Skip to main content

Mae

JANGAN panggil aku ibu, sebut saja namaku, Mae. Sebuah pesan pendek masuk dalam telepon genggam saya, pagi itu. Usia Mae mendekati 35. Sudah sekian tahun lamanya, Mae menjadi orang tua tunggal bagi dua anaknya. Tiga kali menikah, dan semuanya berantakan. Pada alasan yang sama, ketiga lelaki itu tidak peduli akan hidup Mae dan anaknya. Mae pernah bertahan hidup sebagai buruh migran di negeri jiran. Lima kali ganti majikan, disiksa, lari dengan speedboat menuju arah Medan.
Mae memang tidak lahir dari keluarga yang mapan. Bapaknya, seorang penjaga malam. Ibunya, tukang pijat. Mae tinggal di sebuah pemukiman padat penduduk di Kota Mataram. Berumah di atas tanah milik pemerintah, orang sering menyebutnya sebagai tanah GG (government ground). Sebuah tanah dimana rumah-rumah saling berdesakan, tanpa halaman, penuh dengan jalan tikus mirip labirin. Saya berdiri di ujung lorong, suatu sore, tak jauh dari rumah Mae. Satu dua orang melintas, matanya merah, mulutnya bau tuak. Seorang laki-laki di depan saya berbicara tanpa henti, soal sogokan untuk bikin kartu penduduk. Di sampingnya, seorang ibu yang hanya bicara pendek pada saya, "saya hanya butuh pintu kakus, pak". Hidup terasa sesak, penuh spekulasi, keraguan, dan rumor. Dalam kepala setiap orang selalu berada pada ingatan penggusuran. 
"Orang terbiasa pilih jalan pintas," kata Mae. Lantaran dikenali sebagai lingkungan kumuh dan padat, sering menjadi sasaran kepentingan populis bagi pemerintah dan politisi. Bantuan pemerintah pun digelontorkan di lingkungan pemukiman Mae, atas nama penanggulangan kemiskinan, dengan berbagai macam label: bantuan sosial untuk orang miskin, bedah-rumah, kredit usaha dan sebagainya. "Mereka itu hanya datang ke sebuah rumah yang dianggap kumuh, sudah ada orang yang berkumpul di sana. Kemudian, orang-orang yang hadir itu diberi bantuan. Bagaimana mereka tahu, mana yang miskin, mana yang kaya," tutur Mae. 
Sementara program perlindungan sosial, praktiknya seringkali berlangsung di bawah meja, tanpa informasi yang utuh, tanpa didiskusikan, tanpa pengawasan yang memadai, bahkan daftar nama penerima pun seringkali disembunyikan. Anehnya, orang pemerintah sendiri beralasan program itu rentan konfik. Kondisi serba asimetris ini membuat warga mesti akrobatik dengan siasat. Simak cerita Mae lagi: "kalau beras Raskin datang, orang sudah berkumpul, mereka kasih lubang sedikit di kantong-kantong beras, agar tahu mana beras yang baik, kalau sudah berhadapan dengan petugas yang mengumpulkan kartu, mereka bisa tunjuk kantong beras mana yang diinginkan".
Ketegangan sosiologis sudah berlangsung akut. Tak ada kondisi yang diciptakan, agar setiap orang merasa aman dan nyaman, untuk didengar perasaan dan pikirannya. Tak heran, jika pemilihan legislatif tempo hari, berhamburan politik-uang. Pemilihan itu bagi orang di lingkungan tempat tinggal Mae, memang tak punya makna apa-apa. Kata Mae: hanya ada dua pertimbangan orang di sini, memilih Caleg, pertimbangan yang terpenting adalah, uang, dan kedua, siapa yang diarahkan tuan-guru.
Mae bukanlah seorang aktivis organisasi. Namun, hari-hari ini, hidupnya diabdikan untuk mendampingi para perempuan mendapatkan hak identitas. Mereka yang mengalami dan menjadi korban tindakan kekerasan, mereka yang tidak berdaya berhadapan dengan aparat pemerintahan dan institusi hukum. Kadang kala, kemarahannya memuncak. Suatu saat, Mae mengirim pesan pendek pada saya: pak, saya tidak mau bicara padanya, dia itu isteri kedua ipar saya, itu sama saja saya menyakiti perasaan kakak saya. Pada saat yang lain, suatu malam, Mae berkata,"pak saya mau jemput teman, dia lagi mabuk di kafe, habis dari hotel, bapak mau tahu apa kerjanya". Mae kemudian menulis di atas kertas putih: PSK. "Dia teman saya waktu jadi buruh migran, ditinggalkan sama suaminya, jadi janda tanpa anak. Umurnya, 25. Banyak utangnya. Saya sering nasehati dia, untuk berhenti, tapi serasa ada yang mengatur hidupnya,"kata Mae lagi.
Mae bagi saya, perempuan yang tak mudah tumbang, yang berusaha sedikit demi sedikit mengenali secara utuh dan mendalami pengalaman penindasan. Untuk memperjuangkan perubahan, bukan usaha yang cukup mudah. Apalagi, proses pembangunan tidak sensitif dengan apa yang dirasakan dan tidak mendengarkan serta menghadirkan pikiran perempuan, bahkan menghilangkan kisah mereka. Mae sendiri tinggal di sebuah pulau, dimana pameo partiarki kerapkali diulang-ulang. Mae berusaha untuk bersetia: lahir dan menjadi perempuan.

Mataram, 15 Januari 2015


Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Negeri Kopra, Galela Utara

SERIBU ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa tak punya harga. Sebait sajak yang ditulis Dino Umahuk, seorang penyair kelahiran Maluku, berjudul "Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa". Bait sajak yang memikat hati, saya temukan ketika mencari tahu perkara kopra di Halmahera. Sepulang saya dari Galela Utara, tempat para petani kelapa (Cocos nucifera) itu menjalani hidup. Hampir sepekan saya tinggal Desa Salimuli, di rumah sebuah keluarga yang mengandalkan sumber penghidupan dari kopra. Saya pikir, ini bukan soal keelokan nusantara, seperti dilukiskan dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi, harga kopra saat ini sedang terjun bebas.  Tuan rumah mengatakan pada saya,"satu kuintal kopra dulu itu 900 ribu, sekarang turun sampai 400 ribu". Ia mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, seperti menahan amarah. "Di sini, satu karung beras, harganya 300 ribu," lanjutnya untuk menyakinkan saya, turunnya harga kopra turut menghajar habis penghidupan mereka. Kopra ...

Ratu Belanda di Titik Pusat Indonesia

RATU Belanda nampak bersiap menguruk tanah di titik pusat Indonesia ( center point of Indonesia- CPI) , demikian tempat yang kerap kali disebut. Potretnya terpampang dalam poster berukuran besar di samping pintu masuk, lengkap dengan lampu sorot yang menyala setiap malam. Ratu Belanda, Queen of the Netherlands , adalah nama kapal keruk, yang dimiliki Royal Boskalis Westminister, sebuah maskapai yang berasal dari Negeri Belanda. Mereka memenangkan kontrak dari salah satu tentakel kelompok bisnis properti Ciputra, dengan nilai yang diperkirakan menghampiri 90 juta dollar Singapura, untuk mengerjakan proyek reklamasi di lepas pantai Kota Makassar. Kapal Queen of the Netherlands sendiri dikenal sebagai kapal keruk terbesar di dunia, yang mengerjakan operasi pengerukan mulai dari pembangunan pelabuhan di Dubai, Busan, Singapura, hingga reklamasi di Maladewa. Pada 2008, Herald Sun memberitakan kapal keruk ini menuai protes dengan masalah lingkungan yang hendak dikeruk, ketika bersandar di ...

Badai dalam Perjumpaan Budaya

PIDATO Sri Mulyani di sebuah kampus, sehari sebelum dilantik kembali menjadi Menteri Keuangan, mengusik perhatian saya. Mantan pejabat teras Bank Dunia ini membicarakan badai yang sempurna. Sebuah badai yang sedang melumpuhkan negara-negara yang semula menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, kita mendiami sebuah dunia yang paradoks. Dunia yang kini banjir informasi, akan tetapi cenderung tidak membuka pikiran dan wawasan kita, bahkan memudahkan kita memuntahkan prasangka, menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Sri Mulyani juga membicarakan ketimpangan di luar kendali korban. Kesenjangan, baginya, bukan sekedar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan peluang. Apa yang menarik perhatian saya. Dia mempercakapkan ketimpangan itu, berada di tempat dimana kita lahir dan orang tua kita. Tentu saja, yang dimaksud bukan karena kita lahir di tempat yang salah, atau bukan pula karena salah bunda mengandung kita. Baiklah, kita membuka kembali peta negeri i...