Skip to main content

Lenyapnya Kampung Kota

APA arti kampung kota? Pengertiannya agak elusif. Kampung kota memiliki memori kolektif. Sebagian besar menautkan pembentukan kampung kota di kota-kota besar Indonesia dengan fenomena urbanisasi, bahkan terhubung dengan kisah para pelarian dari konflik sosial di tempat lain. Kita mungkin dapat segera mengidentifikasi penanda atas ruang geografis dengan memakai spektrum etnisitas. Kampung Melayu, Kampung Maluku, Pecinan, beberapa diantaranya. Tentu saja, tidak seluruhnya. Kalau kita membaca sebuah buku karya profesor Mattulada, “Menyelusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah 1510-1700”, kita dapat mengetahui penamaan kampung-kampung yang memiliki kisah yang khas. Kampung Lariang Bangi, misalnya, sebutan tempat anak muda membawa lari (menculik) anak gadis pada malam hari. Atau, kisah tempat perjumpaan orang Mandar yang ahli membuat tali, lantas ditukar dengan ikan hasil tangkapan para pelaut dari Turatea, sehingga terbentuk kampung Paotere sebagai tempat berlabuh perahu dan pasar ikan pada 1920 di Kota Makassar. 
Ruang (spatial) bukanlah secarik kertas kosong. Dalam tradisi filsafat Cartesian, ruang dipahami secara kongrit, dirumuskan melalui ukuran, koordinat, garis geometris. Sementara filsuf Imannuel Kant  menyebut, ruang tidaklah obyektif, melainkan melalui pengalaman subyektif kita. Sekalipun indera penglihatan merespon, jika tidak terserap dalam pengalaman subyektif, maka ruang itu tidak eksis. Para birokrat perancang kota bermain dalam ruang abstrak. Ruang yang mengalami obyektifikasi dan mengosongkan berbagai perbedaan subyektif, penghayatan pengalaman, dan pemaknaan demi kepentingan dominasi atas dasar struktur ekonomi dan politik. Ruang di-abstraksi-kan lewat wacana dominan negara seperti “pembangunan” yang seringkali bias korporasi. Seperti pengetahuan atas perbedaan tipologi pemukiman yang biasa dicerna birokrat perencana perkotaan berdasar status kepemilikan tanah dan nilai ekonomi lokasi. Kalau boleh saya meminjam bahasa Henri Lefebvre, seorang sosiolog Perancis, ruang adalah produk sosial atau konstruksi sosial yang kompleks membentuk praktik dan representasi ruang dan pemaknaannya (ruang representasi). Ruang sosial menjadi alat berpikir dan bertindak, tidak sekedar sebagai produksi melainkan juga berarti kontrol dan dominasi kuasa.
Saya tergoda dengan sebuah tulisan yang memikat dari Ian Wilson, seorang pengajar dan peneliti dari Murdoch University, Australia. Ia menulis artikel di New Mandala, Jakarta: Inequality and Poverty of Elite Pluralisme, bertepatan saat orang ramai di Jakarta pergi ke tempat pemungutan suara, 19 April 2017. Beberapa hari kemudian, artikelnya ini  diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia pada media Tirto.id. Konteks tulisan Wilson ini berkait dengan kontestasi politik pemilihan gubernur Jakarta, yang dikesankan sangat genting oleh banyak orang dalam media sosial dan media massa. Beberapa argumen Wilson mendeskripsikan penjarahan atau pelenyapan ruang kampung kota. 
Bagi menengah-atas Jakarta, hasrat memperoleh keamanan, gaya hidup mewah, dan kenyamanan berarti perluasan ruang hidup dari orang-orang miskin. Mereka mengurung diri di dalam rumah-rumah mewah berpagar, bangunan-bangunan apartemen yang menjulang, pusat-pusat perbelanjaan, dan kendaraan pribadi. Kota yang tadinya terdiri dari kampung-kampung tempat si kaya dan si miskin berbaur, kini nyaris seluruhnya terbagi-bagi berdasarkan kelas dan etnis. Di Jakarta Utara, misalnya, kampung-kampung yang tersisa dihimpit apartemen-apartemen mewah dan kompleks berpagar tinggi. Perubahan sosio-spasial itu tercermin secara politis dalam tuntutan kelas menengah-atas terhadap kota yang “rapi” dan bersih dari kemacetan lalu-lintas, pemukiman padat penduduk, dan banjir, tetapi tanpa kerelaan berkorban untuk mencapainya. Maka, mereka menyalahkan orang miskin.
Tulisan Wilson ini dapat menjadi deskripsi yang baik guna menjelaskan watak pembangunan neo-liberal. Kalaupun boleh saya meminjam bahasa antropolog David Harvey sebagai: imperialisme kapitalis, yang lahir dari relasi dialektis antara logika kuasa teritorial dan logika kuasa kapitalis. Dalam praktik, keduanya kerap kali bertabrakan hingga ke titik antagonisme. Itu sebabnya, mengapa mesti dilihat secara kontradiktif, dengan kata lain, dialektika ketimbang sesuatu yang fungsional. Seperti kata Harvey, ruang diciptakan untuk akumulasi modal. Dan, akumulasi modal bergerak seperti pergerakan molekul (proses molekuler) dari ruang satu berpindah ke ruang lainnya. Landskap ruang akan berubah, saat modal itu berpindah mencari ruang keruk baru. Logika teritorial beroperasi guna melanggengkan akumulasi modal, karena dipahami bahwa aktivitas kapitalis hanya menghasilkan pembangunan geografis  yang timpang. Agar akumulasi modal tetap terjaga di sebuah ruang kota, muncullah logika diferensiasi dan spesialisasi ruang (spatial), seperti kawasan pengolahan smelter hingga kawasan wisata kuliner.
Kita kembali ke awal: bagaimana ruang kampung kota terbentuk? Wahyudin Hasan, seorang kawan muda, berbaik hati mengirimkan salinan skripsinya pada saya. Ia menginvestigasi sejarah kampung kota di kota kolonial Makassar. Ia mengawalinya dengan sebuah petunjuk: peta yang dibuat Rheimer, seorang anggota zeni militer kolonial Belanda. Peta Fort Rotterdam dan sekitarnya pada abad 17. Peta ini meletakkan benteng Fort Rotterdam sebagai titik pusat, dan membagi bagian utara (Vlaardingen), timur (Fort Vredenburg), dan selatan (Kampong Baru). Hal ini dapat dikaitkan dengan abstraksi Cornelis Speelman, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, setelah Perang Makassar berakhir, dalam mengontrol kuasa teritorial dan kapital.
Garis-garis batas terlihat jelas dalam peta, yang mempengaruhi gerak spasial. Pusat kota kolonial berada dalam struktur konsentrik, di Fort Rotterdam yang dikelilingi tembok. Speelman membentuk "Negorij Vlaardingen” yang menjadi representasi ruang perdagangan. Karakter ruang Vlaardingen dibatasi garis kanal atau parit, boleh jadi ini semacam enclave yang melintas dari Vredenburg ke arah barat di selatan Fort Rotterdam hingga ke muara laut. Parit itu juga terlihat memisahkan antara tembok benteng selatan Fort Rotterdam dengan Kampong Baru. Selain itu, terdapat pola grid Vlaardingen, garis-garis jalan sejajar dengan pantai membujur dari utara ke selatan dan garis melintang ke arah timur menuju Maros, sebagai daerah penghasil beras. Di kemudian hari, dibangun dermaga pelabuhan di pesisir Vlaardingen, dengan deretan gudang, toko, kantor dan melekat diantara pemukiman di jalan-jalan yang sejajar itu. Pola grid ini juga menjadi garis batas sebelah utara  Vlaardingen dengan Kampong Melayu.
Entitas sosial yang berada di luar enclave Vlaardingen itu juga menarik perhatian saya: pemukiman kampung dengan teritorial berdasar kekuatan norma etnis (spatial boundaries). Dalam peta Rheimer, tercatat Kampong Melayu di utara Vlaardingen, kemudian hari tumbuh Kampung Cina, Kampung Wajo, dengan batas wilayah yang saling berdekatan. Dari catatan sejarah yang saya baca, saya menduga adanya sejumlah kemiripan psikologis para imigran yang berbeda etnis, sama-sama memiliki riwayat konflik sosial atau politik-ekonomi sebelum migrasi. Saya sendiri juga tergoda untuk bertanya-tanya, sejauh apa patronase yang terkunci dalam etnisitas tersebut beroperasi meneguhkan kuasa kapital? Dalam perkembangannya, Vlaardingen mengalami surplus, yang bisa dilacak dengan melihat sejarah dan demografi. Vlaardingen menjadi magnet urbanisasi. Lantas, terjadi perluasan ruang Kampong Baru ke selatan ke arah Takalar dan ke timur dari Fort Vredenburg ke arah Gowa.  Perluasan ruang kota ini kemudian lahir kampung kota lainnya, seperti Kampung Maloku. 
Skripsi kawan saya juga menjelaskan, bagaimana logika teritorial itu beroperasi, melalui perluasan ruang kota. Boleh jadi, logika teritorial bekerja jalin-menjalin dengan proses molekuler akumulasi modal. Seperti, melenyapkan otonomi kampung kota dengan mematikan peran matowa (kepala kampung). Kawan saya memang membatasi investigasi kampung kota dari masa kolonial Hindia Belanda sampai 1979. Kita tahu pada tahun itu, Orde Baru menciptakan struktur teritorial hingga tingkatan paling bawah dengan pembentukan kelurahan sebagai landskap politik, guna melanggengkan rejim. Kawan saya ini menutup skripsinya dengan kalimat retorik, sedikit sarkasme: menciptakan kota dan menolak kampung, berakhirnya kepemimpinan matowa

Paccerakkang, 8 Mei 2017

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Panderman, Ekologi Politik

TIBA sore di Panderman, pekan lalu. Sebuah jalan menanjak, di kaki Gunung Panderman, di Desa Oro-oro Ombo, Batu, Jawa Timur, yang sesak dengan rumah inap ( homestay ) yang disewakan pada para pelancong. Kata seorang warga, terdapat lebih 250 homestay di Batu. Bisnis ini tumbuh menggeliat mulai 15 tahun lalu, sejak adanya pasar malam, BNS ( Batu Night Spectacular ). "Setiap rumah, sedikitnya ada tiga bilik kamar yang disewakan,"ujarnya sembari mengkalkulasi. Mungkin relatif agak berbeda dengan hotel, boleh jadi kalau dihitung-hitung lebih hemat, terasa seperti rumah sendiri, bisa menginap sekeluarga dalam satu kamar. Toh, kita mesti lebih jeli, tidak seperti kita bayangkan sebelumnya, tarif tiba-tiba melejit setara hotel, ketika para pelancong tumpah ruah di musim liburan panjang. " Homestay juga dikenakan iuran wajib paguyuban, tidak seberapa, untuk uang ronda keamanan dan dana sosial, seperti untuk para janda, kalau pajak dari pemerintah itu kan untuk tambal-tambal a...

Kampung Bajo

SEORANG perempuan mengetuk kaca pintu mobil. Di tepi jalan beraspal licin di Abeli. Tak begitu jauh dari jembatan warna kuning, jalan masuk menuju pelabuhan di Teluk Kendari. Dia menyergap saya dengan pertanyaan: "pak tadi barusan dari dalam kan", seraya menunjuk sebuah kampung. Dia tidak berhenti bicara, hampir tidak ada jeda. Seingat saya, dia berkata,"ini sudah tiga bulan, bagaimana janjinya". Saya sungguh tidak mengerti ujung-pangkal pertanyaan yang dilontarkannya. Saya baru paham, ketika dia bicara soal "bantuan rumah", yang katanya dia sudah didata oleh pemerintah setempat. Dia sedang menagih janji, rupanya. "Pemerintah itu hanya lewat-lewat saja di jalanan ini,"ujarnya saat menutup percakapan dengan raut muka kecewa.   Saya memang baru saja keluar dari dalam kampung yang dimaksud. Kampung Bajo.  Sebuah kampung, dengan perahu-perahu penangkap ikan yang berlabuh di depan deretan rumah. Sebagian adalah rumah kayu yang mengapung di atas la...

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New...