JANGAN panggil aku ibu, sebut saja namaku, Mae. Sebuah pesan pendek masuk dalam telepon genggam saya, pagi itu. Usia Mae mendekati 35. Sudah sekian tahun lamanya, Mae menjadi orang tua tunggal bagi dua anaknya. Tiga kali menikah, dan semuanya berantakan. Pada alasan yang sama, ketiga lelaki itu tidak peduli akan hidup Mae dan anaknya. Mae pernah bertahan hidup sebagai buruh migran di negeri jiran. Lima kali ganti majikan, disiksa, lari dengan speedboat menuju arah Medan. Mae memang tidak lahir dari keluarga yang mapan. Bapaknya, seorang penjaga malam. Ibunya, tukang pijat. Mae tinggal di sebuah pemukiman padat penduduk di Kota Mataram. Berumah di atas tanah milik pemerintah, orang sering menyebutnya sebagai tanah GG (g overnment ground ). Sebuah tanah dimana rumah-rumah saling berdesakan, tanpa halaman, penuh dengan jalan tikus mirip labirin. Saya berdiri di ujung lorong, suatu sore, tak jauh dari rumah Mae. Satu dua orang melintas, matanya merah, mulutnya bau tuak. Seorang...
Setiap kisah adalah kisah perjalanan - praktik spasial (Michel de Cherteau)