Daeng Nur, seorang pagadde-gadde*, ditanya: “sudah berapa lama kerja begini?”
Daeng Nur: “30 tahun”
Penanya: “anak ta sekarang kerja dimana?”
Daeng Nur: “satu di Bosowa, satu di BRI, satu di Polda”
Penanya: “hebat, berhasil ma’ itu”
Daeng Nur: “alhamdulillah ….”
Penanya: "di bagian apa kerja anak-anak ta itu, bu?"
Daeng Nur: "sama ji saya, pagadde-gadde …"
(*pagadde-gadde: penjual-warung skala kecil di Makassar)
CERITA satir di atas saya kutip dari dinding-facebook seorang sohib. Dalam pembacaan saya, cerita ini memantik sejumlah pertanyaan penting. Cerita soal pagadde-gadde di atas menyingkapkan kita pada imajinasi, selama 30 tahun bahkan lebih, kekuatan politik pro-pasar (pertumbuhan-ekonomi) hanya mempermanenkan dua-tiga generasi paggadde-gadde secara berturut-turut. Para pembela pro-pasar umumnya menjustifikasi kebenaran argumentasi ke dalam nalar awam kita: jika tingkat pertumbuhan nol atau negatif, maka akan terjadi stagnasi, pengangguran, dan melebarnya kesenjangan kaya dan miskin. Di satu sisi, mungkin ada benarnya, dalam kerangka pola produksi yang berlangsung kelihatan agak mustahil untuk membatasi atau menisbikan pertumbuhan. Namun yang jadi perkara besar adalah: karakter produk itu sendiri yang mencegah dilakukan distribusi secara adil, bahkan pada akhirnya hanya mereproduksi atau meng-kreasi ketidak-samaan dan hirarki sosial.
Di Makassar, pagadde-gadde mungkin saja akan menghadapi perebutan-lokasi dan penetrasi-pasar secara serius dengan berbagai bisnis-waralaba.[1] Ringkasnya, semacam corak “pengambil-alihan” ruang. Bisnis ritel modern semacam “vendor makanan siap-saji” dan “mini-market” ini memang menggurita sampai di pelosok perumahan tipe RSS atau pemukiman padat-penduduk.[2] Sampai April 2011 tercatat 55 mini-market dengan jejaring waralaba itu yang beroperasi di Makassar dan jumlah ini diperkirakan terus bertambah.[3] Pola waralaba di Indonesia dipicu jejaring ritel modern-asing yang mendesak masuk bak gelombang-tsunami sejak liberalisasi perdagangan pada 1998.[4]
Jauh sebelumnya, cikal bakalnya pada 1987, dimana convenience-store “Circle K”, waralaba asal Amerika Serikat, didirikan di Indonesia. Mini-market yang buka 24 jam itu, gerainya menjamur di sekitar daerah “turis” seperti Kuta, Bali atau juga pernah ada di Losari, Makassar, saat ini dibangun di ujung teras kedatangan pada Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Terakhir, mini-market 24 jam yang menyebar di Indonesia adalah “7-Eleven”, jaringan ritel asal Amerika Serikat, yang pada tahun 2005 diambil-alih kepemilikannya oleh Seven & I Holdings asal Jepang.[5] Mini-market merupakan sebuah kategorisasi dari ritel/pasar moderen yang merujuk pada skala lahan dan jenis produk di antara “super-market” dan “hipermarket”.[6] Dibandingkan dengan mini-market, dewasa ini sektor hipermarket menghadapi kompetisi yang cukup ketat.[7]
Dalam pembacaan saya pula, waralaba menjadi model atau corak akumulasi kapital global, selain bagaimana karakter produk yang mempengaruhi logika-spasial kapitalistik secara horisontal antar-kelas dan non-kelas. Konfigurasi kelas kapitalistik, rupanya tidak sebatas kelas pekerja berhadapan antagonistik dengan pemilik modal, namun waralaba menjelaskan pada kita mengenai relasi yang menyebar secara spasial dalam mazhab regalian, antara pemberi hak-kekayaan intelektual dengan penerima hak-kekayaan intelektual.
Dari lebih 70 industri waralaba, Amerika Serikat menjadi pemimpin inovasi model bisnis ini di tingkat dunia. Posisinya tetap tidak berubah sejak badai depresi pada 1930, dalam bentuk waralaba mulai dari makanan-siap saji sampai dengan motel. Saat ini, waralaba dibagi dalam dua kategori besar: waralaba-midi, yang melibatkan investasi untuk restoran-siap saji, retail sampai stasiun pengisian bahan bakar, dan waralaba-besar yang membutuhkan aliansi seperti hotel, rumah-sakit, spa dan sebagainya. Berikut daftar peringkat bisnis waralaba utama yang digerakan dari negeri Paman Sam itu dan jumlah mitranya, dikutip dari wikipedia:
Selain itu, untuk sampai ke pasar, pola atau corak produksi kapitalistik terus-menerus mendevaluasi atau pengurangan-nilai atas model-model produk lama, agar dapat meng-re-kreasi: “peningkatan atas kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi daripada yang terpuaskan” (meminjam istilah Andre Gorz, seorang ekolog-sosialis Perancis). Dengan pernyataan yang sama oleh sosiolog Ivan Illich, ortodoksi pertumbuhan-ekonomi mendorong persinggungan dengan sistim ketidak-samaan sebagai proses “modernisasi kemiskinan”. Karakter lainnya, produk masyarakat kapitalis sangat kuat melakukan pencitraan atas kepemilikan atau privilege konsumsi. Coba perhatikan, bagaimana industri junk-food mengkonstruk loyalitas brand atau merek sejak masa kanak-kanak melalui produk-mainan, film kartun dan sebagainya. Media-massa juga turut memberikan andil terhadap bangunan-pencitraan produk kapitalistik ini dengan mengkontruksikan pengetahuan, pengalaman, dan rasionalitas ke dalam nalar kanak-kanak. Perkara ini tentu saja sudah banyak dikaji para sosiolog kritis, generasi pertama mazhab Frankfurt (institut Penelitian Frankfurt), seperti Herbert Marcuse, misalnya.[10]
Tak pelak, jika kemudian kita menaruh kecurigaan apa yang dimaksud dengan statistik “garis kemiskinan” yang dibangun melalui analisis kesejahteraan dalam sebuah program pemberdayaan nasional. Bias atas karakter produk kapitalistik relatif dapat ditangkap dalam nuansa analisa kesejahteraan –model analisa yang direplikasi kemana-mana. Dalam model analisis itu, tingkat atau skala kesejahteraan masyarakat dikalkulasi, diukur atau ditaksir atas dasar kepemilikan atas komoditas. Sederhananya, jika Anda memiliki televisi-tabung, maka derajat atau skalanya lebih miskin –lebih celaka lagi kalau Anda tidak punya televisi, daripada orang yang memiliki televisi-flat, plasma atau LED. Sebagaimana istilah Illich sebagai “modernisasi-kemiskinan”. Sekalipun proses dalam analisis kesejahteraan tersebut dilakukan secara “partisipatif”, akan tetapi tanpa membongkar fakta sosial antagonistik sebenarnya mengenai relasi dan proses eksploitatif mengenai kuasa-kepemilikan.
Pelajaran penting dari model-inovasi kapitalistik seperti waralaba, apakah dapat melipat hantaman krisis ketidak-setaraan dalam kapitalisme global. Tentu saja, tidak mudah menjawabnya. Jika sistem-distribusi dan karakter-produk masih mengkreasi ilusi, eksploitatif dan mengisolasi kesadaran untuk berpikir merdeka, model-bisnis ini hanya menimbulkan resistensi berkepanjangan.
Belopa, akhir Nopember 2011
Daeng Nur: “30 tahun”
Penanya: “anak ta sekarang kerja dimana?”
Daeng Nur: “satu di Bosowa, satu di BRI, satu di Polda”
Penanya: “hebat, berhasil ma’ itu”
Daeng Nur: “alhamdulillah ….”
Penanya: "di bagian apa kerja anak-anak ta itu, bu?"
Daeng Nur: "sama ji saya, pagadde-gadde …"
(*pagadde-gadde: penjual-warung skala kecil di Makassar)
Di Makassar, pagadde-gadde mungkin saja akan menghadapi perebutan-lokasi dan penetrasi-pasar secara serius dengan berbagai bisnis-waralaba.[1] Ringkasnya, semacam corak “pengambil-alihan” ruang. Bisnis ritel modern semacam “vendor makanan siap-saji” dan “mini-market” ini memang menggurita sampai di pelosok perumahan tipe RSS atau pemukiman padat-penduduk.[2] Sampai April 2011 tercatat 55 mini-market dengan jejaring waralaba itu yang beroperasi di Makassar dan jumlah ini diperkirakan terus bertambah.[3] Pola waralaba di Indonesia dipicu jejaring ritel modern-asing yang mendesak masuk bak gelombang-tsunami sejak liberalisasi perdagangan pada 1998.[4]
Jauh sebelumnya, cikal bakalnya pada 1987, dimana convenience-store “Circle K”, waralaba asal Amerika Serikat, didirikan di Indonesia. Mini-market yang buka 24 jam itu, gerainya menjamur di sekitar daerah “turis” seperti Kuta, Bali atau juga pernah ada di Losari, Makassar, saat ini dibangun di ujung teras kedatangan pada Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Terakhir, mini-market 24 jam yang menyebar di Indonesia adalah “7-Eleven”, jaringan ritel asal Amerika Serikat, yang pada tahun 2005 diambil-alih kepemilikannya oleh Seven & I Holdings asal Jepang.[5] Mini-market merupakan sebuah kategorisasi dari ritel/pasar moderen yang merujuk pada skala lahan dan jenis produk di antara “super-market” dan “hipermarket”.[6] Dibandingkan dengan mini-market, dewasa ini sektor hipermarket menghadapi kompetisi yang cukup ketat.[7]
Dalam pembacaan saya pula, waralaba menjadi model atau corak akumulasi kapital global, selain bagaimana karakter produk yang mempengaruhi logika-spasial kapitalistik secara horisontal antar-kelas dan non-kelas. Konfigurasi kelas kapitalistik, rupanya tidak sebatas kelas pekerja berhadapan antagonistik dengan pemilik modal, namun waralaba menjelaskan pada kita mengenai relasi yang menyebar secara spasial dalam mazhab regalian, antara pemberi hak-kekayaan intelektual dengan penerima hak-kekayaan intelektual.
Dari lebih 70 industri waralaba, Amerika Serikat menjadi pemimpin inovasi model bisnis ini di tingkat dunia. Posisinya tetap tidak berubah sejak badai depresi pada 1930, dalam bentuk waralaba mulai dari makanan-siap saji sampai dengan motel. Saat ini, waralaba dibagi dalam dua kategori besar: waralaba-midi, yang melibatkan investasi untuk restoran-siap saji, retail sampai stasiun pengisian bahan bakar, dan waralaba-besar yang membutuhkan aliansi seperti hotel, rumah-sakit, spa dan sebagainya. Berikut daftar peringkat bisnis waralaba utama yang digerakan dari negeri Paman Sam itu dan jumlah mitranya, dikutip dari wikipedia:
- Subway (Sandwiches and Salads) Startup costs $84,300 – $258,300 (22000 partners worldwide in 2004).
- McDonald's Startup costs in 2010, $995,900 – $1,842,700 (37,300 partners in 2010)
- 7-Eleven Inc. (Convenience Stores) Startup Costs $40,500- 775,300 in 2010,(28,200 partners in 2004)
- Hampton Inns & Suites (Midprice Hotels) Startup costs $3,716,000 – $15,148,800 in 2010
- Great Clips (Hair Salons) Startup Costs $109,000 - $203,000 in 2010
- H&R Block (Tax Preparation and e-Filing) Startup Costs $26,427 - $84,094 (11,200 partners in 2004)
- Dunkin Donuts Startup Costs $537,750 - $1,765,300 in 2010
- Jani-King (Commercial Cleaning) Startup Costs $11,400 - $35,050, (11,000 partners worldwide in 2004)
- Servpro (Insurance and Disaster Restoration and Cleaning) Startup Costs $102,250 - $161,150 in 2010
- MiniMarkets (Convenience Store and Gas Station) Startup Costs $1,835,823 - $7,615,065 in 2010
Selain itu, untuk sampai ke pasar, pola atau corak produksi kapitalistik terus-menerus mendevaluasi atau pengurangan-nilai atas model-model produk lama, agar dapat meng-re-kreasi: “peningkatan atas kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi daripada yang terpuaskan” (meminjam istilah Andre Gorz, seorang ekolog-sosialis Perancis). Dengan pernyataan yang sama oleh sosiolog Ivan Illich, ortodoksi pertumbuhan-ekonomi mendorong persinggungan dengan sistim ketidak-samaan sebagai proses “modernisasi kemiskinan”. Karakter lainnya, produk masyarakat kapitalis sangat kuat melakukan pencitraan atas kepemilikan atau privilege konsumsi. Coba perhatikan, bagaimana industri junk-food mengkonstruk loyalitas brand atau merek sejak masa kanak-kanak melalui produk-mainan, film kartun dan sebagainya. Media-massa juga turut memberikan andil terhadap bangunan-pencitraan produk kapitalistik ini dengan mengkontruksikan pengetahuan, pengalaman, dan rasionalitas ke dalam nalar kanak-kanak. Perkara ini tentu saja sudah banyak dikaji para sosiolog kritis, generasi pertama mazhab Frankfurt (institut Penelitian Frankfurt), seperti Herbert Marcuse, misalnya.[10]
Tak pelak, jika kemudian kita menaruh kecurigaan apa yang dimaksud dengan statistik “garis kemiskinan” yang dibangun melalui analisis kesejahteraan dalam sebuah program pemberdayaan nasional. Bias atas karakter produk kapitalistik relatif dapat ditangkap dalam nuansa analisa kesejahteraan –model analisa yang direplikasi kemana-mana. Dalam model analisis itu, tingkat atau skala kesejahteraan masyarakat dikalkulasi, diukur atau ditaksir atas dasar kepemilikan atas komoditas. Sederhananya, jika Anda memiliki televisi-tabung, maka derajat atau skalanya lebih miskin –lebih celaka lagi kalau Anda tidak punya televisi, daripada orang yang memiliki televisi-flat, plasma atau LED. Sebagaimana istilah Illich sebagai “modernisasi-kemiskinan”. Sekalipun proses dalam analisis kesejahteraan tersebut dilakukan secara “partisipatif”, akan tetapi tanpa membongkar fakta sosial antagonistik sebenarnya mengenai relasi dan proses eksploitatif mengenai kuasa-kepemilikan.
Pelajaran penting dari model-inovasi kapitalistik seperti waralaba, apakah dapat melipat hantaman krisis ketidak-setaraan dalam kapitalisme global. Tentu saja, tidak mudah menjawabnya. Jika sistem-distribusi dan karakter-produk masih mengkreasi ilusi, eksploitatif dan mengisolasi kesadaran untuk berpikir merdeka, model-bisnis ini hanya menimbulkan resistensi berkepanjangan.
Belopa, akhir Nopember 2011
[1] Waralaba (franchising/franchise) merupakan model atau sistem-bisnis distribusi barang/jasa dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak pada individu/perusahaan menggunakan merek dagang (logo/brand) dengan perikatan atau perjanjian tertentu, seperti biaya (fee). Format bisnis waralaba ini pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat, oleh Isaac Singer, penemu mesin jahit merek Singer pada 1850. Di Indonesia, sistem waralaba mula-mula dikenal pada tahun 1950 dengan pemberian lisensi dealer kendaraan bermotor. Waralaba kemudian berkembang pesat yang dipicu jejaring ritel. Saat ini, Indonesia memiliki payung hukum PP 42/2007 tentang Waralaba sebagai pengaturan atau kepastian hukum administratif bagi pemberi dan penerima waralaba. Dalam penjelasannya, PP tersebut sesungguhnya untuk mendorong usaha kecil dan menengah menjadi pemberi waralaba. Bagaimanapun, penerbitan payung hukum ini pun tak lepas dari konteks liberalisasi perdagangan.
[2] Waralaba kategori “toko-kelontong” dengan merek dagang Indomaret dan Alfamart, menjadi contoh sejak Januari 2011, melakukan pergerakan sangat agresif memperluas wilayahnya di Makassar. Keduanya memang pemain utama sebagai peritel mini-market di Indonesia dengan market-share masing-masing 40-43 persen. Dari data the Business Wacth Indonesia (BWI) menggambarkan, pada awalnya Alfamart bernama Alfa Minimarket yang didirikan pada 1999, kemudian berganti nama pada 2001. Pada tahun itu pula, Alfamart gencar menawarkan sistem waralabanya. Langkah ini mungkin diambil lantaran pesaingnya, Indomaret, pada tahun yang sama terganjal kasus yang merugikan pedagang kecil. Perusahaan pengelola Alfamart, PT Sumber Alfaria Trijaya, semula dengan komposisi saham mayoritas dipegang PT HM Sampoerna Tbk, perusahaan rokok kretek, dan sisanya oleh PT Sigmantara Alfindo Tbk, milik keluarga Djoko Susanto. Perusahaan ini sendiri didirikan atas kerjasama Djoko Susanto dan Putera Sampoerna, mantan pemilik PT HM Sampoerna Tbk. Inisiatif pertama kalinya memang datang dari Putera Sampoerna yang terkesan atas kepiawaian Djoko Susanto sebagai distributor rokok. Proyek bisnis ritel ini kelihatannya sempurna, Djoko Susanto, seorang distributor yang piawai, dengan Putera Sampoerna, sebagai pemilik modal. Alfamart pertama kali beroperasi pada 1999 di Karawaci, Tangerang, Banten. Ketika terjadi peralihan kepemilikan PT HM Sampoerna Tbk ke Philip Morris, koorporasi rokok putih ini, ternyata tidak mengubah orientasi bisnis ritel sebelumnya. Philip Morris tetap membiarkan bisnis Alfa ini bergerak. Tahun 2006, PT Sigmantara Alfindo menguasai saham mayoritas (60 persen) Alfamart Dalam situsnya disebutkan, pada tahun 2009 jumlah gerai Alfamart telah mencapai 3 ribu toko. Sedangkan pesaing terdekatnya, Indomaret, merek dagangnya dipegang oleh PT Indomarco Prismatama yang merupakan bagian dari Salim Group, kelompok usaha milik keluarga Liem Sioe Liong. Perusahaan ini berdiri pada 1988 dengan menguji-coba mendirikan gerai pertama kali pada November 1988 di Kalimantan. Pada saat badai krisis ekonomi melabrak Indonesia pada 1997, Indomaret juga termasuk yang dilego oleh Salim Group ke BPPN, sebagai jaminan aset atas Bank BCA yang juga termasuk Salim Group. Kekuatan bisnis Indomaret kelihatannya bertumpu pada penggabungan kekuatan distribusi Indomarco dan usaha ritel lainnya dalam Salim Group, seperti Indogrosir, termasuk melayani pembayaran melalui debit BCA. Dalam situsnya disebutkan, hingga Juni 2011, Indomaret telah memiliki 5.482 gerai yang tersebar di Indonesia, akan tetapi hampir seperuhnya terkonsentrasi di wilayah Jabodetabek.
[3] Fenomena Minimarket, 26 Mei 2011, Makassarpreneur.com
[4] Terbitnya Keppres No. 99 Tahun 1998 yang mengeluarkan bisnis ritel dari negative-list bagi Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi tonggak sejarah masuknya gelombang-besar ritel asing di Indonesia. Masuknya Carrefour dan Sogo, adalah contoh yang dapat mewakili gelombang pertama peritel-asing tersebut.
[5] Nama “7-Eleven” mula-mula menunjukan jam buka toko pada 7 pagi dan tutup pada 11 malam, kemudian tahun-tahun terakhir beroperasi 24 jam. Di Indonesia, “7-Eleven” dikelola PT Modern Putra Indonesia, anak perusahan PT Modern International, distributor Fujifilm. 7-Eleven Inc. pada 2004 telah memiliki 28.200 mitra di seluruh dunia.
[6] Perbedaan utama ketiganya terletak pada luas lahan usaha dan range jenis barang yang diperdagangkan. Hal ini meliputi format/ukuran bangunan, jenis produk yang dijual, sampai dengan lahan parkir. Berbeda dengan toko kelontong, ketiganya sama-sama menggunakan sistim swalayan dalam berbelanja dengan pembayaran tunai atau penggunaan kartu kredit atau kartu debit/ATM di kasir. Prilaku yang hendak di-edukasi adalah pembeli memilih dan mengambil sendiri barang belanjaan di rak barang serta tidak berutang barang. Mini-market dengan sistim waralaba diyakini peritel atau pemberi waralaba sebagai metode mudah dan murah karena tanpa mengeluarkan biaya investasi tapi dapat meningkatkan volume pembelian barang, dengan semakin banyak jumlah gerai juga akan memperkuat posisi tawar ke pemasok. Bagaimana pun juga, hipermarket tetap menjadi primadona peritel pasar moderen, karena mampu secara cepat memberikan kontribusi terbesar bagi pendapatan peritel. Hypermart, yang sahamnya dikuasai PT Matahari Putra Prima, salah salah contoh untuk melihat hal ini. Pada tahun 2003, pendapatan perusahaan ini dipasok oleh format super-marketnya, namun pada 2008, kontribusi dari super-market merosot sampai 20 persen, sementara 80 persennya disumbang dari format hipermarket (lihat Mariana L. Pandin, Potret Bisnis Ritel di Indonesia: Pasar Modern, Economic Review, No. 219, Maret 2009).
[7] Di Makassar, dua pemain utama hipermarket di Indonesia, Carrefour dan Hypermart, harus berhadapan dengan pesaing baru mereka, peritel asal Korea Selatan, Lotte Mart, yang telah mengakuisisi 19 gerai pusat perkulakan Makro sebelumnya, di lokasi yang sangat berdekatan di Panakukkang, Makassar. Carrefour merupakan kelompok bisnis-ritel asal Perancis yang terbesar kedua di dunia setelah Wall-Mart. Pertama kali beroperasi di Indonesia, pada Oktober 1998, di Cempaka Putih, Jakarta. Di Indonesia, Carrefour pada Januari 2008 mengakuisisi PT Alfa Retailindo Tbk, dan April 2010 komposisi sahamnya (40 persen) dikuasai Trans Corp, yang merupakan bagian dari Para Group yang dipimpin pemilik Bank Mega, Chairul Tanjung. Di dunia, Carrefour tidak semata-mata bergerak di sektor hipermarket, akan tetapi juga bergerak di sektor super-market sampai dengan convenience store. Gambaran yang agak sama juga dilakukan Hypermart di bawah PT Matahari Putra Prima, perusahaan yang didirikan Hari Darmawan pada 1958, yang menggabungkan kekuatan sektor hipermarketnya dengan jejaringan supermarket, toko farmasi, Matahari department-store untuk fashion, dan wahana-hiburan Time-zone.
[8] Waralaba kerap-kali menjadi “rasionalisasi” bagi peritel raksasa dalam pengintegrasian-kapital di wilayah struktur paling bawah, usaha kecil-menegah, sehingga akumulasi kapital menjadi mungkin. Kebanyakan mini-market Alfamart dan Indomaret di Makasar sebelumnya merupakan toko kelontong atau yang diformat semacam “mini-market” yang dimiliki atau dikelola pedagang kecil-menengah.
[9] Sejumlah pejabat birokrasi Makassar kerap melakukan simplifikasi argumentasi dalam merespon perkembangan bisnis ritel ini yang secara serampangan sebagai wujud visi kota yang dihuni sekitar 1,25 juta jiwa ini, “kota bandar dunia”, dengan mengaburkan fakta historis. Makassar memang secara sengaja atau bukan secara alamiah, dibentuk sebagai “kosmopolitan”, ideologi yang merujuk pada inklusivisme moral, ekonomi atau pola relasi politik antar bangsa atau individu yang berbeda. Catatan sejarah menunjukan, paling tidak abad 16 pada masa kerajaan Gowa-Tallo, yang mendirikan kota-bandar di muara Sungai Tallo, sampai dengan saat ini, terdapat kesinambungan proyek “kosmopolitan” dalam membentuk “ruang”, interaksi, dan formasi sosial (multi-etnis) Kota Makassar. Dengan demikian, konsekuensi atas proyek ini, salah satunya, yang tak-terhindarkan atau mesti disingkapi adalah tarik-menarik perebutan ruang antara kekuatan kapital, kekuatan politik dengan kekuatan massa-rakyat. Konflik yang terelakan biasanya memanipulasi atau mendistorsi dengan aneka faksi sampai pada wilayah sosio-kultural: etnis, agama dan sebagainya.
[10] Karya subversif Marcuse, One-Dimensional Man, menyingkapkan secara baik penjelasan komodifikasi dimana individu terintegrasi ke dalam sistem produksi dan konsumsi industri media-massa, yang mempenjarakannya ke dalam kebutuhan-palsu, mendikte pilihan kita, dan memperangkap kita pada corak-pemikiran mengenai relasi sosial individu dengan barang-barang. Sejatinya, dengan keadaan “unfreedom” ini, individu kehilangan tindak-rasional dalam bekerja, menyurutkan kemanusiaan, dan “kebahagian” yang dinyatakan dalam transaksi jual-beli.