Skip to main content

Sektor Informal

KORAN Tribun Timur (25/3/2010) mewartakan mengenai satu kabupaten di Sulawesi Selatan, satu industri. Berikut tulisan lama saya –saya sendiri sudah lupa jika tidak mampir di blog sohib saya yang memuat tulisan saya tersebut, yang mungkin dapat mempautkan soal industrialisasi dengan sektor informal. Senin lalu, para pedagang kaki lima di pintu II Universitas Hasanuddin (Unhas) akhirnya digusur dengan cara represif, dan menelan lima orang korban luka (Pedoman Rakyat, 31 Mei 2005). Peristiwa ini tentu paradoksal jika direlasikan dengan aikon universitas, yang semestinya ditafsir sebagai pilar pembebasan bagi kemiskinan, tirani, dan represi politik. Atau dalam tafsir orang awam dengan penuh rasa geram, bagaimana mungkin orang sekolahan dapat melukai rasa keadilan. Pertanyaan yang mucul mengapa orang sekolahan itu tidak dapat memoderasi masalah ini. Mengapa para ilmuwan Unhas membiarkan masalah pedagang kaki lima pintu II sampai mengkristal dan bereskalasi pada ujung konflik, mengingat para pedagang tersebut mulai menempati jalur pintu II pada tahun 1997.




Modus penggusuran sendiri memang bukan yang pertama kali di kota ini, atau di negeri ini. Hampir dalam banyak kejadian, yang muncul di permukaan, terutama di wilayah perkotaan, bentrokan yang berlangsung di bawah pusaran antara sektor informal dengan aparatus Negara, dengan atas nama ”pembangunan” atau diturunkan pada kosa kata ”ketertiban”, ”keindahan”, dan ”demi kepentingan umum”. Kita tidak hendak membahas filsafat estetika itu sendiri, melainkan untuk apa sektor informal itu harus mengalami perlakuan sewenang-wenang diiringi dengan letupan kekerasan. Kalau dinyatakan dalam pertanyaan, apa yang dipikirkan di balik kepala para profesor itu untuk melakukan tindak penggusuran terhadap sektor informal. Jika ditarik ke dalam tataran sosiologis, demikian teori yang dibuat oleh orang sekolahan, para pedagang kaki lima, daeng becak, pencari kerang dan sebagainya, dimasukkan dalam kotak yang disebut sektor informal.
Kosa kata informal dan formal, jika kita geledah, memang seringkali mengandung bias, yaitu mengalami ”politic of meaning” atau politisasi pemaknaan. Kategorisasi kedua sektor ini dipahami secara simplifikasi dan dikotomis, atau dalam bahasa awan dinyatakan sebagai ”hitam-putih”. Misalnya, semata-mata melakukan simbolisasi dikotomis antara pasar tradisional dengan mal. Dengan pembagian dikotomis semacam itu, tentu akan menyulitkan kita untuk memahami akar masalah lahirnya sektor informal. Secara teknis, kita tidak dapat mengoperasikan kategori tersebut secara jernih ke dalam arus persoalan sosial. Lebih celaka lagi, kalau politisasi makna sektor informal justru merupakan tindak kaum elit untuk melakukan konsolidasi ke arah kekuatan dan kekuasaan, termasuk konsolidasi anak sekolahan, meminjam istilah Emmanuel Subangun, beremansipasi membangun ”republik kaum cendekia”. Jika demikian yang terjadi, tindak penggusuran sebenarnya lebih bersifat mistisfikasi daripada rasionalisasi terhadap persoalan sosiologis, dengan cara menculik kesadaran rakyat.
Dalam praktik akademik, baik intitusi pemerintah seperti BPS dan institusi lembaga penelitian universitas, kerap kali menyusun angka-angka statistik mengenai sektor informal, yang kerap kali pula tidak mudah dipahami relasi antara angka, kepentingan penyusun angka, dengan model intervensi yang dilakukan. Sebut saja, ”The Economic of Democracy”, terbitan BPS, Bappenas dan UNDP, yang berisikan laporan pembangunan manusia di Indonesia pada tahun 2004. Dari lembar angka statistik dalam buku ini dinyatakan, 34,6 persen jumlah pekerja di Makassar bekerja di sektor informal. Pada tahun 2002, jumlah penduduk Makassar berjumlah, 1.127.785 jiwa. Jumlah angkatan kerja pada tahun itu sekitar, 637.200 orang. Dari jumlah ini, 21,8 persen diantaranya atau 138.910 orang masuk dalam kategori pengangguran terbuka. Artinya, jumlah pekerja di Makassar terdapat 498.290 orang. Dari jumlah itu, 172.408 orang diantaranya menggantungkan hidup dari sektor informal. Angka statistik ini dapat saja bias atau bersifat relatif, tergantung bagaimana mendefinisikan sektor informal secara jernih. Bagaimanapun juga, dalam kenyataan sosiologis, menunjukan adanya eksistensi sektor informal. Bahkan, sejumlah orang sekolahan mengajukan pernyataan metoforik atau cenderung memuja, sektor informal yang menghidupkan jantung ekonomi kota ketika negeri ini diterpa badai krisis. Namun modus menghadapi kenyataan sosiologis, kerap kali berujung pada penggusuran sektor informal karena didakwa sebagai biang kemacetan atau memasukan ke dalam proyek ambisius ”relokasi”. Sekali lagi, yang tidak mudah untuk dipahami adalah hubungan tiga perkara yaitu, apa gunanya angka statitistik dan apa kepentingan para penyusun angka statistik, serta bagaimana model intervensi yang dilakukan.
Perihal ini menunjukan betapa lemahnya integrasi kita dalam memahami kenyataan sosiologis, bahkan di dalam sistem sosial itu sendiri. Akibatnya, kita seringkali gagap dalam membangun empati terhadap mereka yang tersingkirkan dari sumber nafkah. Di sisi lain, kita tengah mengalami gelombang kuat Negara Korporatisme, sebuah ekspansi terkombinasi antara kekuatan entitas Negara dan Swasta. Fenomena ini tengah bergerak cepat menggamit kesadaran bahkan mimpi-mimpi kita. Tanpa perlindungan dan penghargaan atas hak hidup dan hak bekerja pada mereka yang bekerja di sektor informal, hanya akan memperbesar bangunan piramida korban manusia. Ini sama artinya, kredo pengurangan kemiskinan dengan cara menelikung orang miskin melalui pusaran utang yang tidak berkesudahan dan tidak mudah dihancurkan
Karena itu, memetakan sektor informal semestinya tidak secara simplifikasi atau secara naif. Proses mendefinisikan sektor informal dari kelas berkuasa yang bekerja di sektor formal, hanya menjebak kita dalam kolonialisasi kesadaran. Sektor informal semestinya dirunut dalam proses ideologisasi pembangunan, atau biasa disebut pembangunanisme. Secara empirik, pembangunanisme telah menggunakan penetrasi kapitalisme yang secara masif menggeser sumberdaya dari kampung ke kota, tanpa melakukan distribusi yang adil. Sederhananya dapat dilihat dengan kuatnya arus urbanisasi, pergesekan antar kelas, dan penyeragaman ke arah formalisme. Para pekerja di sektor informal mengikuti arus urbanisasi, karena terjadi proses pemiskinan secara struktural di kampung, tidak sekedar untuk menggamit fantasi kelas yang dipersonafikasikan sebagai orang kota.
Kedua, di luar kekuatan urbanisasi, sektor informal mulai membesar saat badai krisis ekonomi tahun 1998, ketika itu para perempuan menjadi tulang punggung ekonomi, bergerak menggantikan para laki-laki yang mengalami PHK secara besar-besaran.
Sekalipun telah dihajar dengan krisis, Negara ini tetap saja masih percaya tentang kenicayaan sektor formal untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sektor formal diceminkan dengan pola produksi dan organisasi yang berbeda dengan sektor informal yaitu, ditopang dengan padat modal, teknologi tinggi, tenaga kerja yang berpendidikan formal, serta pasar yang terlindungi. Paradigma pembangunan yang bertumpu pada kompetisi dan efesiensi, hanya akan menjadikan sektor formal sebagai anak kandung.

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Separasi, Segregasi, Ruang Kota Kolonial

HALAMAN belakang selalu memberi imajinasi. Pekan lalu, saya merasa beruntung dapat menjelajahi halaman belakang Pulau Ambon. Garis awal, pagi itu, langit biru sedikit awan, dari jalan sempit di samping markas polisi. Mobil kami mulai merayap di tanjakan jalan dan berkelok-kelok di punggung pegunungan Ambon. Mata kami mesti tetap awas di Lei Timur, beberapa ruas badan jalan digerus tanah longsor. Pekan ini, nampaknya para nelayan, di wilayah yang berhadapan dengan Laut Banda ini, lebih banyak waktunya di darat. Badan meteorologi dan geofisika setempat meramalkan cuaca buruk. " Bodi bisa picah-picah ," kata seorang nelayan, itu sebabnya perahu penangkap tuna, sebagian bantuan dari kementerian kelautan, tertelungkup di tepi pantai.        Lewat Passo, kami menjelajah ke Tanah Hitu. Masih di halaman belakang. Saya menikmati pesona Jazirah Lei Hitu. Mesjid tua yang bersejarah di Negeri Hila, juga bangunan peninggalan Belanda, Benteng Amsterdam, semula adalah loji P...

Cerita dari Tual

PESAWAT yang membawa saya dari Makassar itu tiba-tiba terguncang keras. Tak lama setelah terperangkap dalam awan kelabu. Lantas, terasa meluncur turun dengan cepat sekali dari ketinggian. Hingga akhirnya menyentuh ujung landasan, menghempas genangan air hujan. Musim timur di Ambon rupanya mengirim hujan deras sejak pagi-pagi buta. Saya singgah transit beberapa jam di Bandara Pattimura. Siang hari baru menuju Ibra-Langgur, Maluku Tenggara.  Lebih dari sepuluh tahun lalu, saya hanya transit sejenak di pangkalan angkatan udara Dumatubun, Langgur, dalam sebuah perjalanan ke Saumlaki, Tanimbar dari Ambon. https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/02/Topographic_map_of_the_Kai_Islands-en.svg Hujan ternyata belum juga reda, ketika mesin baling-baling (turboprop) pesawat ATR itu menyala. Perjalanan ke Ibra-Langgur tidak sampai dua jam. Di atas Laut Banda, langit kembali cerah, meski sedikit berawan. Sebelum mendarat di Bandara Karel Sadsuitubun, dari balik jendela pesawat, namp...

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he...