuju pintu masuk Oecusse, tidak
seramai Mota Ain. Beberapa ruas jalannya pun buruk. Kalau pun Mota Ain ramai,
karena lebih dekat dengan Dili, hanya butuh waktu 2-3 jam saja.
Menuju titik batas, jalan sekitar 500 meter di antara
dua palang pintu (portal). Pertama, pos polisi, tempat bis berhenti. Para
penumpang harus turun, berjalan kaki menuju pos imigrasi dan pos militer, tempat
para penjaga perbatasan, sebelum melewati palang pintu perbatasan. Dan, selepas
itu, terdapat dua jembatan. Jembatan berpagar besi yang dicat warna merah putih, garis batas yang ditandai prasasti marmer yang ditanda tangani Jose Ramos Horta dan Hassan Wirajuda, menteri luar negeri saat itu, dan jembatan besi yang bertuliskan: Bem-Vindo A Timor Leste. Terakhir, pos
imigrasi dan militer negeri sebelah.
Jalan pendek ini, menarik hati saya. Di bawah pohon
rindang, depan pos jaga polisi militer, di samping warung nasi milik seorang
perempuan Bugis-Bone, saya menikmati urat nadi ekonomi itu berdenyut. Tukang
ojek sepada motor sedang baku tawar harga. Anak-anak yang membawa barang para pelintas batas
dengan upah satu dollar Amerika. Truk-truk besar tertutup kain terpal, membawa barang
dan sembako yang sedang melintas menuju Timor Leste. Para penjaga perbatasan kedua negara memesan nasi
dan rokok di warung Mota Ain. Sang pemilik warung nasi, saya perhatikan, cukup
bersemangat bercerita mengenai kabar baik berdagang di perbatasan. “Beras di
sebelah lagi murah,” katanya. Saya lalu menyela,”tapi berasnya tidak enak, kata
orang”. “Orang kampung itu tidak butuh beras enak, yang penting murah,”
tungkasnya. Saya mengalihkan pandangan ke arah sebuah bank, satu-satunya bank di Mota Ain, dekat pos imigrasi,
menyediakan ATM dan money changer. Melewati tapal batas, butuh uang
30 dollar Amerika, selain visa dan paspor.
Di Atambua, ibukota Belu, saya sering melihat tulisan spidol di
atas kertas karton: tukar dollar dan jual pulsa, atau jual
rokok dan tukar dollar. Rasanya, bagi saya, Atambua adalah kota pasar. Sebuah
kota dengan patokan yang mudah diingat di kepala: pasar lama dan pasar baru. Waktu
pun terasa tertib berdetak di kota ini, pagi ramai sekali dan pada siang hari, hampir
semua toko tertutup. Kawan saya bercanda: waktunya tidur siang. Toko-toko itu
terbuka kembali mulai sore hari hingga jam 8 petang. Itu pula yang membuat saya
harus tertib waktu makan malam, sebelum warung nasi Padang dan Lamongan itu menutup pintu.
Atambua memang sedang tumbuh. Pemerintah setempat sering berusaha memantik perhatian Jakarta, Belu sebagai wilayah perbatasan dan daerah tertinggal. Juga, berbagai organisasi internasional dan gereja, sejak lama memiliki andil atas bantuan teknis dan keuangan. Toh, tidak sepenuhnya berjalan sempurna.
Di lereng Gunung Lakaan, di Lasiolat, tempat tomat-tomat besar yang terkenal itu dipanen pada musim panas, bantuan listrik tenaga surya dan biogas ternyata tidak berumur panjang. Seorang pejabat, sebuah dinas, menuturkan pada saya, bagaimana pohon-pohon kemiri dan asam di Belu yang ditebang habis untuk memenuhi bantuan pembangunan rumah. Dalam sebuah perjalanan di sejumlah desa, saya sering menemui kerangka besi berkarat yang berdiri untuk bangunan rumah. Kata orang, bantuan perumahan. Tapi, kesan saya, bantuan rumah itu dibiarkan mangkrak, tidak terurus. Saya tiba-tiba teringat dengan kata-kata Arundhati Roy, perempuan-pemikir India, yang meragukan politik bantuan: yang membekukan harapan, memantik kemarahan, disinformasi di mana-mana.
Atambua memang sedang tumbuh. Namun, sejak awal, kekuatiran saya pada pertumbuhan ekonomi tidak dapat mengatasi ketimpangan. Pasar Atambua selalu ramai. Tapi, anak-anak muda Belu, tetap saja memadati kantor dinas sosial dan tenaga kerja, mereka hendak menjadi buruh rantau. Desi, kawan saya, perempuan muda yang lahir di tapal batas, baru saja lulus SMA, menceritakan ketimpangan kesempatan pendidikan bagi perempuan, bukan sekedar keterpecilan akan akses pelayanan pendidikan. Namun, Atambua masih menyisakan anak-anak muda yang memiliki optimisme hidup di kampung. Di pasar lama Atambua, saya bertemu dengan seorang kawan perempuan, sarjana pemerintahan. Prima, namanya. Dia kemudian mengutip dan menafsir kembali kata-kata Pramudya Ananta Toer, sasterawan besar negeri ini, kepada saya sebelum kembali ke kampung: "hidup mungkin saja sulit, tapi kita butuh keberanian untuk hidup".
Atambua, 18 Pebruari 2015
Atambua memang sedang tumbuh. Pemerintah setempat sering berusaha memantik perhatian Jakarta, Belu sebagai wilayah perbatasan dan daerah tertinggal. Juga, berbagai organisasi internasional dan gereja, sejak lama memiliki andil atas bantuan teknis dan keuangan. Toh, tidak sepenuhnya berjalan sempurna.
Di lereng Gunung Lakaan, di Lasiolat, tempat tomat-tomat besar yang terkenal itu dipanen pada musim panas, bantuan listrik tenaga surya dan biogas ternyata tidak berumur panjang. Seorang pejabat, sebuah dinas, menuturkan pada saya, bagaimana pohon-pohon kemiri dan asam di Belu yang ditebang habis untuk memenuhi bantuan pembangunan rumah. Dalam sebuah perjalanan di sejumlah desa, saya sering menemui kerangka besi berkarat yang berdiri untuk bangunan rumah. Kata orang, bantuan perumahan. Tapi, kesan saya, bantuan rumah itu dibiarkan mangkrak, tidak terurus. Saya tiba-tiba teringat dengan kata-kata Arundhati Roy, perempuan-pemikir India, yang meragukan politik bantuan: yang membekukan harapan, memantik kemarahan, disinformasi di mana-mana.
Atambua memang sedang tumbuh. Namun, sejak awal, kekuatiran saya pada pertumbuhan ekonomi tidak dapat mengatasi ketimpangan. Pasar Atambua selalu ramai. Tapi, anak-anak muda Belu, tetap saja memadati kantor dinas sosial dan tenaga kerja, mereka hendak menjadi buruh rantau. Desi, kawan saya, perempuan muda yang lahir di tapal batas, baru saja lulus SMA, menceritakan ketimpangan kesempatan pendidikan bagi perempuan, bukan sekedar keterpecilan akan akses pelayanan pendidikan. Namun, Atambua masih menyisakan anak-anak muda yang memiliki optimisme hidup di kampung. Di pasar lama Atambua, saya bertemu dengan seorang kawan perempuan, sarjana pemerintahan. Prima, namanya. Dia kemudian mengutip dan menafsir kembali kata-kata Pramudya Ananta Toer, sasterawan besar negeri ini, kepada saya sebelum kembali ke kampung: "hidup mungkin saja sulit, tapi kita butuh keberanian untuk hidup".
Atambua, 18 Pebruari 2015