Skip to main content

Hypermarket

PEKAN lalu, saya diajak seorang kawan berbelanja rempah-rempah untuk bikin ikan pallumara, ikan masak menu Bugis-Makkasar, dalam "pasar" di kawasan Summarecon Mal Serpong (SMS). Pengelola mal rupanya mereplikasi "pasar tradisional". Kalau anak kawan saya itu bilang, om, bedanya pasarnya tidak becek dan berbau busuk, juga tidak ada pengemis dan gelandangan. Dalam hati saya ingin bilang, juga tidak ada kepala pasar yang selalu dibebani target PAD oleh anggota parlemen. Barangkali bukan hanya itu. Kardus-kardus beraneka aksara Thailand dan China, berisi sayuran dan buah-buahan, berjejer, bertumpuk rapi di antara los pasar. Bisa jadi, kunyit, bawang, dan mangga, bukan berasal dari lahan-lahan pinggiran BSD atau Gading Serpong.

Jarak konsumen dengan produsen (petani) agaknya semakin dijauhkan oleh pasar. Kata orang ramai: globalisasi, kapitalisme. Lebih tepatnya, kita berada dalam fenomena hypermarket. Taruh saja, sebagai contoh, peta -yang saya unduh dari WorldWatch Institute- hypermarket di Inggris Raya :



Coba lihat ukuran jarak perdagangan, bayangkan saja bagaimana bule Inggris itu bikin bistik, dengan daging sapi Australia, kentang Italia, dan kacang Thailand. Peta ini sekaligus menggambarkan betapa krusialnya pasar lokal versus global. Dampaknya bisa macam-macam. Salah satunya, ketimpangan distribusi pangan dan kekayaan, sekaligus kemungkinan impor gaya hidup yang tak sehat. Selain bagi para aktivis ekologi, peta ini juga menggambarkan berapa ongkos guna membayar polusi dan bahan bakar (bandingkan dengan jarak seluruh Inggris). Siapa yang hendak membayar mahal untuk ini.
Pinjam anekdotnya para turis kuliner soal nasib sapi Australia di Indonesia. Di Surabaya, sapi itu cuma dipreteli dagingnya untuk bahan baku sop rawon, lalu jerohannya dikirim ke Makassar, bikin coto mangkassara. Tulang-tulang sapi Ausie itu, kemudian dikirim ke Palu, untuk dibuat kaledo. Sekarang, tinggal kulitnya. Nah, dari Palu, kulit sapi itu dikapalkan kembali ke Tanjung Perak, untuk dikirim ke kampung dekat lumpur Lapindo, bisa jadi krupuk rambak.
Lantas apakah peta ini cukup adil. Dalam kepala kita tentu soal konsumen karnivora, pemakan bistik Inggris, lebih kaya daripada petani wortel di Afrika Selatan. Tapi dalam konteks pangan fenomena hypermarket, toh apa bedanya Kaya dan Miskin. Di negara-negara miskin, ban
yak orang kesakitan karena penyakit infeksi akibat malnutrisi. Sementara di negara-negara kaya, terjadi peningkatan jumlah orang yang menderita penyakit kronis akibat kegemukan. Sekalipun, di Asia, cenderung mengalami transisi pangan dimana kedua-duanya terjadi secara simultan: malnutrisi akibat kemiskinan, sekaligus penyakit akibat kegemukan karena menu pangan yang fast food (kadungan lemak dan garam yang tinggi).

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Separasi, Segregasi, Ruang Kota Kolonial

HALAMAN belakang selalu memberi imajinasi. Pekan lalu, saya merasa beruntung dapat menjelajahi halaman belakang Pulau Ambon. Garis awal, pagi itu, langit biru sedikit awan, dari jalan sempit di samping markas polisi. Mobil kami mulai merayap di tanjakan jalan dan berkelok-kelok di punggung pegunungan Ambon. Mata kami mesti tetap awas di Lei Timur, beberapa ruas badan jalan digerus tanah longsor. Pekan ini, nampaknya para nelayan, di wilayah yang berhadapan dengan Laut Banda ini, lebih banyak waktunya di darat. Badan meteorologi dan geofisika setempat meramalkan cuaca buruk. " Bodi bisa picah-picah ," kata seorang nelayan, itu sebabnya perahu penangkap tuna, sebagian bantuan dari kementerian kelautan, tertelungkup di tepi pantai.        Lewat Passo, kami menjelajah ke Tanah Hitu. Masih di halaman belakang. Saya menikmati pesona Jazirah Lei Hitu. Mesjid tua yang bersejarah di Negeri Hila, juga bangunan peninggalan Belanda, Benteng Amsterdam, semula adalah loji P...

Cerita dari Tual

PESAWAT yang membawa saya dari Makassar itu tiba-tiba terguncang keras. Tak lama setelah terperangkap dalam awan kelabu. Lantas, terasa meluncur turun dengan cepat sekali dari ketinggian. Hingga akhirnya menyentuh ujung landasan, menghempas genangan air hujan. Musim timur di Ambon rupanya mengirim hujan deras sejak pagi-pagi buta. Saya singgah transit beberapa jam di Bandara Pattimura. Siang hari baru menuju Ibra-Langgur, Maluku Tenggara.  Lebih dari sepuluh tahun lalu, saya hanya transit sejenak di pangkalan angkatan udara Dumatubun, Langgur, dalam sebuah perjalanan ke Saumlaki, Tanimbar dari Ambon. https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/02/Topographic_map_of_the_Kai_Islands-en.svg Hujan ternyata belum juga reda, ketika mesin baling-baling (turboprop) pesawat ATR itu menyala. Perjalanan ke Ibra-Langgur tidak sampai dua jam. Di atas Laut Banda, langit kembali cerah, meski sedikit berawan. Sebelum mendarat di Bandara Karel Sadsuitubun, dari balik jendela pesawat, namp...

Long Loreh, Batubara

HAMPIR tengah malam, telepon genggam saya bergetar. Di seberang sana, terdengar suara isteri saya bertanya, "lagi dimana ini". "Malinau," kata saya pendek. "Apa ada dalam peta," tanyanya lagi. Saya tak menjawab. Saya lalu hentikan percakapan. Melalui whatsapp, saya kirim peta Malinau padanya. Ia membalas dengan emoji senyum. Malinau berada di jantung Borneo. Sebuah kabupaten di Kalimantan Utara, berbatasan dengan Serawak, negara bagian Malaysia. Garis batas yang mengikuti punggung sebuah taman nasional, Kayan Mentarang. Rimba menghijau yang kaya spesies di Malinau sangat berarti bagi penghidupan berkelanjutan. Selain, memberi sokongan dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim global. Namun, orang-orang Malinau mesti kerja keras menjaga peradaban mereka dalam ekologi hutan hujan tropis yang khas itu. Sebagai bagian dari Kalimantan yang merupakan penghasil kayu terbesar di Indonesia,  dimana lebih 10 juta he...