Skip to main content

Topeng Monyet, Malam Lebaran

MONYEEET ... Anak perempuan saya berteriak, ketika melintas depan sebuah swalayan waralaba. Tak jauh dari rumah. Malam lebaran. Takbir berkumandang, menyempurnakan bulan suci Ramadhan. Orang ramai merayakan kemenangan. Di depan swalayan itu, tengah berlangsung pertunjukan dari rombongan pengamen topeng monyet. Di beberapa tempat di Jawa dikenal sebagai tandhak bedhes (tarian monyet). Teriakan anak saya itu, membuat saya penasaran melacak hal ikhwal topeng monyet. Seni pertunjukan komersial yang saat ini bertahan di lorong-lorong sempit, pemukiman miskin, dan kampung pinggiran kota Makassar. Begitu pula dengan kata-kata, yang masih dalam ingatan saya: "sarimin pergi ke pasar". 
Nama Sarimin menjadi semacam brand paling umum dipakai, bagi si "aktor" monyet berekor panjang (macaca fascicularis) itu. Asal-usul nama itu tak begitu jelas bagi saya. Mungkin saja, diambil dari alat tabuh saron mini, yang dipakai dalam atraksi pertunjukan topeng monyet. Kata-kata: "pergi ke pasar", cukup menggoda bagi saya. Bayangkan, antara "monyet" dan "pasar". Tentu saja, dalam atraksi itu, Sarimin tidak saja pergi ke pasar. Tapi, berganti-ganti topeng, Sarimin bisa jadi "tentara atau serdadu" atau bisa jadi "penarik becak", atau bahkan menjadi "pembalap".
Dari penelusuran, apa yang menarik perhatian saya soal riwayat topeng monyet, pertama, mulai menjadi pertunjukan komersial pada akhir masa kolonial. Kedua, dalam satu tahun terakhir ini, di beberapa tempat, riwayat topeng monyet nampaknya akan segera berakhir di tangan Satpol PP (satuan polisi pamong praja). Pembacaan sejarah pertunjukan topeng monyet di Indonesia, banyak merujuk pada penjelasan sekilas Matthew Isaac Cohen. Cohen sendiri memang tidak sedang membahas topeng monyet. Titik simpul perhatian Cohen, dalam penelitian post-doctoral, yang kemudian dituangkan dalam buku, "The Komedie Stamboel, Popular Theater in Colonial Indonesia: 1891-1903", pada seni pertunjukan komedi stambul, semacam melting pot dalam istilah multikulturalisme, selain kontribusinya menciptakan seni pertunjukan tradisional lainnya seperti ludruk dan ketoprak. Buku yang mempesona, jika ditarik ke perspektif postmodern, hal ini dapat menjelaskan, menguraikan: hibriditas budaya. Atau, mengutip bahasa Cohen, yang saya sukai, sebagai sebuah situs, tempat bermain, untuk mengeksporasi berbagai kemungkinan, termasuk yang terang-terangan dilarang oleh rezim kolonial.
Dalam bab terakhir Komedie Stamboel, Cohen menjelaskan mengenai rombongan pengamen melakukan pertunjukan anjing dan monyet, yang dikenal sebagai topeng monyet atau komedi monyet, di sudut jalan dan pasar di nusantara. Pertunjukan ini terutama ditujukan untuk anak-anak, dan hanya sedikit orang dewasa yang menaruh perhatian. Topeng monyet, hanyalah bagian kecil yang terkait dengan konteks penjelasan Cohen soal maraknya pertunjukan akrobat dan sirkus, pada akhir abad 19 dan awal abad 20, termasuk sisa-sisa seni sulap India, Cina, dan Eropa yang digunakan para pedagang minyak ular guna menjajakan dagangannya. Dalam buku "The Indonesia Town Revisited", yang diedit Peter J.M. Nas, terdapat tulisan Cohen, "Multiculturalism and Performance in Colonial Cirebon", salah satu catatan kakinya soal topeng monyet. Pertunjukan yang menampilkan anjing dan monyet, menjadi miniatur sirkus keliling dari kebanyakan rombongan pengamen yang menghibur di pasar dan jalanan di pedesaan dan kota seluruh wilayah barat Indonesia. Pemandangan atraksi ini mulai biasa dijumpai pada 1890-an. 
Dari hasil penelusuran saya, menunjukan selain rujukan tulisan, riwayat keberadaan topeng monyet juga ditopang dengan beberapa foto. Salah satu andil dari Charles Breijer, anggota de Ondergedoken Camera, persatuan juru foto Amsterdam. Breijer bekerja sebagai juru kamera di Indonesia dari 1947 sampai 1953. Ada enam foto Breijer yang memperlihatkan pertunjukan atraksi topeng monyet. Saya juga menangkap pesan yang dikirim Breijer dalam fotonya, pertunjukan itu tidak sekedar menghibur tapi juga melekatkan hubungan bagi anak-anak, di tengah kegaduhan politik saat itu.
Pada 2011, para aktivis Jakarta Animal Aid Network melakukan advokasi penentangan keberadaan topeng monyet. 18 September 2011, di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, mereka menuntut pemerintah menghentikan atau penghapusan topeng monyet di Jakarta. Isu topeng monyet diwarnai dengan tindak penyiksaan terhadap monyet "Sarimin" oleh pawang monyet, selain berdasar hasil penelitian Lisa Jones Engel dan kawan-kawan dari Pusat Penelitian Primata Universitas Washington, Amerika Serikat, terhadap sampel darah 20 monyet di Jakarta, yang menyatakan positif membawa virus herpes dan virus penyebab kanker darah (leukemia). Dua tahun kemudian, Oktober 2013, Gubenur  DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) menargetkan 2014, Jakarta bebas topeng monyet. "Isunya sudah internasional," ujar Jokowi. Tidak sekedar eksploitasi, tapi juga penyebar virus. Namun, Jokowi tetap masih menyisakan satu-dua topeng monyet yang sehat dan tidak disiksa pawang, sebagai "kearifan lokal", katanya.
Isu eksploitasi, penyiksaan dan pembawa virus, mesti menjadi perhatian bersama. Sebagai bagian seni pertunjukan, mungkin penting juga rasanya memperhatikan juga pertanyaan sederhana seorang pawang monyet yang terkena razia Satpol PP: "apa bedanya kami dengan atraksi di kebun binatang". Riwayat pertunjukan komersial topeng monyet lebih dari satu abad. Ini pula yang punya kaitan dengan soal-soal ekonomi, pawang topeng monyet, kebanyakan tidak memiliki akses pekerjaan yang layak, dan terperangkap dalam situasi kemiskinan. Di sisi lain, saya kerap tergelitik dengan kalimat iklan advokasi sebuah LSM Internasional: "Bukalah Topeng Anda Ketika Sedang Melihat Topeng Monyet".

Paccerakkang, 31 Juli 2014


  




Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Narmada dan Bili-bili

DESA Narmada, di India dan Bili-bili, di Indonesia, dua tempat berjauhan dengan satu kisah yang sama: soal pengorbanan dan proyek bendungan. Arundhati Roy, perempuan pemikir kelahiran India dan seorang sarjana arsitektur, dalam ”The Cost of Living”, menggambarkan dua perkara tersebut dapat dipersinggungkan, dirajut, dan dipertalikan: mistisfikasi nasionalisme dan eskalasi bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional. Di Indonesia, “The Cost of Living” sudah dialih-bahasakan dan diedarkan sekitar dua tahun lalu, dalam bentuk novel non-fiksi (berisi fakta dan perasaan Arundhati Roy).

Negeri Kopra, Galela Utara

SERIBU ton kopra yang kita kirim ke istana mengapa tak punya harga. Sebait sajak yang ditulis Dino Umahuk, seorang penyair kelahiran Maluku, berjudul "Tentang Tanah yang Tak Berpusat di Jawa". Bait sajak yang memikat hati, saya temukan ketika mencari tahu perkara kopra di Halmahera. Sepulang saya dari Galela Utara, tempat para petani kelapa (Cocos nucifera) itu menjalani hidup. Hampir sepekan saya tinggal Desa Salimuli, di rumah sebuah keluarga yang mengandalkan sumber penghidupan dari kopra. Saya pikir, ini bukan soal keelokan nusantara, seperti dilukiskan dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi, harga kopra saat ini sedang terjun bebas.  Tuan rumah mengatakan pada saya,"satu kuintal kopra dulu itu 900 ribu, sekarang turun sampai 400 ribu". Ia mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, seperti menahan amarah. "Di sini, satu karung beras, harganya 300 ribu," lanjutnya untuk menyakinkan saya, turunnya harga kopra turut menghajar habis penghidupan mereka. Kopra ...

Ratu Belanda di Titik Pusat Indonesia

RATU Belanda nampak bersiap menguruk tanah di titik pusat Indonesia ( center point of Indonesia- CPI) , demikian tempat yang kerap kali disebut. Potretnya terpampang dalam poster berukuran besar di samping pintu masuk, lengkap dengan lampu sorot yang menyala setiap malam. Ratu Belanda, Queen of the Netherlands , adalah nama kapal keruk, yang dimiliki Royal Boskalis Westminister, sebuah maskapai yang berasal dari Negeri Belanda. Mereka memenangkan kontrak dari salah satu tentakel kelompok bisnis properti Ciputra, dengan nilai yang diperkirakan menghampiri 90 juta dollar Singapura, untuk mengerjakan proyek reklamasi di lepas pantai Kota Makassar. Kapal Queen of the Netherlands sendiri dikenal sebagai kapal keruk terbesar di dunia, yang mengerjakan operasi pengerukan mulai dari pembangunan pelabuhan di Dubai, Busan, Singapura, hingga reklamasi di Maladewa. Pada 2008, Herald Sun memberitakan kapal keruk ini menuai protes dengan masalah lingkungan yang hendak dikeruk, ketika bersandar di ...

Badai dalam Perjumpaan Budaya

PIDATO Sri Mulyani di sebuah kampus, sehari sebelum dilantik kembali menjadi Menteri Keuangan, mengusik perhatian saya. Mantan pejabat teras Bank Dunia ini membicarakan badai yang sempurna. Sebuah badai yang sedang melumpuhkan negara-negara yang semula menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, kita mendiami sebuah dunia yang paradoks. Dunia yang kini banjir informasi, akan tetapi cenderung tidak membuka pikiran dan wawasan kita, bahkan memudahkan kita memuntahkan prasangka, menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Sri Mulyani juga membicarakan ketimpangan di luar kendali korban. Kesenjangan, baginya, bukan sekedar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan peluang. Apa yang menarik perhatian saya. Dia mempercakapkan ketimpangan itu, berada di tempat dimana kita lahir dan orang tua kita. Tentu saja, yang dimaksud bukan karena kita lahir di tempat yang salah, atau bukan pula karena salah bunda mengandung kita. Baiklah, kita membuka kembali peta negeri i...