Skip to main content

Nduga

INSIDEN kekerasan bersenjata itu kembali meletup, beberapa pekan lalu. Di Nduga, di sebuah tempat yang bertengger di punggung pegunungan tengah yang membelah Papua. Insiden yang membuat saya lagi-lagi menyerngitkan dahi. Untuk kesekian kalinya darah tumpah. Terasa getir tak berkesudahan. Seperti membekukan perjalanan sebuah negeri, lebih dari setengah abad, berhenti di tubir sejarah. Insiden itu berada di jalan raya Trans Papua. Jalan raya yang melewati Taman Nasional Lorentz. Sebuah situs warisan dunia, yang memiliki spektrum ekologi menakjubkan, akan tetapi rentan terdegradasi. Sekaligus, menjadi ruang hidup bagi delapan etnis Papua, Nduga salah satunya. Situs itu selemparan batu jaraknya dengan wilayah operasi tambang emas dan tembaga terbesar, tambang Grasberg. Tambang yang dikelola Freeport Indonesia, anak raksasa tambang asal Phoenix, Amerika Serikat, Freeport McMoRan Inc. Sejak awal, kehadirannya kerapkali merepotkan, menjadi sumber gesekan dan perseteruan.
www.kabarindonesia.com

Saya jadi teringat pada seorang mama Papua. Mama Yosepha Alomang, namanya. Seorang perempuan Amungme yang yatim piatu semasa masih bayi. Kami bertemu pertama kali pada pertengahan 1990 an. Di sebuah rumah, di Jalan Sunu, Makassar. Ia hidup dalam kondisi yang jauh dari normal. Penuh aroma kekerasan, pembunuhan dan penindasan, sejak perusahaan tambang itu mulai beroperasi, pada awal pemerintahan Jenderal Soeharto. Saya selalu tergoda untuk bertanya pada diri sendiri, bagaimana orang bisa kuat menghadapi hal-hal seperti ini. Bahkan, ia tengah berada dalam perjalanan yang berliku, ketika menolak dan melawan perusahaan itu. Mama Yosepha mula-mula mengorganisir sebuah koperasi untuk memasarkan buah dan sayuran, akan tetapi perusahaan tambang itu nyatanya tidak mendukung mereka, malahan mengimpor buah dan sayuran dari luar Papua. Awal 1990 an, ia menyalakan api di landasan pesawat terbang Timika selama tiga hari, memprotes Freeport McMoRan dan perlakuan buruk terhadap orang asli Papua.
"Itu bukan salju seperti dikatakan orang, itu panah putih," tutur Mama Yosepha pada saya, ketika mengawali percakapan. Ini seperti menggoncangkan ingatan. Kata "salju" itu, semula terekam dalam kepala kita sebagaimana buku bacaan di sekolah dasar. Bacaan mengenai salju abadi di Piramida Carstensz, atau Puncak Jaya, begitulah yang biasa disebut orang. Jan Carstenszoon, boleh jadi orang yang pertama menyebut "salju" (gletser, endapan salju yang membatu) itu, sewaktu maskapai dagang VOC mengirimnya berlayar dari Ambon untuk sebuah penjelajahan di pantai selatan Papua pada 1623. Apa yang diungkap Mama Yosepha adalah imajinasi kolektif yang diikat dalam kisah orang Amungme. Saya mulai mengerti mengapa orang bisa bertahan hidup dalam sejarah yang berdarah-darah. Maka, kisah seperti apa yang dapat membangun kemampuan luar biasa itu. Boleh jadi, kisah itu bernama: peradaban.
Orang Amungme, dalam bahasa Amungkal, menyebut tempat "bersalju" itu: Nemangkawi-Niggok. Mereka mensakralkannya sebagai salah satu tempat suci di antara puncak gunung lainnya. Wilayah memang tidak untuk dihuni, tidak untuk diusik. Di sanalah, para leluhur Amungme bersemayam. Dan, itulah kisah asal-muasal keberadaan orang Amungme di atas bumi. Bagi mereka, tanah adalah ibu. Kita tahu betul, berbeda dengan hewan mamalia, bayi yang keluar dari rahim ibu, tidak bisa segera berdiri tegak, tempurung kepala yang membungkus otak bayi itu masih lembek. Seorang ibu akan melindungi dan merawat hingga membesarkan bayi mereka. Kemampuan ini membutuhkan dukungan orang di sekeliling ibu. Hanya ikatan sosial yang kuat di antara mereka dapat mewujudkan dukungan itu. Tapi tanpa kisah, kohesi sosial hanyalah ilusi. Hal ini, saya pikir, dapat menjelaskan mengapa orang Amungme, hanya mengambil sedikit sumberdaya dari tanah mereka. Tidak berlebih, secukupnya saja. Selain karena kehidupan mereka sebagai pengumpul-pemburu. Berbeda dengan para petani di Jawa misalnya, yang dibebani target peningkatan produksi beras setelah dimulainya Revolusi Hijau pada awal 1970 an. Sejarah revolusi itu pun nyatanya tidak pernah sempurna. Banyak keluarga tani kehilangan tanah, dan insiden kemiskinan lainnya, atau menjadi urbanis tanpa bekal yang cukup.
Landskap di punggung Papua itu, mungkin saja tidak berubah, andaikata laporan geolog Jean-Jacques Dozy yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden itu, dilupakan orang dan dibiarkan saja berdebu. Dozy melaporkan temuan cebakan mineral yang teramat kaya, dalam sebuah perjalanan ekspedisi ke puncak Carstensz, pada 1936. Di kemudian hari, kita tahu, perusahaan tambang itu pun bisa hadir tepat saat negara tengah mereproduksi kleptokrasi. Sebagaimana orang ramai mengutip filsuf Friederich Nietzsche, kleoptokrasi ibarat monster yang paling dingin dari yang terdingin karena beroperasi mencuri harta rakyat. Menjelang fajar 1970, perusahaan tambang itu mulai leluasa melenyapkan kisah orang Amungme. Padahal, kisah adalah sumber makna bagi kehidupan manusia. Kini, tidak ada lagi kisah, yang terjadi adalah komunitas berantakan akibat keserakahan yang tak terkendali, alkohol dan prostitusi. Juga, kehancuran lingkungan bersamaan dengan lenyapnya tempat-tempat suci di punggung Papua. Apa yang tersisa, sumur-sumur tambang, sungai-sungai yang tercemar, hutan yang punah.
Kita kerap kali tidak berhati-hati, mengabaikan keberadaan kisah. Kalaupun boleh saya mengutip sebuah percakapan sejarahwan Noah Harari: tidak seperti serigala dan simpanse, manusia tidak bertengkar soal wilayah dan makanan, mereka berselisih mengenai kisah. Konflik bermula karena mereka tidak memiliki cerita yang sama, yang dapat dipercaya bersama. Tapi, bukankah tidak ada alasan untuk tidak optimis untuk mengakhirinya. Untuk mendengar suara masing-masing, melibatkan mereka secara bersama, agar tidak saling mengisolasi. Sekalipun, apa boleh buat, kita tidak benar-benar kembali seperti sediakala, sebagaimana memulihkan kisah tempat-tempat suci Amungme.

Paccerakkang, 29 Desember 2018



Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Panderman, Ekologi Politik

TIBA sore di Panderman, pekan lalu. Sebuah jalan menanjak, di kaki Gunung Panderman, di Desa Oro-oro Ombo, Batu, Jawa Timur, yang sesak dengan rumah inap ( homestay ) yang disewakan pada para pelancong. Kata seorang warga, terdapat lebih 250 homestay di Batu. Bisnis ini tumbuh menggeliat mulai 15 tahun lalu, sejak adanya pasar malam, BNS ( Batu Night Spectacular ). "Setiap rumah, sedikitnya ada tiga bilik kamar yang disewakan,"ujarnya sembari mengkalkulasi. Mungkin relatif agak berbeda dengan hotel, boleh jadi kalau dihitung-hitung lebih hemat, terasa seperti rumah sendiri, bisa menginap sekeluarga dalam satu kamar. Toh, kita mesti lebih jeli, tidak seperti kita bayangkan sebelumnya, tarif tiba-tiba melejit setara hotel, ketika para pelancong tumpah ruah di musim liburan panjang. " Homestay juga dikenakan iuran wajib paguyuban, tidak seberapa, untuk uang ronda keamanan dan dana sosial, seperti untuk para janda, kalau pajak dari pemerintah itu kan untuk tambal-tambal a...

Kampung Bajo

SEORANG perempuan mengetuk kaca pintu mobil. Di tepi jalan beraspal licin di Abeli. Tak begitu jauh dari jembatan warna kuning, jalan masuk menuju pelabuhan di Teluk Kendari. Dia menyergap saya dengan pertanyaan: "pak tadi barusan dari dalam kan", seraya menunjuk sebuah kampung. Dia tidak berhenti bicara, hampir tidak ada jeda. Seingat saya, dia berkata,"ini sudah tiga bulan, bagaimana janjinya". Saya sungguh tidak mengerti ujung-pangkal pertanyaan yang dilontarkannya. Saya baru paham, ketika dia bicara soal "bantuan rumah", yang katanya dia sudah didata oleh pemerintah setempat. Dia sedang menagih janji, rupanya. "Pemerintah itu hanya lewat-lewat saja di jalanan ini,"ujarnya saat menutup percakapan dengan raut muka kecewa.   Saya memang baru saja keluar dari dalam kampung yang dimaksud. Kampung Bajo.  Sebuah kampung, dengan perahu-perahu penangkap ikan yang berlabuh di depan deretan rumah. Sebagian adalah rumah kayu yang mengapung di atas la...

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New...