“Apa skripsi saudara benar-benar merupakan skripsi ilmu komunikasi?”[1]
SAYA pikir ini bukan pertanyaan bodoh. Sejauh apa yang saya bayangkan kemudian terhadap pertanyaan tersebut adalah: apakah komunikasi itu pengetahuan[2]? Dalam tradisi pemikiran Yunani purba, pengetahuan (“pengetahuan” yang dimaksud ketika itu bukan berada di dalam pengertian ilmu pengetahuan seperti yang saat ini)[3] berpautan dengan kepentingan yang berhubungan dengan cita-cita etis, hal-ikhwal kebajikan atau kebijaksanaan. Pengetahuan (theorea) diyakini mendorong atau tidak terpisahkan dengan tingkah-laku praktis (praxis) dalam kehidupan kongrit.
Awal pembersihan pengetahuan atas kepentingan kontemplasi atau memisahkan antara teori dengan praxis, ketika para filsuf Yunani tengah mempelajari hakekat keberadaan dunia. Kajian filsafati ini disebut sebagai ontologi, yang secara tradisional dimasukan ke dalam cabang utama filsafat, yang dikenal sebagai metafisika. Ontologi mengkaji secara fundamental (mendasar) untuk mendapatkan penjelasan dan pemahaman mengenai keberadaan atau “kenyataan” (reality) pada umumnya, sebagai kategori dasar “ada” (being) dan relasinya. Ontologi juga diajukan untuk memeriksa pertanyaan pengetahuan itu apa, sekaligus pada dasarnya juga mempertanyakan hakekat kebenaran (truth)[4].
Pengetahuan itu Apa?
Bermula dalam salah satu dialog dengan mahasiswanya, filsuf Socrates, guru Plato, bertanya: pengetahuan itu apa. Pertanyaan Socrates ini melahirkan ontologi untuk pertama kalinya dalam sejarah pemikiran manusia. Mahasiswa Socrates menjawab, bahwa pengetahuan adalah penglihatan, apa yang kita lihat tentu menjadi benar bagi kita, bila kita tahu apa yang kita amati, kita akan sungguh-sungguh mengetahui. Bagi Plato, jika pengamatan adalah pengetahuan, maka apa yang kita tahu tidak bersifat abadi, karena obyek yang kita amati mengalami perubahan (change). Filsuf Plato memformulasi makna pengetahuan sebagai “justified true belief”, keyakinan atas kebenaran yang sejati.
Plato yang menekan peranan intuisi, berargumentasi pengetahuan itu mesti pengetahuan sejati, pengetahuan yang tunggal, tidak berubah-rubah atau yang kekal. Pengetahuan manusia bersifat apriori, sudah melekat otonom pada rasio (akal budi) itu sendiri yaitu, idea. Hasil pengamatan indrawi hanyalah tiruan atau bayangan dari idea yang sempurna dalam rasio kita. Saya jadi ingat percakapan awal seorang dosen filsafat ketika saya kuliah: apa kita pernah melihat sapi, sapi yang kita lihat adalah representasi sapi yang berasal dari pikiran atau idea kita, yang memberikan gambaran “sapi yang sempurna”. Sebelum jiwa terpenjara dalam tubuh, jiwa sebelumnya berada dalam dunia idea. Jadi tugas kita untuk tahu adalah dengan melalui ingatan (anammese), mengingat kembali ketika jiwa berada dalam dunia idea. Pemikiran Plato ini kemudian menjadi peletak pondasi bagi aliran rasionalisme.
Aristoteles, mahasiswa Plato, sebagaimana gurunya, juga mendambakan pengetahuan sejati. Namun berbeda dengan Plato, Aristoteles menolak pengetahuan didasarkan atas intuisi. Dalam argumentasi Aristoteles, semua pengetahuan harus didasarkan atas hasil pengamatan empirik atas kenyataan yang plural dan berubah-ubah. Bagi Aristoteles, pengetahuan bersifat aposteriori (dalam bahasa Latin, post, sesudah, ilmu disimpulkan sesudah pengamatan/observasi). Langkah-langkah yang dilakukan Aristoteles dengan mendekatkan pengetahuan dengan benda-benda nyata dan meninggalkan pendekatan mitologi. Berbeda dengan Plato, titik tekan Aristoteles pada abstraksi, bukan kemampuan intuisi. Hasil pengamatan atas fenomena, yang bersifat partikular tersebut, ditarik ke dalam abstraksi untuk mengarah pada penjelasan, sehingga akan meninggalkan hal-hal indrawi dan memasuki dugaan dan pendapat, barulah menjadi episteme (bersifat kebenaran atau pengetahuan sejati). Aristoteles kemudian diabadikan sebagai peletak pondasi aliran empirisme (dalam bahasa Yunani, empirical, meraba-raba).
Plato juga dianggap orang yang pertama mempertanyakan: apa yang dapat diketahui? Bagaimana cara mengetahui? Pertanyaan semacam ini lebih tepatnya, menjadi pokok-pokok pembahasan dalam epistemologi[5] (theory of knowledge). Plato membagi dua garis (dualisme) secara metafisik antara dunia yang terang-benderang (intelligible world) sebagai medan episteme (pengetahuan sejati) dan dunia yang tampak kelihatan (visible world) sebagai medan doxa (pendapat). Bagi Plato, medan doxa adalah obyek-obyek yang nyata (doxata) atau akal-sehat kebanyakan orang dan bersifat bayangan atau hal-hal yang partikular, sebaliknya episteme adalah obyek-obyek yang memiliki alasan-diskursif dan bersifat intuitif. Pengetahuan sejati sebagai pengetahuan tertinggi, menurut Plato, tidak melalui bantuan hal-hal yang partikular, tetapi dengan rasio langsung dan kemampuan intuisi untuk menemukan prinsip-prinsip utama sumber pengetahuan.
Sebaliknya, Aristoteles menggambarkan pengetahuan sejati akan menjelaskan “sebab-musabab” terjadinya sesuatu, yang bertitik-tolak pada aksioma-aksioma sebagai dasar dari pengetahuan. Aksioma-aksioma harus menyatakan sebab-sebab yang paling akhir (final cause), yang menjelaskan fakta dan diungkap oleh dalil-dalil. Bagi Aritoteles, di sinilah pentingnya persepsi dan pengalaman. Ketika kita menelusuri sebab-musabab dalam menjelaskan fakta, akan membutuhkan persepsi dan pengalaman kita untuk menafsirkannya. Jadi, pada hakekatnya aksioma pengetahuan adalah melakukan penjelasan fakta yang saling berhubungan secara kausalitas. Prasyarat pengetahuan lainnya, apa yang kita tahu haruslah menjadi keniscayaan. Karena, keniscayaan akan mengatasi pernyataan obyek yang mengalami perubahan. Dalam pandangan Aristoteles, alam atau dunia ini memiliki tujuan tertentu (teleologis), sehingga secara alamiah akan berusaha merealisasikan kodratnya sekaligus mengetahui konsekuensinya. Dengan memakai prinsip teleologi ini, penjelasan benda-benda dunia akan berorientasi pada tujuan atau sebab-akhir. Apa yang dinyatakan Aristoteles mengenai pengamatan empirik menjadi awal mengenai “keilmiahan” ilmu pengetahuan. Hanya saja, dengan konteks historis ketika itu, menyebabkan apa yang dinyatakan Aristoteles menggambarkan mengenai ketidaklengkapan penjelasan dan pembuktian yang kurang memadai. Bagaimana pun, perdebatan epistemologi Plato dan Aristoles, di kemudian hari dilengkapi, diperkaya, menjadi parokial ilmu, dan lagi-lagi menjadi perdebatan “paradigmatik”.
Komunikasi, Penemuan Kebenaran
Perdebatan ontologi dan epistemologi juga menjadi pangkal perbedaan pandangan dalam kerangka (framework) komunikasi dan teori komunikasi. Menurut saya, untuk memahami apa yang berlangsung, kita dapat menelusuri terlebih dahulu studi ilmu komunikasi yang berkembang. Sejumlah literatur, yang boleh jadi dipengaruhi diktum Lasswell[6], menyebutkan bahwa retorika[7] menjadi studi komunikasi klasik, terutama saat kemunculan negara-kota (polis) dengan penggunaannya melalui medium Oratorium (dari istilah orator, ahli pidato) dimana keputusan-keputusan politik dan hukum dibuat dan ide-ide filosofis disebar-luaskan. Retorika merupakan teknik berpikir secara terorganisir dalam berbicara di depan umum. Di Athena, para sophis (orang “bijak”, guru sekolah permanen pra-Socrates) mengajar pada warga bagaimana cara berkomunikasi untuk memenangkan argumen dalam membujuk atau mempengaruhi pengadilan dan majelis politik. Pandangan atau motif retorika para sophis itu dikecam oleh Plato. Sebagaimana gurunya, Socrates, mencurigai penggunaan jenis komunikasi ini tidak mempedulikan kebenaran.
Retorika dalam argumen filosofis Plato, bukanlah pengetahuan karena berbasis pada doxa (pendapat), sehingga sama sekali tidak memiliki status episteme (kebenaran). Retorika dihasilkan dari pertentangan karakter yang sangat mungkin sekali terdistorsi, yang mengalami perubahan, sehingga menciptakan lingkungan palsu. Jadi, menurut Plato, kemungkinan retorika menjadi seni sejati jika hanya diperoleh dari pengetahuan melalui proses dialektika. Bagi Plato maupun Aristoteles, penggunaan komunikasi sesungguhnya untuk menemukan kebenaran mutlak melalui dialektika. Aristoteles juga meletakan retorika bukan berada dalam pengetahuan sejati.
Dalam seni retorika, Aristoteles menyatakan,”retorika hanya antistrophe (secara harfiah diartikan, mitra) dialektika. Retorika menjadi bagian dari domain dialektika dalam kaitan praxis, semata-mata urusan pengambilan keputusan warga, bukan keterkaitan pengertiannya dengan teori. Dalam risalahnya, Aristoteles menekankan proses keseimbangan dalam retorika sebagai mode pertemuan, antara seni persuasif orator dengan seni penghakiman pendengar atau pengamat. Retorika memiliki tiga langkah kesimbangan yang dapat diamati secara empirik: logis (penalaran orator dalam membangun argumen yang logis); etos (karakter moral orator yang dapat menjadi pertimbangan pendengar pada soal pengakuan atau kepercayaan); dan pathos (kekuatan orator dalam menyentuh atau mendapat respon emosional pendengar). Sebagai seni warga (sipil), Aristoteles mengidentifikasi tiga genre retorika: forensik (penentuan kebenaran atau kepalsuan dari peristiwa masa lalu); upacara oratorium (epideictic, penilaian pada masa kini); dan deliberatif (rembug politik-warga untuk mengambil tindakan di masa depan).
Namun yang menarik bagi saya adalah, soal keironian nasib Socrates yang justru berakhir di tangan para sophis, diadili, divonis, dan dieksekusi mati, atas tuduhan ateis dan meracuni pikiran kaum muda Athena melalui ajarannya. Maka, klaim pertentangan Plato dengan para sophis tersebut, boleh dikatakan juga berkaitan dengan eksekusi mati Socrates. Peristiwa ini menggambarkan pencarian kebenaran dalam ilmu pengetahuan justru bersifat abjective, rasa sakit yang sangat luar biasa, bahkan melalui kejadian pendarahan, mungkin juga menjijikan. Saya pikir, peristiwa ini berulang dalam konteks yang berbeda, ketika Galileo Galilei menempatkan matahari pada pusat alam semesta berlawanan dengan pandangan geosentris sebelumnya, dimana bumi sebagai pusat semesta. Galileo harus berhadapan dengan oposisi yang pahit, dikutuk oleh gereja, lalu diadili inkuisisi Romawi pada tahun 1632, dianggap bid’ah, ditahan, dan mati dalam keadaan nista. Siapakah atau atas kepentingan apakah yang merancang-bangun ilmu pengetahuan? Dalam kalimat getir fisikawan Stephen Hawking:”Galileo, mungkin salah satu orang yang bertanggung jawab lahirnya ilmu pengetahuan modern”. Kalaupun demikian, pertanyaan investigatifnya kemudian, atas reprensentasi apakah ilmu komunikasi hadir? Dimanakah penemuan hakekat kebenaran, sebagaimana kalimat Plato dan Aristoles, itu terjadi?
Representasi Pengetahuan Komunikasi untuk Siapa?
Komunikasi baru menjadi studi yang serius pada permulaan abad 20, hanya beberapa detik saja dari rentang waktu sejarah keberadaan manusia. Seusai perang-dunia (istilah ”Perang Dunia I” dan “Perang Dunia II” digunakan dalam sejarah Amerika)[8], hari-hari pertama “perang-dingin”, dimana garis demarkasi “negara” bukan lagi pada tapal administasi-geografis, tapi pelabelan “kiri” dengan “kanan”, studi komunikasi masuk dalam ranah ilmu sosial. Catatan penting yang saya temukan, kajian serius yang disebut ilmu komunikasi tadi bersamaan dengan kejadian pendarahan yang luar biasa dan dimana-mana. Pengetahuan komunikasi dicangkokkan ke dalam perang dunia.
Studi komunikasi diperpautkan dengan psikologi sosial atau psikologi massa terutama berkaitan dengan kedikjayaan taktik atau teknik propaganda (dalam bahasa Latin, “propagare”, kurang lebih maknanya, adalah mengembangkan atau memekarkan). Teknik propaganda, secara sederhana, sebagaimana kata-kata Joseph Goebbels, menteri propaganda pada zaman partai Nazi (National Socialism atau Nasional-Sosialisme)[9] berkuasa,”sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan berulang-ulang akan membuat publik percaya.” Bagi Goebbels, kebohongan paling besar adalah kebenaran yang diubah sedikit saja. Kajian dari pemikir propaganda Amerika Serikat di atas menjadi main-streaming dalam silsilah intelektual studi komunikasi. Bandingkan dengan agitasi-provokasi (agiprop), yang juga propaganda yang dikembangkan Rusia, yang memiliki makna-negatif daripada propoganda (pendapat umum) Walter Lippman dalam sejumlah referensi.
Sedangkan peristiwa selanjutnya, berkaitan dengan pencangkokan pada logika modal. Pada Januari 1949, Presiden Amerika Serikat, Harry Truman, berpidato mengenai bantuan teknik dan keuangan Amerika Serikat kepada negara-negara yang tidak termasuk dalam pengaruh Uni Soviet, mula-mula pada Eropa Barat yang porak-poranda akibat perang dunia. Dunia mengenalnya dengan sebutan: Marshall Plan (Doktrin Marshall, mengambil nama dari Menteri Sekretaris Negara Amerika Serikat, George Marshall, yang menginspirasi Truman), atau secara ideologis dinyatakan sebagai paradigma modernisme dalam pandangan Barat: developmentalism (pembangunanisme)[10]. Daniel Lerner[11], seorang ahli ilmu komunikasi, menyebutkan, pembangunanisme sebagai suatu ideologi internasional yang bermula dari suatu komunikasi: pidato Truman di depan Kongres Amerika Serikat mengenai “Point IV” (butir keempat), mengenai program bantuan Amerika Serikat. Truman, mantan petani Kansas, Missouri, seperti mengikuti pendahulunya, Franklin Roosevelt, menjadikan janji politik seperti magma yang menggelora. Jika Roosevelt mencanangkan seratus hari pertamanya dengan nama “New Deal”, sebaliknya Truman dikenal dengan program politik “Fair Deal”.
Pidato Truman sesungguhnya semakin menguatkan posisi institusi Bretton Woods[12], terutama pada pemikiran ekonomi Keynes, beberapa tahun sebelumnya. Singkatnya, ekonomi Keynesian adalah soal pentingnya peran intervensi pemerintah terhadap pasar. Dalam kalimat sederhananya, pemerintah harus mengeluarkan uang ketika kapitalisme tidak berfungsi. Keynes merevisi pemikiran laisse faire atau liberalisme Adam Smith[13], mengenai mekanisme pasar-bebas, dimana pasar harus dibiarkan bebas secara alamiah, karena pasar akan mengatur keseimbangannya sendiri. Smith mengistilahkan “invisible hand” (tangan yang tak-terlihat) yang menjaga harmoni pasar. Lawan utama laisse faire bukan ekonomi Marxis, melainkan intervensi negara dalam mengatur pasar. Ekonomi Marxis justru ekonomi-terpusat atau ekonomi-terpimpin, yang tidak mengenal sistem pasar dan tidak ada sektor swasta.
Prinsip-prinsip developmentalisme pada kenyataannya dilakukan secara agresif kepada Dunia Ketiga, sekaligus dapat dibaca sebagai pembuka jalan bagi institusi Bretton Woods (Bank Dunia[14] dan IMF[15]). Dalam perkembangannya kemudian, selama 30 tahun lebih, pemikiran Keynes ditentang oleh kalangan neo-liberalisme[16] atau diistilahkan “neo-lib”. Serangan intelektual terhadap Keynesian terutama dilakukan oleh para pemikir Austria yang bergabung dalam Mount Pelerin Society yang didirikan Friedrich von Hayek. Sejumlah pengamat menggambarkan pergeseran terhadap Keynesian, berkaitan ketika kekuasaan mendukung agen-agen swasta seperti spekulan valas, pencampakan sistem standar emas oleh Amerika Serikat pada tahun 1971, akibat tekanan inflasi dan beban pembiayaan Perang Vietnam, dan krisis minyak bumi tahun 1973. Penentangan mereka terhadap Keynes, juga turut mengubah “paradigma” institusi Bretton Woods.
Dalam perspektif yang berbeda, kemenangan neo-liberalisme tidak sekedar mengutak-atik soal teknis-ekonomi, dimana agen perubahannya adalah intelektual, melainkan berkaitan dengan relasi-kuasa. Neo-liberalisme merupakan strategi merestorasi kekuatan kelas elit di tingkat nasional dan global. Kalau boleh saya meminjam argumen Coen Husain Pontoh (2009): manifestasi dari kemenangan kelas kapitalis atas kelas pekerja dalam sebuah perang kelas yang panjang dan berdarah. Artinya, percakapan soal neo-liberalisme harus melihat konteks perjuangan kelas pekerja, yang dalam kenyataannya, neo-liberalisme adalah strategi utama untuk melumpuhkan dan meredam radikalisme sentra-sentra kekuatan populis, seperti kelas pekerja.
Apa arti kedua peristiwa ini? Pengetahuan komunikasi mengalami perkembangan ketika diletakan pada studi multi-displin ilmu (terutama psikologi, sosiologi, dan ekonomi-politik). Namun, pertanyaannya kemudian, darimana produk pengetahuan dihasilkan dan untuk siapa? Kedua peristiwa ini memberikan catatan pada kita, ketika perumusan studi komunikasi itu, dirancang, dikumpulkan, dianalisa, dan disimpulkan, berdasarkan kacamata rezim yang hendak menguatkan relasi kuasa politik-ekonomi. Lebih tepatnya kalau kita mengatakan sebagai, kolonialisasi ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma pengetahuan komunikasi sesungguhnya telah mereduksi atau tidak menjadi representasi apa yang dilabelkan “Dunia Ketiga”, “negara berkembang”, atau “Timur”. Dengan meminjam perdebatan Plato-Aristoteles, pengetahuan komunikasi tidak diletakan pada pengetahuan sejati.
Dalam kerangka teori komunikasi, perdebatan ontologi dan epistemologi juga menguat. Bagi para penganut kontruksionis-sosial[17] (interaksi-simbolik) memandang, “kebenaran” (truths) dan idea (akal-budi) pada hakekatnya di-konstruk oleh proses komunikasi. Sederhananya, coba amati nama-nama yang memenuhi lipatan buku-teks semester awal mahasiswa ilmu komunikasi, seperti Harold Lasswell, Walter Lippman[18], Wilbur Schramm, disebut-sebut dengan pemaknaan “bapakisme”: bapak ilmu komunikasi[19], dibandingkan keterlibatan mereka pada saat perang dunia. Pandangan konstruksionis ini melawan model komunikasi-mekanis (transmisi) yang dianggap sebagai: pandangan yang tidak sekedar menyederhanakan, akan tapi juga berbahaya dan menyesatkan bagi sifat komunikasi manusia. Konstruk atas klaim “kebenaran” dan idea, menurut saya, justru menciptakan implikasi kritis yang dapat menggambarkan komunikasi menjadi sumber kekuasaan dan penindasan manusia. Jika demikian adanya, saya malah menafsirkan, jangan-jangan pertanyaan yang bukan pertanyaan bodoh tadi, sedang meletupkan kritik internal terhadap ilmu komunikasi. Sebagaimana dalam suasana kontemporer, saya terus terang menyukai respon Anthony Giddens, seorang kontributor atau komentator terkemuka dalam bidang sosiologi modern:”... pembangunan sistem komunikasi global yang makin intensif, makin berjayanya kapitalisme[20] ketika kesenjangan dunia makin parah dan meluasnya masalah ekologi”. Apa yang ditulis Giddens menggambarkan pada kita satu hal yang paling serius dalam patologi modernitas[21]: paradoksal.
Paradoksal
Saya terkesan dengan sebuah film layar lebar hollywood empat tahun silam, Blood Diamond, yang disutradarai Edward Zwick. Film ini cukup menghantar pelajaran berharga pada kita, bagaimana situasi paradoksal itu terjadi. Sekaligus ditandai dengan kejadian pendarahan yang menjadi-jadi. Film ini mengambil plot perang sipil di Sierra Leone, negara tambang berlian di tanduk Afrika, sehari-hari warganya disergap dengan teror, mutilasi dan pembunuhan, sama sekali tidak mencegah mandeknya aliran laba dalam perdagangan berlian. Kekayaan sumberdaya alam yang melimpah-ruah, akan tetapi negeri ini terjuntai di tubir jurang kemiskinan, prasangka buruk dimana-mana dan terjadi pelestarian kekerasan. Sebagaimana kata-kata Leonardo DiCaprio, pelakon utama film ini, kira-kira seperti ini: “konflik justru mempercepat aliran sumberdaya alam ke luar-negeri, dan korporasi meraup keuntungan atas situasi konflik”. Dalam pandangan saya, film Blood Diamond, hendak menegaskan kembali pertalian ekskalasi kekerasan dan ekspansi kapital, terutama industri ekstratif yang bersifat masif. Film ini boleh jadi fiktif, akan tetapi justru berada dalam situasi yang faktual. Fakta mengenai relasi ini dapat dilacak di sejumlah sudut dunia, termasuk wilayah konfik dalam kasus Indonesia, terutama dalam ranah analisa sebagai “negara-gagal” (failed-state).[22]
Bagaimana pun, keniscayaan akan logika kapital berada dalam sistem ketidak-samaan (asimetri) yang terus-menerus di-re-kreasi (diciptakan kembali), bahkan dilanggengkan. Boleh jadi, di luar nalar-sehat kita. Fakta insiden kemiskinan, kelaparan, pengucilan, penyingkiran dan pengingkaran bermunculan dimana-mana, menggambarkan asimetri relasi kuasa. Di sisi gelap itu pula, orang kebanyakan sama sekali tak punya kuasa, bahkan atas tubuhnya sendiri.[23] Pembesaran akumulasi kapital sama sekali tidak menolong perubahan nasib orang kebanyakan, bukan karena kegagalan personal atas kapasitas yang tidak memadai, melainkan pengisolasian di dalam sistem ketidak-samaan kuasa. Sistem tersebut telah mengkonstruksi sebuah hirarki keistimewaan (privilage) baru dalam paska feodalisme, yang mematahkan relasi keadilan yang paling fundamental. Ilustrasi yang sama pada politik pemilihan umum, rakyat mungkin saja punya kuasa atas pilihan (vote), atas nama “demokrasi”, saat bersamaan pula politik mengamputasi suara (voice) rakyat, misalnya saja, rakyat tak punya kuasa atas politik anggaran karena asimetri informasi. Vote without voice.
Fakta ketidak-samaan kuasa semacam ini seiring sejalan dan saling melengkapi dengan fakta perusakan bahkan penghancuran ekologi. Indonesia, setiap kali terjadi peningkatan laju perusakan hutan akan menghabisi nasib satu dari lima orang Indonesia, mereka yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, yang kehidupan sehari-hari bergantung pada sumberdaya hutan. Berikut, beberapa hal yang saya kutip dari publikasi Walhi, organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam isu lingkungan hidup, mengenai proses penghancuran ekologi. Indonesia menjadi negara terbesar di dunia sebagai penghasil emisi, setelah Amerika Serikat dan Cina. Deforestasi (pembalakan hutan untuk perkebunan-kayu), kebakaran hutan, dan pengeringan lahan gambut[24] menjadi penyebab utama emisi di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan laju deforestasi tertinggi atau dengan kata lain, menempati peringkat atas di dunia.[25] Atas kejadian penggunaan lahan dan alih-fungsi lahan di Indonesia telah melepaskan 2-3 miliar ton CO2 setiap tahun. Deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang menyumbang 18-20 persen dari total emisi gas rumah-kaca secara global.
Reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) di negara-negara berkembang, menjadi komponen utama dalam mitigasi perubahan iklim (climate change). REDD diharapkan dapat menstabilkan konsentrasi CO2 di atmosfir pada tingkatan serendah mungkin, melalui skema pembayaran negara-negara yang mampu mengurangi atau menghentikan laju deforestasi dan degradasi hutan. Pertemuan internasional para-pihak memang telah digelar membahas REDD. Namun, REDD lebih ditafsirkan dan ditempatkan ke dalam skema pasar, sehingga pembicaraan mengenai jumlah uang dan mekanisme pendanaan melaju lebih cepat daripada pembahasan terhadap akar-penyebab deforestasi dan degradasi hutan itu sendiri, selain kekuatiran melekatkan REDD dalam skema perdagangan karbon, bukan sebaliknya dalam kerangka carbon off-set (utang ekologis/karbon negara-negara Industri, berkaitan pola konsumsi dan relokasi industri yang meningkatkan emisi CO2, kepada negara-negara berkembang). Dengan mudah kita dapat membacanya, bahwa REDD tidak akan menanggulangi akar-penyebab deforestasi dan degradasi hutan, termasuk alih-fungsi penggunaan lahan, melainkan menguatkan mekanisme-pasar global.
Apa yang kita pahami dari fakta di atas? Fakta penghancuran ekologi tidak dapat dijelaskan dengan penyebab-tunggal dan tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi berlangsung secara sistematik, simultan, dan bergerak dengan kekuatan besar yang tidak alamiah, mestinya. Pembacaan saya terhadap fakta ini, berkaitan dengan, apa yang disebut dalam konsep Karl Marx: fetishisme, bahwa mengkomoditifikasi sumberdaya kehidupan di bawah kontrol penguasaan kepemilikan pribadi (privalege) dipercayai sebagai jalan terbaik untuk menghindarkan pemanfaatan sumberdaya ekologi secara berlebih-lebihan dan tidak bertanggung jawab. Kepercayaan semacam itu justru melawan fakta yang paling sederhana: soal-soal yang menyangkut keterbatasan sumberdaya ekologi dalam melakukan regenerasi atau penyusunan kembali dengan kecenderungan memperbesar pertumbuhan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi daripada yang dapat terpuaskan. Seperti kata-kata Ivan Illich: “pertumbuhan tingkat frustasi jauh melampaui produksi”. Saya pikir hal ini dapat menjadi salah satu penjelasan mengenai ketegangan sosiologis yang terjadi terutama di perkotaan seperti tingkat bunuh-diri.
Kembali dengan pernyataan Giddens di atas, mengenai hubungan tiga hal: problematik kemanusiaan dan ekologi, daya-tarik ilmu pengetahuan, dan peluang industrialisasi. Pertanyaan investigatifnya kemudian, jika dinyatakan pengetahuan, apakah komunikasi berpautan dengan kepentingan mengatasi problematik manusiawi dan ekologi. Ataukah perpautannya bersifat panacea, dimana pesona ilmu pengetahuan dan kepentingan industrialisasi justru meletakan makna-subyek pada posisi inferior. Sekaligus, melipat proses emansipatif komunikasi, kesetaraan antara pikiran (thought) dan tindakan (act) untuk melugaskan kepentingan kemanusiaan dan ekologi.
Kasus gerakan sosial dan industrialisasi atau konglomerasi (konsentrasi kapital) media massa juga dapat memberikan kita catatan penting mengenai perkara penggerusan kemanusiaan dalam “iklim demokrasi”. Berikut saya kutip dari ulasan Michael Barker, Mass Media and Social Movement: A Critical Examination of the Relation Between the Mainstream Media and Social Movements (2008). Kepentingan industrialisasi media massa dalam kasus gerakan sosial[26] dapat dibaca sebagai ambiguinitas kuasa terhadap sentra-sentra kekuatan populis, dan mereproduksi sejumlah keadaan yang kontradiktif: memberikan sokongan rezim berkuasa, memfasilitasi revolusi, bahkan pada titik ekstrim melakukan mutilasi terhadap gerakan sosial. Catherine Luther dan Mark Miller menganalisis liputan mengenai invansi Amerika Serikat terhadap delapan koran besar di Amerika Serikat. Hasil analisis menunjukan, kecenderungan jurnalis melakukan framing (pembingkaian) de-legitimasi terhadap gerakan anti-perang, sekaligus memberi legitimasi pada kampanye pro-perang. Pada saat 300 ribu orang melakukan protes anti-invansi di Washington DC, hanya ada ratusan orang pro-invansi Amerika Serikat. Namun, sebuah koran berpengaruh di Amerika Serikat,Washington Post, justru memberi judul laporan: “lebih kecil semangat barisan protes anti-perang, daripada lebih dari 200 menyatakan mewakili mayoritas”.
Dalam sejumlah kajian, disebut-sebut peranan media independen di Eropa Timur (istilah geo-politik dalam pandangan Barat, untuk menyebut negara-negara berpautan dengan pengaruh sosialisme atau komunisme di Eropa) paska perestroika Gorbachev dalam memfasilitasi “revolusi”[27] demi “iklim demokrasi”, juga rujukannya pada “Revolusi Solidaritas” di Polandia dan “Revolusi Beludru” (Velvet Revolution) di Ceko pada 1989. Apakah media massa hanya berperan memanfaatkan sentimen gerakan sosial yang paling spektakuler: “revolusi”? Pertanyaan ini hanya hendak untuk menunjukan batasan, agar kita tidak gegabah atau sembrono dengan ungkapan atau pencitraan revolusi itu sendiri. Kita tahu bahwa, studi revolusi memiliki keterbatasan-keterbatasan. Sebagaimana kata-kata seorang penulis: revolusi datang secara mengejutkan. Bak ledakan dinamit di tengah aliran lambat proses historis, kata sosiolog Piort Sztompka, revolusi adalah sebuah pentas dramatik, waktunya cepat, dan mudah diingat. Jika pun ada intelektual yang dapat memprediksi atau meramalkan datangnya revolusi, saya sepakat dengan Sztompka, adalah intelektual yang cenderung mempertahankan rezim lama, yang telah mengkalkulasi kekuatan melumpuhkan revolusi dan menghambat kemenangan. Ringkasnya, jika teori-teori revolusi dikelompokan, memiliki konsensus mengenai basis dan komponen utamanya: (1) revolusi mengacu pada perubahan fundamental, (2) revolusi melibatkan massa rakyat yang besar dan termobilisasi, dan (3) sebagian dari para pakar yakin, revolusi memerlukan pelibatan kekerasan dan penggunaan kekerasan. Dari sejumlah referensi, soal kekerasan dalam revolusi menjadi bahan perdebatan di kalangan intelektual, revolusi di Eropa Timur dan Tengah yang memaksakan kematian komunisme, justru meledak dan berlangsung tanpa-kekerasan. Meskipun demikian, potensi penggunaan kekerasan tetap saja mengancam, dengan melihat kekuatan massa rakyat yang termobilisasi baik dari segi komitmen maupun letupan emosional massa.
Ledakan “revolusi” di Eropa Timur tentu tidak dibangun semata-mata dengan faktor tunggal, misalnya kesadaraan atas penindasan atau perasaan yang terluka akibat ketidak-adilan. Faktor-faktor struktural harus pula dipertimbangkan. Demikian juga faktor yang berkaitan dengan penetrasi politik. Misalnya saja, sokongan keuangan George Soros[28], spekulan valas sekaligus filantropis juga aktivis politik, yang sangat terinspirasi dengan konsep “masyarakat-terbuka” Karl R. Popper[29], untuk memfasilitasi “iklim demokrasi” dari Balkan sampai negara-negara bekas Uni Soviet di Asia Tengah dengan sebutan “revolusi-berwarna” dan kaitannya dengan media independen. Semenjak revolusi Serbia menyala pada tahun 2000 dengan penggulingan presiden Slobodan Milosevic, negara-negara bekas Uni Sovyet memang dipenuhi “revolusi-berwarna”: Revolusi Mawar (Rose Revolution) di Georgia, Revolusi Jingga (Orange Revolution) di Ukraina dan Revolusi Tulip di Kirgizstan.
Revolusi di Georgia meledak pada November 2003, berkaitan dengan perubahan kekuasaan, yang dipicu mula-mula oleh kejadian sengketa pemilihan parlemen. Proses oposisi bersatu yang dipimpin Saakashvili kemudian meluas di jalanan seluruh Georgia. Pada 22 November 2003, para pendukung Saakashvill dengan bunga mawar di tangan mengganggu pidato presiden Eduard Shevardnadze, yang kemudian memaksanya melarikan diri bersama para pengawal. Besok malamnya, Shevardnadze mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden Georgia, seusai pertemuannya dengan pihak oposisi yang difasilitasi menteri luar-negeri Rusia. Pengumuman Shevardnadze kemudian mendorong euforia jalanan di Tbilisi, ibukota Georgia, para pengujuk rasa merayakan kemenangan mereka sepanjang malam dengan kembang api dan konser musik rock.
Sejumlah analis menggambarkan peranan penting media independen mendorong transisi demokrasi di Georgia. Stasiun televisi paling populer di Georgia, Rustavi-2 menjadi mesin propaganda oposisi yang efektif, terutama ketika Shevardnadze mencuri suara dalam pemilihan parlemen. Sebelumnya, Oktober 2001, Shevardnadze mencoba menghentikan operasi Rustavi-2, yang seringkali menetang legitimasi rezim berkuasa, namun usaha itu justru disambut dengan demonstrasi selama tiga hari berturut-turut. Demonstrasi ini sukses menyulut dukungan rakyat dan menyebabkan beberapa menteri mengundurkan diri. Meskipun dinyatakan soal peran media, namun kenyataannya transisi di Georgia tidak disebabkan faktor tunggal, melainkan banyak faktor yang bermain. Peran Open Society Institute milik George Soros tidak bisa juga dinaifkan, dalam memberikan pendanaan signifikan untuk kelompok oposisi sebelum Revolusi Mawar.[30] Selain itu, pemerintahan Shevardnadze memang berada di bawah tekanan diplomatik pemerintah Amerika Serikat, Bank Dunia dan IMF. Revolusi Mawar memberikan efek internasional dengan menginspirasi Revolusi Jingga di Ukraina dan Revolusi Tulip di Kirgizstan.
Revolusi Tulip (media massa menyebutkan juga dengan istilah “Revolusi Merah-Jambu” dan “Revolusi Bakung” pada tahap awal revolusi) di Kirgizstan, juga mengikuti atau menyerupai pola Revolusi Mawar yaitu, penggulingan presiden setelah sengketa pemilihan parlemen. Istilah “Revolusi Tulip” berasal dari pidato Askar Akayev yang menegaskan tidak ada “revolusi-berwarna” di Kirgizstan dengan merujuk revolusi di Georgia dan Ukraina. Sekalipun dipadankan sebagai revolusi non-kekerasan, namun terlihat tanda-tanda kekerasan pada hari-hari pertama meletupnya revolusi, paling tidak tiga orang tewas dalam penjarahan di ibukota Kirgizstan selama 24 jam.
Selama 15 tahun berkuasa, Presiden Askar Akayev sesungguhnya memelihara hubungan yang menyenangkan dengan Amerika Serikat. Tapi, mulai tahun 2003, hubungan ini mulai terganggu ketika Akayev mengubah haluan diplomatiknya ke Rusia. Surat kabar oposisi mulai mengancam kekuasaannya. Mei 2003, Akayev menutup bisnis koran oposisi terpenting, Moya Stolitsa. Satu bulan kemudian, para redaktur Moya Stolitsa yang marah melahirkan koran oposisi yang baru, Moya Stolitsa-Novosti (MSN), yang memperoleh pendanaan dari Freedom House. Dalam kurun waktu 2003-2004, lagi-lagi dengan melalui pendanaan para promotor demokrasi Amerika Serikat, terbentuk koran-koran oposisi yang baru.
Rezim berkuasa di Kirgizstan, di satu sisi memang cukup kuatir dengan sikap oposisi yang ditunjukan MSN, mereka mempresentasikan kekuatiran ini dengan memutuskan pasokan listrik di kantor koran tersebut. Namun, tekanan pemerintah asing lebih cepat datangnya, yang kemudian memaksa Akayev keluar Kirgizstan. Peran media menjadi besar sebagai pemicu kekuatan transformasi kekuasaan, melalui argumentasi dukungan diplomatik dan keuangan.
Sebaliknya, sikap ambiguinitas media, ketika memutilasi demokrasi partisipatif yang ada di Venezuela. April 2002, terjadi kudeta (coup d'état) terhadap Presiden Hugo Chavez, yang dipilih secara demokratis pada 1988. Dengan mengingat pada soal “revolusi-berwarna” di Eropa Timur, terdapat hubungan dan dukungan elit transnasional untuk mengkudeta Chavez. Terutama, ketika ketegangan yang meningkat antara Chavez, yang dikenal anti-imprealisme dan pengintegrasi Amerika Latin, dengan Petróleos de Venezuela (PDVSA), yang puncaknya, pemecatan terhadap tujuh eksekutif PDVSA melalui pidato televisi. Oposisi terhadap Chavez sesungguhnya sudah terjadi sejak Chavez terpilih pada 1988. Salah satu janji Chavez dalam Pemilu adalah konstitusi-baru Venezuela, dan Desember 1989 melalui hasil referendum (71,78 persen), Chavez menempatkan konstitusi-baru Venezuela. Kalangan oposisi, terutama media massa swasta, merupakan kalangan bisnis, kelas menengah dan atas yang takut kehilangan posisi ekonomi-politik dalam kebijakan reformasi Chavez, seperti subsidi makanan pokok, pendistribusi pendapatan minyak, dan pemecahan lahan perkebunan besar.
Sebelum kudeta terjadi, lima dari tujuh jaringan televisi dan sembilan dari sepuluh koran utama di Venezuela melakukan perlawanan terhadap Chavez dan mendorong orang berpartisipasi dalam kudeta. Di tengah ketegangan antara Chavez dan PDVSA, 9 April 2002, Carlos Ortega, pemimpin Confederación de Trabajadores de Venezuela (Konfederasi Pekerja Venezuela) menyerukan pemogokan selama dua hari. 11 April 2002, ratusan ribu orang bergerak ke kantor PDV, kemudian secara tiba-tiba terdapat panggilan yang mengarahkan barisan tersebut menuju istana presiden, sementara saluran televisi swasta juga mendorong orang berpartisipasi dengan pesan “hilangkan Chavez” (removed Chavez). Sementara di depan istana presiden terdapat barisan demonstran pro-Chavez. Bentrokan tak terelakan, dilaporkan dua puluh orang tewas akibat tembakan, ratusan orang terluka.
Liputan media massa, kemudian menjadi kontroversi. Beberapa stasiun televisi swasta, dari versi oposisi, memperlihatkan gambar orang menggunakan senjata api dari atas Puente Llaguno, jembatan layang yang melintasi jalan tersibuk di Caracas. Namun dalam sebuah film dokumenter The Revolution Will Not Be Televised, memperlihatkan cuplikan video amatir terhadap peristiwa tersebut, bahwa pria bersenjata itu menembaki jalan yang kosong. Liputan televisi tersebut justru merupakan framing antara peristiwa penembakan digabungkan dengan orang yang mati tertembak, yang sebenarnya rekaman yang terpisah. Seorang saksi mata, yang memiliki pengalaman militer, menyatakan sebagian besar korban tewas dengan tembakan tepat di kepala. Beberapa korban tewas, sebelum mencapai Puente Llaguno. Koresponden CNN, Otto Neustald, mengatakan bahwa, 11 April pagi, dua jam sebelum peristiwa penembakan, dia merekam pesan video dari sejumlah perwira tinggi, yang kemudian disiarkan pada hari itu juga oleh CNN, yang menuduh Chavez menggunakan penembak jitu (snipers), setidaknya enam orang tewas dan puluhan terluka.
Kemudian istana kepresidenan, dimana Chavez dan beberapa menteri berada di dalamnya, dikelilingi tank. 11 April malam, anggota komando militer meminta Chavez mengundurkan diri. 12 April dini hari, istana kepresidenan diancam dibom jika Chavez tidak mengundurkan diri. Dua puluh menit kemudian, Jenderal Lucas Rincón mengumumkan di televisi, bahwa Chavez meminta pengunduran diri. Di bawah penjagaan militer, Chavez dibawa dan ditahan Fort Tiuna. Pengusaha Pedro Carmona, Ketua Kamar Dagang Venezuela (Fedecámaras) diangkat menjadi presiden sementara. Amerika Serikat dan Spanyol secara cepat menyatakan dukungannya kepada Carmona.
Ketika Chavez ditahan, para pendukungnya melakukan protes, termasuk terjadinya kerusuhan dan penjarahan, di berbagai tempat yang terpisah di Caracas, 19 orang dilaporkan tewas. Stasiun televisi yang mendukung opisisi memang mengirimkan reporternya, untuk meliput secara langsung bagian-bagian kota yang tenang dan mengabaikan peristiwa kerusuhan. Kudeta terhadap Chavez, merupakan kudeta gagal, hanya berlangsung selama 47 jam saja, dimana Presiden Venezuela ini ditahan secara ilegal oleh militer. Pendukung Chavez tetap bertahan di jalanan dan di depan istana kepresidenan Miraflores. Pasukan pengawal presiden pro-Chavez akhirnya merebut kembali istana presiden tanpa baku-tembak, melengserkan Camora dan mengembalikan kekuasaan Chavez.
Kajian media massa dan “revolusi-berwarna” sesungguhnya melengkapi penjelasan mengenai agenda-setting dalam liputan media yang digunakan kelas elit neo-liberal yang mempromosikan “iklim demokrasi”. Sekaligus menjelaskan bagaimana gerakan sosial progresif menentang status-quo dalam demokrasi Barat kurang mendapatkan dukungan media massa, sebaliknya kelompok-kelompok kepentingan (vested-interest) dalam kerangka kebijakan elit politik dan ekonomi lebih mudah mendapat dukungan media. Dalam kalimat sederhana, terdapat kepentingan yang sama yaitu kapitalisme trans-nasional. Cara yang dilakukan media, dalam kajian ini, adalah melemahkan konsepsi populer yang dipahami sebagai demokrasi. Implikasi sebenarnya, adalah operasi gerakan sosial sering dikonstruksi secara paksa untuk anti-demokrasi.
Sedikit Gagasan Mengenai Anarkisme
Anarkisme adalah filsafat politik. Tidak ada posisi tunggal untuk mendefinisikan anarkisme. Anarkisme sering diperpautkan atau dikonotasikan dengan tindak kekerasan. Namun, dalam konteks tulisan ini, anarkisme ilmu pengetahuan atau dengan istilah “pembongkaran” sebagai tafsir untuk menolak tirani paradigma pengetahuan yang memapankan kebenaran absolut. Evaluasi kritis terhadap pengetahuan komunikasi mesti dilakukan. Tirani semacam ini hanya membelenggu pada proses keterasingan. Jika saya meminjam argumen Jurgen Habermas, bahwa kunci pembebasan dapat ditemukan dalam bahasa dan komunikasi. Sebagaimana konsepsi aksi-komunikasi Habermas: “communicative action serves to transmit and renew cultural knowledge, in a process of achieving mutual understandings. It then coordinates action towards social integration and solidarity. Finally, communicative action is the process through which people form their identities”. Dasar teori aksi-komunikasi Habermas adalah rasionalitas tindak komunikasi:”oriented to achieving, sustaining and reviewing consensus - and indeed a consensus that rests on the intersubjective recognition of criticisable validity claims”. Hal ini berkaitan dengan asumsi bahwa bahasa secara implisit inheren secara sosial dan rasional.
Terakhir, tulisan ini memang tidak hendak menjelaskan secara lebih jauh segala tafsir Alain Badiou, filsuf Perancis kelahiran Rabat, Maroko, apa itu “kejadian” (event) dan bagaimana relasinya dengan “ada” (being) dan “subyek” (subject), serta dengan pikiran (thought) sebagai prosedur “kebenaran” (truths) itu sendiri sebagai: kejadian-kebenaran (truth-event). Sekena-kena sajalah yang saya ambil dari pembacaan terhadap konsep Badiou: kejadian itu sesuatu yang absolut, tidak terkalkulasi terlebih dahulu, tidak pula difasilitasi, refleksi ke-alami-an, bahkan menimbulkan ketidak-pahaman darimana muasalnya, apa batas-batas keretakannya dengan garis demarkasi sejarah. Kejadian mempresentasikan ke-baru-an, bukan pengulangan, bukan pula kekekalan-kebenaran, sesuatu kejadian yang subyektifitas (singular) dengan kemajemukan yang majemuk. Sejauh apa yang saya bayangkan dari nasehat Badiou, adalah kejadian-kebenaran tidak pernah datang dari keniscayaan logika kapital, karena bukan penanda kemajemukan yang majemuk atau kolektivitas, apalagi kemudian pada hakekatnya mengkerdilkan makna pikiran-subyek.
Pattiro Deceng, Camba, Maros, 25 Juli 2010
[1] Kurang lebih demikian pertanyaan kepada saya ketika hendak mengajukan proposal skripsi sampai di depan meja ujian. Saya meminta maaf pada dosen pembimbing penulisan skripsi saya, Alwy Rachman, dosen linguistik Universitas Hasanuddin, harus menunggu dua tahun untuk menguji saya di meja ujian. Demikian pada Andi Bulaeng, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, yang sampai-sampai menguji kesahihan bahan skripsi saya di ruang-ruang perkuliahannya selama dua semester. Skripsi saya hanya sebuah usaha sederhana untuk melacak relasi teks dan konteks: apa yang orang pikirkan ketika menafsir kompleksitas kejadian komunikasi (event-context), mengkontruksikannya menjadi pesan (text), dan melembagakan menjadi praktik-praktik kebenaran, lantas bagaimana jika hal itu merupakan pembingkaian (framing) terhadap kesadaran-palsu. Meski saya menyadari, skripsi saya mengandung bias dan ketidak-lengkapan penjelasan.
[2] Pengetahuan dalam Kamus Inggris-Oxford didefinisikan sebagai (i) expertise, and skills acquired by a person through experience or education; the theoretical or practical understanding of a subject; (ii) what is known in a particular field or in total; facts and information; or (iii) awareness or familiarity gained by experience of a fact or situation.
[3] Pengetahuan pada zaman para filsuf pra-Socrates, tidak memisahkan antara teori (dalam bahasa Yunani, theorea, melihat atau mengamati) dengan praxis (kerja, tindakan, praktis). Pengetahuan mengacu pada kontemplasi atau dalam konteks teologis, perpautannya dengan kosmologi. Sedangkan pengertian modern, ilmu pengetahuan (dalam bahasa Arab, ilm, mengetahui atau memahami, dalam bahasa Latin, scientia, pengetahuan), justru memisahkan keduanya, terutama ketika pengaruh kuat positivisme (bersumber pada ilmu-ilmu alam) berkaitan dengan persyaratan ilmiah: obyektivitas, metodis, sistematis dan universal.
[4] Kebenaran memiliki berbagai klaim dan perspektif. Karenanya, kebenaran memiliki berbagai makna dalam melihat kejadian, keadaan, sampai dengan kebenaran ontologis. Dalam pandangan tradisional, kebenaran berpautan dengan kesetiaan, keteguhan, dan ketulusan dalam ucapan dan tindakan atau karakter, sekaligus menunjukan mana yang “palsu”. Sebagaimana pernyataan Aristoteles: “to say of what is that it is not, or of what is not that it is, is false, while to say of what is that it is, and of what is not that it is not, is true”. Demikian pula perpautan kebenaran dengan ketulusan debagaimana diungkap Ibnu Sina, seorang filsuf Islam: “truth is also said of the veridical belief in the existence [of something]”.
[5] Epistemologi (berasal dari kata episteme, pengetahuan dan logos, ilmu) memiliki beberapa persoalan pokok: apakah sumber pengetahuan itu? darimanakah pengetahuan diperoleh? bagaimana cara memperolehnya? Dengan kata lain, epistemologi menjadi titik tolak filsafat ilmu pengetahuan, dengan memakai pandangan Emanuel Kant, merefleksikan sebagai semua pengetahuan yang mungkin. Sedangkan, cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan yang menjalinkan dengan filsafat ilmu pengetahuan adalah dengan metodologi (berasal dari kata methodos dan logos, methodos dalam bahasa Yunani, meta, melampaui, dan hodos, jalan). Metodologi menyangkut proses, prinsip dan prosedur mendekati masalah dan mencari jawaban atas masalah, sedangkan metode berkaitan dengan tindakan, pikiran, pola kerja dan cara teknis memperoleh pengetahuan dan mengembangkan pengetahuan. Singkat kata, metodologi adalah ilmu tentang metode-metode. Epistemologi, metodologi dan metode merupakan tiga serangkai yang diterjemahkan secara berbeda, tetapi jika diruntut ke atas berkaitan dengan: paradigma. Paradigma adalah serangkaian pandangan tentang dunia, yang sekaligus akan menciptakan dan menguatkan keyakinan tersebut melalui metode. Setiap paradigma akan memandang dunia ini secara berlainan. Jika ilmu adalah aktivitas pemecahan teka-teki, maka pemecahan itu dibimbing oleh peraturan-peraturan dalam suatu paradigma. Dalam pandangan Thomas Khun, paradigma tidak sekedar membimbing teknis penelitian, melainkan juga membimbing interpretasi terhadap fenomena yang diobservasi. Paradigma tidak mengandung kekekalan-kebenaran, Khun menyebutkan sebagai “anomali”, yang akan mendorong paradigma-baru.
[6] Diktum Harold Lasswell: who (says) what (to) whom (in) what channel (with) what effect, terlembagakan dalam pikiran mahasiswa semester pertama ilmu komunikasi ketika meng-konstruk pengertian ilmu komunikasi sebatas model transmisi. Diktum ini juga memperkuat argumen Lasswell soal propaganda: ”demokrasi membutuhkan propaganda untuk menjaga warga yang kurang informasi sebagaimana apa yang ditentukan kelas-khusus adalah untuk kepentingan terbaik mereka”. Istilah “kelas-khusus” Lasswell tidak berpadanan atau tidak berada di bawah pengertian pemikir Marxisme tradisional, Antonio Gramsci, filsuf Italia, yang mengalami pemenjaraan oleh rejim fasis Benito Mussolini, mengenai istilah “intelektual-organik”. Dalam argumen Gramci, semua manusia adalah intelektual, akan tetapi tidak semua manusia memiliki fungsi intelektual. Intelektual-organik, dalam tafsir Gramci, mereka yang secara terbuka menyokong dan memihak kelas tertindas. Sementara Lasswell dipengaruhi dengan gagasan awal koleganya, Walter Lippmann, bahwa warga harus diatur oleh “kelas-khusus” (specialized-class) yang kepentingannya melampaui lokalitas, mereka menjadi mesin-ilmu pengetahuan yang tidak cacat-demokrasi, suatu gagasan yang tidak mungkin dilakukan warga “yang terbatas kecakapannya” (omnicompetent).
[7] Retorika (kata yang berasal dari bahasa Yunani, rhetorikos, pidato) memiliki asal-usul pada awal peradaban di Mesopotamia. Di Mesir purba, pendekatan retorika adalah keseimbangan kefasihan bicara (komunikasi) dengan keheningan kebijaksanaan. Dalam Yunani purba, para sophis (orang bijak) yakin manusia tidak mampu menentukan kebenaran sehingga harus menggunakan logo (penalaran logis) untuk menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Bagi para sophis, retorika menjadi sarana bagi manusia untuk membantu dan membuat keputusan. Seorang sophis, Isocrates percaya, bahwa retorika sebagai keterampilan (techne) menggunakan bahasa (berbicara) secara fasih, dapat membentuk karakter (sifat) baik warga dan menciptakan masyarakat, bahkan menyelamatkan republik. Dalam kalimat negasi, itu sama mudahnya retorika dilakukan untuk menipu atau memanipulasi jika bukan orang tepat atau orang yang baik.
[8] Sejauh bacaan saya, perang-dunia yang dipicu oleh mandeknya aliran kapital dalam sistem monarki absolut dan pada akhirnya, menjadi awal mereproduksi “negara” semula sebagai entitas alamiah menjadi produk relasi kekuatan politik-ekonomi. Sejumlah referensi menyebutkan kelahiran nasionalisme, yang memanfaatkan momen perang dunia. Saya tentu saja tidak sedang membicarakan lebih jauh mengenai “Imagined Communities”, karya Benedict Anderson, sebagai hal-ikhwal munculnya nasionalisme dalam sistem kapitalisme, yang mengkoloni imperatif kebudayaan, memunahkan keragaman tradisi, pengetahuan dan bahasa lokal. Nasionalisme pada akhirnya juga menjadi ambigu, ketika media-media besar di Utara secara serampangan menyatakan oposisi biner dengan kata “us” yang pembacaannya sebagai representasi nasionalisme Barat atau garda-depan “demokrasi” dan kata “them” untuk negara-negara di Selatan, terutama pada negara-negara Islam, yang menguat sejak paska bom bunuh diri yang meledakan menara kembar WTC.
[9] Ideologi Partai Nazi (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei atau Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman) merupakan politik-sinkretis dengan varian fasisme (berasal dari bahasa Italia, “facio”, ikatan, atau “facismo”, sindikasi, simbolisasi pemaknaan fasisme menjadi “kekuatan melalui persatuan”) yang diklaim sebagai purifikasi Jerman, dalam spektrum ideologis bukan-kiri (komunisme) dan bukan-kanan (kapitalisme), namun dalam praktiknya, berada pada bentuk politik lebih-ke-kanan (seperti dalam pernyataan: “menjaga kepentingan nasional, dan proteksi terhadap eksploitasi kapitalis). Sikap anti-semit dipengaruhi pandangan sentimen bahwa Yahudi yang membangun komunisme dan kapitalisme. Ideologi ini juga dipengaruhi pandangan atau interpretasi filsafat Friedrich Nietzsche berkaitan dengan konsep supremasi ras Arya (dalam referensi biologis yang spekulatif dan pseudo ilmiah, sebagai leluhur orang-orang Eropa Utara) mengatasi inferioritas, kecacatan atau ketaklukan rasionalitas. Sebagai partai, Nazi memiliki serdadu dan para-militer yang digalang melalui organisasi pemuda dan pelajar. Saya pikir model penggalangan seperti dilakukan Nazi, juga dilakukan oleh sejumlah negara paska-Perang Dunia II.
[10] Developmentalism (pembangunan-isme) merupakan sebuah ideologi yang dibangun secara lintas-displin ilmu (terutama, ekonomi, politik dan sosial) sebagai strategi kunci simbol kemakmuran negara. Melaui simbol itulah, rezim berkuasa akan memperoleh legitimasi. Penyebarannya sangat agresif terutama pada negara-negara yang diberi label “Dunia Ketiga” (under-development atau less-development, kemudian dialih-bahasakan menjadi: negara berkembang). Ideologi ini dibingkai pada tahapan perkembangan linier dalam sistem kapitalisme yang berkaitan dengan kriteria “modern” atau “kemajuan”. Setiap negara diyakini memiliki tahapan pembangunan yang sama. Developmentalisme juga merupakan reaksi Amerika Serikat terhadap komunisme dan gerakan nasionalisme, serta sebagai sarana membangun legitimasi politik berkaitan dengan konteks ekonomi-internasional. Pemikiran developmentalisme mendapatkan dukungan Amerika Serikat, sehingga menyatukan para ilmuwan lintas-displin dengan satu kepentingan untuk memadamkan komunisme sekaligus meningkatkan pengaruhnya di panggung politik-ekonomi dunia. Developmentalisme mendapatkan kritik dua sisi, baik dari pemikiran “kiri” maupun “kanan”. Dalam pemikiran “kiri”, developmentalisme merupakan akar ideologi neo-kolonialisme, memaksa negara-negara Dunia Ketiga membuka pasar-bebas dan bersifat ahistoris. Sementara kritik kalangan “kanan”, developmentalisme justru membuat negara mengendalikan fundamental perekonomian pasar-bebas, hal ini menghilangkan sifat organik mengapa pasar-bebas diciptakan, bahkan menciptakan kompleksitas atau menegasikan visi pembangunan Barat sendiri.
[11] Lerner bersama Wilbur Schramm, dan Everett Rogers merupakan pendukung utama displin komunikasi pembangunan. Displin ini berpautan dengan pendekatan komunikasi yang sehaluan strategi Marshall Plan dan institusi Bretton Woods. Pendekatan komunikasi pembangunan menggambarkan mengenai teknik pemasaran sosial dan opini publik dalam mempromosikan pembangunan. Terakhir, teori dan praktik komunikasi pembangunan mengalami perkembangan dengan metode partisipatif, terutama terinsipirasi dengan pendidikan kritis Paolo Freire, juga isu-isu pembangunan berkelanjutan Secara teoritik, teori pembangunan sendiri mengalami perkembangan, bahkan radikalisasi, terutama diskursus peralihan kapitalisme di negara-negara Dunia Ketiga, seperti dari subsisten menjadi feodal sampai kapitalis. Dalam konsepsi Karl Marx sebagai: akumulasi primitif. Ada berbagai penjelasan awal soal ini misalnya sumbangan pemikiran dari V.I. Lenin dan Karl Kautsky mengenai semakin kuatnya watak komoditi pertanian dan peralihan dari payment in kind (pembayaran bentuk barang) menjadi payment in cash (pembayaran bentuk tunai). Kemudian berkembang dengan dua aliran pokok, sirkulasionis versus produksionis. Istilah sirkulasionis menerangkan terjadinya hubungan pertukaran yang timpang (unequal exchange) berkaitan dengan akumulasi modal dari pusat ke pinggiran. Aliran ini menghasilkan sejumlah teori, seperti Teori Ketergantungan dan Teori Sistem Dunia. Sedangkan aliran produksionis, menekankan analisis pada hubungan-hubungan produksi khususnya konsep cara produki dan formasi sosial, dan banyak dipengaruhi analisis struktural. Teori-teori dalam aliran ini berhubungan dengan pembacaan artikulasi antara cara kerja kapitalis dengan non-kapitalis, pengalaman masa kolonialisme dengan status negara-negara pinggiran dan fokus terhadap internasionalisasi modal.
[12] Bretton Woods adalah nama kota kecil di New Hampshire, Amerika Serikat. Pada Juli 1944, di Bretton Woods, di Hotel Mount Washington, berkumpul 45 delegasi negara untuk mengikuti sebuah konfrensi PBB (istilah PBB-United Nation, diusulkan oleh Roosevelt untuk merujuk pada sekutu Perang Dunia II) mengenai aturan, institusi dan sistem moneter internasional. Mereka hadir untuk merundingkan sebuah ekonomi global yang dapat menghindarkan dunia dari Depresi Besar (Great Depression) dan efek berantai yang memuncak akibat perang dunia. Konferensi ini kemudian melahirkan Bank Dunia dan IMF (International Monetery Fund), yang dikenal juga sebagai institusi Bretton Woods. Sepanjang konferensi, delegasi Amerika Serikat, yang dipimpin Menteri Keuangan Harry Dexter White dan Inggris, yang dipimpin pemikir ekonomi John Maynard Keynes, sangat mendominasi semua negoisasi. Seorang penulis menggambarkan, Bretton Woods memang sengaja dipilih menjadi tempat konferensi karena berkaitan dengan kesehatan Keynes yang pernah terkena serangan jantung pada 1937. Pertimbangannya berkaitan dengan kedekatan Keynes dengan Roosevelt, terutama konsepsi ekonomi moneter dalam menangani Depresi Besar dan gagasan Keynes pada New Deal. Pendirian kedua lembaga ini kurang lebih adalah komporomi terhadap visi Amerika Serikat. Dalam kebiasaan yang ada, pimpinan Bank Dunia diambil oleh warga negara Amerika Serikat, dan pimpinan IMF diambil dari warga negara Inggris.
[13] Adam Smith, adalah orang pertama yang mempermasalahkan dan merumuskan masyarakat kapitalis. Karya opus magnum ekonomi “The Wealth of Nations”, membicarakan hubungan sosial, dimana tema pokok Smith adalah, kepentingan pribadi (self-interest) dan kebebasan alamiah (natural-liberty). Karya ini lahir ketika revolusi industri sebagai cara baru produksi mulai gegap-gempita. Smith menjelaskan mengenai teori nilai-kerja (theory of labour-value), pada hakekatnya hukum pasar didorong oleh kompetisi kepentingan-kepentingan pribadi dan kekuatan individu dalam menciptakan keteraturan ekonomi. Kalau boleh saya padatkan kalimat Adam Smith yang terkenal: bukan karena kemurahan hati tukang daging dan tukang roti, kita mendapatkan makanan, hal ini berhubungan dengan kepentingan, berdasar penghargaan, di sini, tidak ada rasa kemanusiaan, tidak bicara soal kebutuhan-kebutuhan bersama, melainkan atas dasar laba yang diraih. Mode produksi-baru, yang dilangsir Adam Smith, ada tiga tatanan yang paling orisinil: tuan tanah, pekerja, kapitalis, yang berhubungan dengan: sewa tanah, upah kerja, laba modal, yang keseluruhannya menciptakan pendapatan nasional.
[14] Kelompok Bank Dunia (the World Bank Group) mengacu pada keluarga dari lima lembaga keuangan internasional yang berkaitan dengan pembiayaan utang yaitu: International Bank for Reconstruction and Development (IBRD); International Development Association (IDA); International Finance Corporation (IFC); Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA); dan International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Secara teknis Kelompok Bank Dunia berada dalam sistem PBB. Penyebutan istilah Bank Dunia biasanya merujuk pada IBRD. Lembaga yang pertama didirikan adalah IBRD pada 1945 yang memberikan pembiayaan utang berdasar jaminan kedaulatan sebuah negara. IFC didirikan pada 1956 yang memberikan pinjaman terutama pada sektor swasta. IDA didirikan pada 1960 yang memberikan pinjaman lunak (bebas bunga) atau hibah, biasanya dengan jaminan kedaulatan sebuah negara. ICSID didirikan pada 1966, bekerjasama dengan pemerintah untuk mengurangi risiko investasi. Terakhir, MIGA didirikan pada 1988 untuk memberikan asuransi atas beberapa risiko berkaitan dengan pinjaman, termasuk risiko politik, terutama pada sektor swasta. Dari kelima lembaga ini, IBRD memiliki jumlah negara anggota yang paling banyak. Negara anggota menyumbang modal saham dasar, suara sebanding dengan saham, namun terdapat suara tambahan yang tergantung pada kontribusi keuangan bagi lembaga. Dalam sistem Bank Dunia, Presiden Amerika Serikat akan menunjuk Presiden Kelompok Bank Dunia, kemudian dipilih Dewan Gubernur Bank Dunia. Pada Nopember 2006, Amerika Serikat memegang 16,4 persen suara, diikuti Jepang 7,9 persen, Jerman 4,5 persen, Inggris dan Perancis masing-masing 4,3 persen suara. Sebagaimana perubahan piagam Bank Dunia, super-mayoritas memerlukan 85 persen suara, ini juga berarti Amerika Serikat dapat memblokir setiap perubahan besar yang mengatur struktur di Bank Dunia. IBRD mulai beroperasi pada Juni 1946, dengan pinjaman yang disetujui pertama kali, pada Mei 1947, kepada Perancis untuk rekonstruksi paska Perang Dunia II dengan nilai US$ 250 juta, pinjaman terbesar kala itu. Operasi Bank Dunia seringkali menimbulkan kontroversi. Misalnya, kampanye internasional mengenai utang Bank Dunia pada proyek bendungan Kedung Ombo, dimana Bank Dunia mengabaikan pelanggaran Hak Azasi Manusia ketika terjadi pemindahan 30 ribu orang melalui indoktrinasi dan bentuk-bentuk intimidasi seperti pemaksaan dan kekerasan. Hal yang lain adalah kritik mantan kepala ekonomi (chief economist) Bank Dunia, Joseph Stiglitz, dengan istilah Washington Consensus, sebagai istilah yang menggambarkan keterlibatan Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan Amerika Serikat, dalam mendukung kebijakan reformasi pasar-bebas, yang melemahkan peran negara. Selain tuduhan praktik korupsi dan konflik kepentingan (confict of interest) dalam tubuh Bank Dunia sendiri. Namun dalam kasus Indonesia, Bank Dunia dituding melakukan pembiaran korupsi yang menumpuk dalam proyek-proyek utang mereka di Indonesia, saat pemerintahan Presiden Suharto. Jeffrey Winters, profesor Univesitas Northwestern Amerika Serikat, menilai Bank Dunia secara sembrono memberikan utang milliaran dollar kepada rezim Suharto, meski mereka tahu korupsi bukan hanya dalam sistem pemerintah, tetapi juga dalam proyek mereka sendiri. Winters mengistilah sebagai utang kriminal. McNamara, mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat ketika perang Vietnam meledak, Presiden Bank Dunia pada dekade 1970an, digambarkan tidak bersemangat membahas hal ini. Dalam kunjungan terakhirnya di Indonesia, pada tahun 1979, sebagai Presiden Bank Dunia, McNamara bertemu dengan para menteri, Wakil Presiden Adam Malik, terakhir bertatap-muka dengan Presiden Suharto, memberikan pesan yang sama mengenai usaha menekan korupsi. Dokumen yang dikutip Winters menunjukan, Suharto sama sekali tidak menanggapi ucapan McNamara mengenai korupsi. Suharto sangat mengetahui hubungan unik antara Indonesia, Bank Dunia, dan McNamara: Indonesia bagaikan permata pada mahkota operasional Bank Dunia.
[15] Saat kelahirannya di Bretton Woods, IMF dibebani tugas menciptakan sistem moneter internasional yang stabil guna mendorong perdagangan internasional. Tugas utamanya, memantau dan mengendalikan sistem nilai tukar mata uang (kurs) yang stabil dengan standar emas dan dollar Amerika Serikat. Namun, pada tahun 1971, Amerika Serikat sendiri mencampakkan sistem standar emas, akibat tekanan inflasi dan beban pembiayaan Perang Vietnam. Di sinilah pertama kali IMF meninggalkan misi awalnya dan menata ulang kekuasaannya: dari sistem kurs ke arah pemantauan kebijakan nilai tukar dan menaikkan kredit ke negara-negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran. Kejutan harga minyak pada tahun 1970an dan defisit negara-negara importir minyak, disusul krisis Meksiko karena gagal membayar utang yang jatuh tempo pada 1982, membuat IMF semakin diperlukan, untuk membantu menyelamatkan neraca pembayaran dan mengatur perundingan restrukturisasi utang. Namun, risiko paket pembiayaan IMF sesungguhnya sangat menyakitkan yang dikenal sebagai program penyesuaian struktural (structural adjustment program) pada dekade 1980an. Program yang memacu pertumbuhan ekonomi yang berorientasi ekspor, melalui pengurangan subsidi dan peran pemerintah, serta peningkatan pajak. Hal ini melahirkan berbagai implikasi peningkatan industri ekstraktif sumberdaya alam yang berisiko pada lingkungan, juga pengurangan subsidi menyebabkan melebarnya kesenjangan kemiskinan. Krisis akhir 1990an, yang berbeda dengan krisis 1980an, yang menghantam Indonesia, berkaitan dengan krisis sektor swasta. IMF kemudian semakin dicari untuk menangani bail-out (dana talangan) atas kebankrutan sektor swasta, artinya hal ini semakin memperluas kekuasaan IMF merambah sektor tata-pemerintahan (governance).
[16] Istilah “neo-lib” tiba-tiba membanjiri kepala kita saat skandal keuangan sebuah bank yang melibatkan dan segala pencitraan terhadap mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang saat ini menjadi pejabat teras di Bank Dunia. Karya David Harvey, “A Brief History of Neoliberalism” dapat menjadi referensi tepat untuk menjelaskan hal-ikhwal neo-liberalisme. Saya kutip referensi ini dari Arianto Sangaji (2009), bahwa neoliberalisme adalah paham yang menekankan jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar bebas, perdagangan bebas, dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan pribadi. Para penyokong neo-lib menempatkan idealisme politik tentang martabat manusia dan kemerdekaan individu, sebagai “nilai sentral peradaban”’ Mereka menganggap, nilai-nilai itu menghadapi ancaman bukan saja oleh fasisme, komunisme, dan kediktatoran, tetapi oleh segala bentuk campur tangan negara yang memakai idealisme kolektif untuk menekan kebebasan individu. Penyokong neo-liberalisme di garis depan adalah Milton Friedman, peraih Nobel 1976. Karyanya, “Capitalism and Freedom”, menjadi cetak-biru neo-liberalisme: privatisasi, deregulasi, dan pengurangan belanja negara di sektor publik. Bagi Friedman, kemerdekaan ekonomi adalah keniscayaan menuju kemerdekaan politik. Sejak 1979, konsolidasi neoliberalisme mencapai puncaknya dengan terpilihnya Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher (1979) dan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan (1980). Di sinilah penjelasan mengenai pemberlakukan deregulasi pasar keuangan, privatisasi, pelemahan kelembagaan-kelembagaan jaminan sosial, pelemahan serikat-serikat buruh dan perlindungan pasar tenaga kerja, pengurangan peran pemerintah, dan membuka pintu untuk arus barang dan modal internasional. Dalam bahasa David Harney, negara neoliberal memiliki misi menciptakan “good bussiness climate” bagi akumulasi modal, tidak peduli dampak negatif sosial ekonominya. Negara harus memfasilitasi dan mendorong kepentingan-kepentingan bisnis, seperti privatisasi sektor-sektor yang sebelumnya dikuasai negara, memacu pertumbuhan industri keuangan (financialization), dan sebaliknya, menarik diri dari tanggung jawab di bidang sosial. Negara menciptakan dan melindungi kerangka kerja secara kelembagaan yang menjamin hak milik pribadi, kebebasan individu, tidak membebani pasar, dan mendorong perdagangan bebas. Dan tidak kalah penting, negara juga mesti menyiapkan militer, polisi, dan lembaga-lembaga peradilan untuk menjamin semua itu bekerja.
[17] Konstruksionisme sosial merupakan pemikiran sosilogi pengetahuan. Salah satu tokoh terpenting pemikiran ini adalah sosilog kelahiran Austria, Peter Ludwig Berger. Dalam karyanya bersama Thomas Luckmann, “The Social Construction of Reality”, argumentasi Berger mengenai pengetahuan adalah: “that all knowledge, including the most basic, taken-for-granted common sense knowledge of everyday reality, is derived from and maintained by social interactions”. Fokus sentral konstruksionisme sosial adalah untuk mendapat penjelasan bagaimana cara-cara individu dan kelompok berpartisipasi dalam realitas sosial, termasuk di dalamnya cara melihat fenomena sosial yang diciptakan, dilembagakan, dan ditradisikan. Realitas sosial merupakan bangunan dinamik, dimana prosesnya direproduksi dengan pemaknaan dan pengetahuan. Dalam penjelasan Berger, ketika orang berinteraksi, pemahaman orang didasarkan atas persepsi masing-masing mengenai realitas yang terkait, dan pada saat orang bertindak, pemahaman mereka menjadi pengetahuan umum (akal-sehat) untuk menguatkan realitas tersebut. Hal ini sesungguhnya menggambarkan, bagaimana akal sehat dinegoisasikan, dimana tipifikasi (simbolisasi), pemaknaan, dan pelembagaan, direpresentasikan sebagai bagian realitas obyektif. Dari sinilah, realitas sosial itu dibangun.
[18] Walter Lippman, seorang jurnalis Amerika Serikat keturunan Yahudi Jerman, dipekerjakan oleh Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson selama Perang Dunia I, dalam komisi Creel (Creel Commission) yang dibentuk Wilson. Komisi yang dipimpin George Creel ini memiliki misi propaganda utama untuk mempengaruhi pendapat umum, menggerakan akal-sehat orang untuk setuju: mengapa Amerika Serikat harus terlibat dalam perang-dunia. Misi itu hendak membalikkan pandangan pacifisme orang Amerika yang sedang berkembang luas. Agenda tersembunyi (hidden-agenda) dibalik misi itu sejauh apa yang saya baca salah satunya berkaitan dengan kompetisi industri senjata.
[19] Sejumlah buku-teks ilmu komunikasi secara sengaja melakukan pemaknaan “bapakisme”, termasuk Everett Rogers, sebagai “bapak komunikasi pembangunan”. Jika dirunut secara serius dalam relasi gender, maka hal ini adalah contoh seksisme (sexism) dalam “ilmu pengetahuan”, yang merupakan konstruksi sosial atas klaim privalege maskulinitas terhadap rasionalitas dan obyektivitas. Istilah seksisme diciptakan pada pertengahan abad 20, yang merujuk pada prasangka atau kebencian atas dasar jenis kelamin. Seksisme merupakan elemen laten dalam sistem kapitalisme dunia yang kemudian mengkonstruk relasi dan seksualitas dalam dekade ini. Kalau boleh saya katakan hal ini semacam proyek reklamasi. Representasi feminitas dan maskulitas mewarnai media periklanan sehari-hari, misalnya reproduksi figur “ibu” sebagai pemberi makan bagi bayi, tetapi bukan dengan ASI melainkan dengan susu-sapi. Periklanan tetap saja memangsa segmen perempuan dan anak, yang rentan dikonstruk sebagai “nafsu seksual” dalam berbelanja. Hal yang sama pada prilaku korporasi global yang mempromosikan junk-food (pangan yang sarat gula, garam dan lemak dengan kadar tinggi). Dengan iklan yang kuat, mereka mengeksploitasi anak-anak sebagai kekuatan yang dapat mengganggu orang tua. Mereka percaya, anak-anak memainkan peran penting dalam pemasaran. Di masa lalu, mungkin saja kekuatan-ibu yang sangatlah besar. Tapi saat ini, korporasi tengah menggunakan rengekan anak-anak guna menggerus keuangan keluarga.
[20] Saya pikir, karya populer Maximilian Weber, “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme” cukup penting sebagai langkah awal untuk melacak siapa penemu kapitalisme, tentunya dengan tetap tidak mengabaikan bias pemikiran Weber. Tentu juga, di sisi lain, saya tidak ingin mengabaikan pisau analisis Marxian mengenai kapitalisme. Karya sosiolog kelahiran Jerman ini, sama sekali bukan buku text agama, melainkan interaksi gagasan keagamaan (Calvinisme) dengan ekonomi, apakah agama memberikan sumbangan berarti terhadap perkembangan kapitalisme, apakah kapitalisme hanyalah aksi keserakahan belaka dan stigma budaya Barat. Secara historis, mula-mula kejadian kapitalisme di Eropa barat-laut, kemudian memperoleh momentum dan berkembang pesat kekuatannya hingga mencakup sebagian besar dunia. Kata penting yang saya tangkap dari Weber adalah agen-individual kapitalisme: wirausaha (entrepreneur). Sebuah kata yang saat ini meledak di berbagai universitas, dalam banyak pidato, tentang pentingnya ke-wirausaha-an, bahkan kursus-kursus motivator meningkat tajam. Menurut Weber, wirausaha dan tenaga kerja adalah syarat fundamental kapitalisme. Sebagai agen-individual tidak mungkin secara abriter, yang serta-merta dengan sendirinya membentuk tatatan ekonomi kapitalisme. Bukannya dibangun dari pribadi-pribadi yang terpisah, demikian tegas Weber. Maksud pemikiran Weber yang secara mudah dapat ditangkap adalah: darimanakah spirit atau semangat (etos) pengejaran urusan duniawi (sekuler) itu muncul yang demikian besar. Argumen empirik Weber kemudian menunjukan, urusan duniawi memperoleh pemaknaan spiritual dan moral dalam Calvinisme (etika kerja protestan) sebagai kombinasi kecerdasan berbisnis dan kesalehan beragama. Bagaimana orang termotivasi dengan karakter intrinsik permanen dari keyakinan agama tersebut, dalam postulat Weber menyebutkan, ketidakpastian kehidupan menjadi syarat emosional keimanan. Bagaimana orang tahu bahwa dia diberkahi rahmat atau dikutuk Tuhan? Dalam observasi Weber terhadap Calvinisme menggambarkan, bahwa bekerja keras dan tekun bukan alat untuk mendapatkan keselamatan, melainkan tanda lahiriah akan takdir Tuhan. Kesuksesan dalam urusan duniawi akan meningkatkan keyakinan agama yang bermakna rahmat di dunia dan keselamatan di akherat. Bagi Weber, hal ini menjadi pemicu pertama untuk mentransformasi diri dari ekonomi tradisional ke dalam ekonomi modern (kapitalisme). Transformasi ini kemudian membangun formasi kekuatan yang dapat mengembangkan logikanya sendiri: akumulasi modal. Ketika sistem kapitalisme dapat beroperasi dengan kekuatan sendiri tanpa dukungan keyakinan agama, akan menciptakan kecenderungan sekulerisasi yang sangat kuat, bahkan menentang keyakinan agama. Kerja intelektual Max Weber ini, memusatkan perhatian pada proyek rasionalisasi masyarakat, sekaligus sebagai kritik-positif terhadap Karl Marx mengenai determinasi materialisme-historis, terutama karena mengabaikan ideologi sebagai kesadaran-palsu. Tapi, Weber tidak hendak menaifkan pandangan “materialisme-historis”(takdir-sejarah), karena akan menunjukan bias dan ketidaklengkapan penjelasan, melainkan perluasan interpretasi terhadap faktor idea (kultur, motivasi manusia, sikap dan nilai).
[21] Istilah modern berasal dari bahasa Latin “modernus”, dari kata modo, sekarang. Istilah ini mula-mula muncul pada abad 15 untuk membedakan era-kristen dengan era-pagan (dari bahasa Latin, paganus, kasar) untuk merujuk berbagai politeistik dalam konteks tradisi keagamaan, politeistik Yunai-Romawi atau Eropa sebelum kristenisasi. Definisi konseptual modernitas tersedia dalam sosiologi. Dalam istilah yang paling dasar, Anthony Giddens menggambarkan sebagai berikut: “... it is associated with (1) a certain set of attitudes towards the world, the idea of the world as open to transformation, by human intervention; (2) a complex of economic institutions, especially industrial production and a market economy; (3) a certain range of political institutions, including the nation-state and mass democracy”.
[22] Studi-studi yang dilakukan Arianto Sangaji, seorang akademisi dan aktivis Ornop, dalam kasus Poso, dapat mengantar kita pada gambaran relasi kekerasan yang ekskalatif dan kapital yang ekspansif, dalam batas-batas tertentu justru yang saling melengkapi. Ekskalasi kekerasan dapat dibaca dengan peredaran senjata api (small-arms) illegal di daerah konflik Poso, yang memperdalam situasi kekerasan dari intensitas rendah menjadi intensitas tinggi. Senjata api yang dimaksud tidak semata-mata pada senjata api rakitan dan bom rakitan yang diproduksi secara gelap, dalam studi Arianto Sangaji (Peredaran Illegal Senjata Api di SulawesiTengah, 2006), melainkan juga persenjataan pabrikan resmi dalam kualifikasi tempur-militer. Illegal yang dimaksud, transfer senjata api dapat melalui pasar abu-abu (grey market), dapat juga melalui pasar-gelap (black market). Dalam studinya menunjukan adanya berbagai jenis senjata illegal yang beredar di Poso. Di antaranya, termasuk kategori bolt action rifle, seperti SMLE No.5 jungle carbine (Inggris), yang lazim dikenal dengan LE (Lee-Enfield) atau jungle. Senapan serbu, seperti M16 buatan Colt (USA) dan AK-47 (Avtomat Kalashnikova buatan Rusia). Senapan semi otomatif seperti SKS (Samozarydnyj Karabin Simonova atau Simonov selfloading carabine-Rusia),dan M1 Carbin (USA). Juga, terdapat senjata kategori sub-machine gun, seperti Uzi (Israel). Bahkan, ada senjata mesin (machine-gun) FN Minimi (Belgia), Bren MK.3 (Inggris) dan RPD (Rusia). Kecuali senjata api standar tempur, maka yang juga ramai beredar di kalangan warga sipil adalah peluru berbagai kaliber. Paling menonjol adalah kaliber 5,56 milimeter (mm) buatan PT Pindad. Peluru buatan Pindad lain yang juga ditemukan adalah peluru kaliber 7,62mm, 38mm dan kaliber 9 mm. Menurut Arianto Sangaji, peredaran senjata api illegal menyiratkan kompleksitas problematik, selain soal intensitas kekerasan dan pihak-pihak yang meraup keuntungan ekonomi-politik, masalah peredaran senjata api illegal, bukan hanya masalah nasional akan tetapi problem trans-nasional dengan memperhatikan sumber, asal-usul dan motif penggunaan yang melintasi batas-batas negara. Terakhir, soal “kegagalan Negara” dalam memberikan menjamin keamanan sehingga mendorong warga memiliki dan menguasai senjata api. Dalam studi ekonomi-politik yang berbeda dalam wilayah yang sama, Arianto Sangaji menggambarkan transformasi kapitalis yang berlangsung secara jelas. Sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan dan sumberdaya alam lainnya menjadi bagian proyek transisi-kapitalisme, dalam analisis Marx, sebagai peralihan dari corak atau pola subsisten menjadi corak komoditifikasi dalam proses hubungan kerja kapitalistik. Studi Arianto Sangaji (Transisi Kapital di Sulawesi Tengah: Pengalaman Industri Kelapa Sawit, 2009), menjelaskan tentang aspek-aspek kunci peralihan itu berlangsung dalam perkebunan kelapa sawit: pemisahan petani atas alat produksinya, peralihan menjadi tenaga kerja, dan konsentrasi kepemilikan alat produksi di tangan kelas kapitalis. Sejarah peralihan alat produksi ini tidak berlangsung secara alamiah, melainkan berada di bawah tekanan (koersif) pada dua sisi yang berpautan: liberalisasi kebijakan di tingkat trans-nasional dan penghancuran sentra-sentra kekuatan populis dengan menyebarkan teror dan kekerasan. Menurut pandangan saya, analisa “negara-gagal” mencapai relevansinya, bukan sekedar ketidak-mampuan atas “state of obligation” terhadap jaminan keamanan dan ekonomi dalam ranah hak azasi, atau semata-mata rezim berwatak kleptokratik, despotik dan korup, melainkan juga keniscayaan terhadap logika kapital.
[23] Dalam tafsir saya mengenai pemikiran post-strukturalis Michel Foucault, menggambarkan bagaimana ilmu pengetahuan (positivisme) melakukan penaklukan atas otonomi-tubuh. Cara kerja arkeologis Foucault pada kegilaan (madness) menemukan hubungan-hubungan kuasa ilmu pengetahuan. Berdasar analisis historis, Foucault memeriksa “geneologi” metode ilmiah setiap tahapan perlakuan terhadap kegilaan mulai dari pengasingan, pengucilan sosial, pemasungan dan pengisolasian. Hal ini menggambarkan mengenai konfigurasi kekuasaan, bahwa subyek tidak memiliki hubungan kuasa. Konfigurasi kekuasaan dapat bersifat positif, jika dikekang untuk menjadi topeng, sebagaimana ilmu-ilmu humaniora.
[24] Lahan gambut di Indonesia seluas 22 juta hektar. Data satelit tahun 2009 menunjukan: 33 persen dalam kondisi baik, 17 dalam kondisi agak baik, dan 50 persen sudah sangat rusak (BPPT dalam Walhi, 2010).
[25] Sepuluh tahun terakhir degradasi hutan di Indonesia berkisar antara 1,6 juta sampai 2,1 juta hektar per tahun. Sekitar dua kali lipat lebih cepat dibandingkan periode 1980-an. Sampai dengan saat ini, Indonesia telah kehilangan 72 persen hutan asli yang ada pada awal abad 20. (Walhi, 2009)
[26] Gerakan sosial (social movement) dipahami sebagai aksi memecahkan hambatan sosial dan politik, karena itu fokus isunya pada perubahan sosial dan politik. Charles Tilly, salah satu sosiolog yang menelaah faktor historis gerakan sosial mendefinisikannya sebagai berikut: “big social movements as a series of contentious performances, displays and campaigns by which ordinary people made collective claims on others”. Sementara Sidney Tarrow, yang membedakan gerakan sosial dari partai politik dan advokasi kelompok, mendifinisikan: “a social movement as collective challenges [to elites, authorities, other groups or cultural codes] by people with common purposes and solidarity in sustained interactions with elites, opponents and authorities”. Gerakan sosial dalam tafsir sosiologi dibangun dengan dua teori besar: ortodoksi tindakan kolektif dan mobilitas sumberdaya. Teori mobilitas sosial, dianggap oleh para penyokongnya, dapat memecahkan yang belum terselesaikan oleh teori ortodoksi tindakan kolektif, semacam teka-teki. Pertama, mengapa terjadi “penyimpangan” cara atau pola tindakan yang sudah mapan? Kedua, bagaimana menerjemahkan perasaan menjadi tindakan? Ketiga, mengapa orang bertindak secara kolektif secara bersamaan untuk menyatakan perasaan dan dorongan hati mereka? Gerakan sosial dipahami juga memiliki struktur mobilisasi (dapat bersifat informal dan terorganisir), repertoire (perlawanan) dan interaksi melawan, serta melakukan framing (pembingkaian) dalam kaitan agenda-setting dan pengaruh politis. Sejumlah literatur telah memfokuskan kajian pada fenomena gerakan sosial kontemporer atau dengan istilah “gerakan sosial-baru” sejak pertengahan 1960an. Klaim kajian menunjukan mengenai perbedaan karakteristik atau pola gerakan yang berbeda dengan gerakan sosial konvensional atau tradisional, berkaitan dengan paradigma Marxian yang berpusat pada masalah ekonomi, seperti gerakan buruh. Karakter gerakan sosial-baru seperti gerakan “eco-feminisme” atau gerakan yang berbasis pada politik identitas, serta penyebarannya yang tidak berpusat pada teori kelas, menjadi klaim kajian. Meskipun kritik terhadap klaim ini juga tidak kalah penting, seperti ketidak-baruan penjelasan teoritik atas gerakan sosial.
[27] Jika diklasifikasikan teori-teori revolusi didasarkan dari model yang digunakan, maka paling tidak terdapat empat model. Namun, masing-masing memahami sebagian kebenaran, lagi-lagi peting sebuah teori yang lebih komprehensif untuk memahami revolusi. Model yang paling tradisional adalah “model ledakan”, model yang diilhami oleh psikologi sosial yaitu, revolusi yang berkobar dari bawah, yang dilakukan oleh massa yang putus asa, akibat akumulasi ketegangan dan ketidakpuasan melampaui ambang batas. Kemudian, “model persekongkolan”, sebagaimana halnya teori konspirasi, revolusi yang diciptakan agitator luar, sebagai “karya subversif”, sehingga masa termanipulasi dan bertindak secara kolektif. Dua model lainnya, terilhami dari teori struktural, pendekatan pertama yang diistilahkan sebagai “model katup pengaman”, revolusi hanya akan meletup jika kontrol pemerintah melemah dan kekuatan koersifnya mengendor. Pendekatan yang lainnya disebut “model kantong terbuka”, revolusi akan meletus jika tercipta sumberdaya dan peluang struktur yang kondusif untuk memobilisasi tindakan revolusioner.
[28] George Soros, diaspora Yahudi kelahiran Budapest, Hongaria, menjadi warga negara Amerika Serikat, terkenal sebagai kapitalis radikal sekaligus seorang filantropis. Di Asia, Soros, dikenal melalui tindakan spekulasi jangka pendek dalam memainkan transaksi mata-uang asing, yang kemudian merontokan pondasi ekonomi Korea Selatan, Indonesia dan Thailand dengan istilah “krisis-moneter”. Tiba-tiba nilai mata uang terjerembab secara cepat, ribuan pabrik gulung-tikar, dan jutaan orang jatuh miskin dan menjadi pengangguran. Ironisnya, krisis terjadi selang beberapa bulan sebelumnya, Bank Dunia dan IMF memuji fundamental ekonomi Indonesia sebagai “new-miracle”. Soros juga dijuluki sebagai “Pria yang Membangkrutkan Bank of England” dengan melakukan pembelian dan penjualan mata uang poundsterling yang membawa keuntungan senilai 1,5 milliar dollar Amerika Serikat selama tahun 1992. Tindakan Soros yang paling mengharu-biru mata uang Inggris diistilahkan sebagai peristiwa Rabu Hitam (16 September 1992). Bagi Soros sendiri, ini memenangkan prediksinya mengenai keruntuhan ekonomi “super-bubble” yang diperlihara dan bertahan selama 25 tahun. Berikut perspektif Soros mengenai peran uang sebagai: “mekanisme yang efisien, tanpa kemanusiaan. Pasar uang kemudian menjadi moral. Justru karena itulah, pasar uang tidak boleh dibiarkan menentukan masa depannya sendiri”. Soros adalah pribadi yang kompleks. Soros mengimajinasikan dirinya sebagai mesin raksasa-penelan uang besar dan mengeluarkannya. Dalam kehidupan intelektualnya, Soros sangat terpikat dengan pemikiran profesornya, Karl Popper, filsuf Austria, pada saat kuliah di London School of Economics. Karya Popper, “Open Society and Its Enemy”, paling inspiratif bagi Soros, kemudian memberi nama organisasi filantropinya, Open Society Institute (OSI). Soros sendiri terpikat dengan penolakan Popper terhadap fasisme dan komunisme, karena dalam kehidupan masa mudanya, Soros mengalami pemenjaraan oleh fasisme Jerman yang anti-Semit. Ancaman terhadap masyarakat-terbuka, bagi Soros, terjadi di dua sisi, dari tidak berfungsinya negara, gagalnya sebuah negara, sebagaimana di negara bekas-Uni Soviet, demikian juga negara yang mapan dengan konsep masyarakat-terbuka, seperti Amerika Serikat di bawah pemerintahan Bush, sikap alami untuk mengobarkan perang terhadap terorisme adalah kekeliruan, berbahaya bagi kebebasan sipil. Dalam penjelasan Soros, persepsi pemilih terhadap realitas sungguh mudah dimanipulasi dengan meminjam teknik penipuan dari periklanan modern dan orasi politik, sehingga wacana demokratis tidak mengarah pada pemahaman yang lebih baik daripada realitas yang dipersepsikan. Karena itu, Soros berargumen, selain prasyaratan pemisahan kekuasan, kebebasan berbicara, Pemilu yang bebas, juga perlu membuat komitmen eksplisit yang kuat untuk mengejar kebenaran. Sebagai aktivis politik, Soros menghabiskan uang 100 juta dollar Amerika Serikat untuk membantu menggulingkan diktator Serbia, Slobodan Milosevic, begitu juga bantuan keuangan untuk menjatuhkan rezim berkuasa di negara-negara bekas-Uni Soviet, dan menyumbang 26 juta dollar Amerika Serikat kepada John Kerry untuk menghadapi Bush dalam Pemilu 2004 di Amerika Serikat.
[29] Konsep awal “masyarakat-terbuka” (open-society) oleh filsuf Henri Bergson, kemudian dikembangkan Karl Popper, filsuf Austria, yang menjadi profesor di London School of Economics, Inggris. Bersama para koleganya, antara lain, Friedrich von Hayek dan Milton Friedman, mendirikan Mont Pelerin Society, yang membela neo-liberalisme dan semangat masyarakat-terbuka dari Popper. Berdasar rekam-jejak pemikirannya, konsep Popper mengenai masyarakat-terbuka sesungguhnya lebih berkaitan dengan epistemologi pengetahuan daripada politik. Keyakinan Popper mengarahkan pada kegagalan ilmu-ilmu sosial dalam memberi makna fasisme dan komunisme karena kesalahan epistemologi. Politik totaliterisme, lanjut Popper, tidak memungkinkan adanya pemikiran kritis dan membuat kerusakan pengetahuan. Masyarakat-terbuka menjadi titik pandang alternatif, akan selalu membuka perbaikan pengetahuan yang memang tidak pernah selesai tetapi tetap berlangsung. Hal sebaliknya pada masyarakat-tertutup, karena berada pada rezim diktator-otoriter, teokrasi dan monarki-totaliter. Bagaimana pun, menurut Popper, ide-ide individualisme termasuk kebebasan politik (freedom of politic) tidak dapat ditekan karena hal ini merupakan kesadaran manusia dan tidak mungkin kembali pada masyarakat-tertutup. Dengan masyarakat-terbuka, salah satunya akan menjamin para pemimpin politik dapat digulingkan tanpa pertumpahan darah. Demokrasi adalah contoh masyarakat-terbuka.
[30] Seorang mantan anggota parlemen Georgia memberikan laporan, tiga bulan sebelum Revolusi Mawar, Soros telah merogoh koceknya 42 juta dollar Amerika Serikat untuk menjatuhkan Shevardnadze. Tentu saja, Soros menyangkal tuduhan ini. Ketika berada di Tbilisi, ibukota Georgia, Juni 2005, Soros berkata,”saya senang dan bangga atas pekerjaan meletakan pondasi untuk mempersiapkan apa yang menjadi Revolusi Mawar bagi masyarakat Georgia, tetapi peran yayasan dan saya pribadi terlalu dilebih-lebihkan”. Tendensi kalimat yang sama pada saat Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad, menuding Soros di belakang krisis-moneter Asia Tenggara. “Saya tidak mengendalikan pasar seperti halnya pemerintah mengendalikan kebijakannya. Mungkin Mahathir adalah salah satu juru bicara saya yang paling baik. Karena siapa yang akan mendengar nama saya di Asia kalau Mahathir tidak mengatakannya? Tetapi dia salah mengenai tudingan tersebut. Mahathir menyalahkan saya dan tudingan itu mempopulerkan nama saya. Saya bahkan lebih dikenal di Cina daripada di Amerika dan saya berterima kasih kepada Mahathir atas hal itu,”kata Soros. Begitu pula dengan peristiwa krisis-moneter yang terjadi tersebut, Soros berkata: “pemerintah yang mengontrol kebijakan. Mereka punya kebijakan terhadap mata uang dan kebijakan itu tidak sempurna. Merekalah yang seharusnya disalahkan atas krisis yang terjadi. Menurut saya, IMF juga bertanggungjawab, karena memberikan rekomendasi yang membuat Indonesia semakin terpuruk. Jadi, pemerintah yang bertanggung jawab, karena mereka berurusan dengan pasar. Saya hanya bagian dari pasar”. Dalam kasus Georgia, bagaimana pun juga, Soros telah terintegrasi dalam kekuasaan, dengan adanya sejumlah tokoh yang bekerja untuk organisasi Soros mengambil posisi dalam pemerintahan baru paska-Shevardnadze, bahkan diantaranya juga melakukan konsultasi dengan pimpinan oposisi di Ukraina mengenai teknik “revolusi” tanpa kekerasan, dan menyarankan para tokoh oposisi di Kirgizstan untuk melakukan Revolusi Tulip.