Skip to main content

Kerumunan

SEBUAH kedai kopi, di sebuah pusat perbelanjaan, di jantung Jakarta. Di tengah kerumunan ramai para pecinta kopi pada petang hari. Kursi di samping saya tiba-tiba tersenggol seseorang yang bergegas. Percakapan saya dengan seorang kawan terhenti sejenak. Seseorang yang memakai jas warna kelabu, kopiah hitam, dengan sepatu mengkilap. I’m sorry,”katanya pendek seraya memperbaiki posisi kursi. Mata saya, entah mengapa, terus mengikutinya. Dia bergerak menuju sebuah meja di sudut kedai. Di sana, menunggu seorang perempuan berkulit bersih memakai baju kebaya merah, berkerudung putih. Mereka lalu duduk berdekatan, saling berbisik. Waiters kedai kopi merapikan meja mereka. Tepat di depan mereka, seseorang memakai jas hitam terbuka, kopiah hitam, membuka sebuah map yang berisi kertas-kertas. Syahrir Rasyid, kawan saya minum kopi, berujar,"mereka lagi akad nikah". Menikah di tengah kerumunan di kedai kopi, mungkin peristiwa yang tak lazim bagi saya, di luar kebiasaan yang ada.
photo credit: london via photopin (license)

Siang hari, di pertigaan jalan Suryo dan Monginsidi, menuju Tendean. Kendaraan panjang mengular, kemacetan yang tidak seperti biasanya. Maksud saya, hari-hari sebelumnya memang macet, karena ada pengerjaan jalan layang. Saya hanya bisa menduga-duga, mungkin efek dari kerumunan demo para sopir taksi siang itu. Rasanya lebih cepat berjalan kaki menuju Kuningan. Malamnya saya ketemu Akhiem, seorang kawan, yang  senantiasa mengingatkan saya pada sosok Bob Marley, penyanyi cum gitaris Reggae asal Jamaika. Dia bekerja di salah satu stasiun televisi swasta, menggambarkan kerepotan siang itu sebagai: "urusan para mafia taksi". Ketika berada di lapangan peliputan pada saat itu, nampaknya dia lebih banyak memberikan nasehat pada reporter muda. "Mereka harusnya lebih banyak pakai logika, daripada mengandalkan pesan telepon seluler dari kantor, yang disuruh ke sana-kemari. Kalau dapat gambar, berita, yang bagus itu, ya karena faktor hoki saja. Mereka harus percaya itu. Sopir taksi dan ojek itu sama-sama takut sama polisi. Tadi itu, hanya lima Patmor (patroli motor polisi) saja lewat, kerumunan demo itu langsung bubar,"cerita kawan saya ini.
Setiap hari, kita menemukan kerumunan, di jalanan, di pusat perbelanjaan, atau para pedemo di depan kantor parlemen. Di sebuah pusat perbelanjaan di Blok M, misalnya, kita tak sekedar menemukan kerumunan di food court, atau tempat fashion, tapi kita juga menemukan kerumunan di counter pengumpulan KTP untuk calon independen Pilkada. Saya tak hendak mendetailkan apa yang dipikirkan Gustave Le Bon, seorang pemikir psikologi-sosial Perancis, yang mempercakapkan pertama kali mengenai fenomena "kerumunan" pada abad 19. Kerumunan, baginya, bersifat patologi. Semakin tinggi skala anonimitas,  semakin tinggi kemungkinan tindakan ekstrim. Kemudian, menular dan menyebar dalam perilaku kerumunan. Sugesti menjadi capaian tertinggi, dimana terbangun pikiran kolektif atau ketidaksadaran kolektif  
Le Bon dalam bukunya "The Crowd" yang ditulis 1896, nampak sedang gundah terhadap situasi kritis dalam proses transisi: penghancuran keyakinan agama, politik, sosial dalam peradaban Barat dan kondisi baru yang menghasilkan sains modern dan industrialisasi. Kerumunan bagi Le Bon, dapat menggoyahkan atau merampas pengetahuan, keyakinan dan tanggung jawab pribadi individu. Katanya, individu hanyalah sebutir pasir ditengah butiran-butiran pasir lainnya, yang demikian mudah bisa dihempas angin. Boleh jadi, kegundahan atau kecurigaan ini berada dalam diri sosiolog David Riesman. Pada tahun 1950-an, Riesman bersama dua kawannya, menulis sebuah buku, dimana judul bukunya ditulis oleh penerbitnya, bukan diambil dari gagasan Riesman,"The Lonely Crowd" (Kerumunan yang Kesepian). Riesman membincangkan kelas menengah Amerika paska revolusi industri. Kesadaran, baik tradisi maupun batiniah, yang diarahkan, untuk menyatakan sebagai karakter kelas menengah. Mereka mengikuti mimpi yang diarahkan media massa, atau inspirasi dari industri kebajikan. Bukankah, kesepian menjadi ketakutan bagi manusia moderen di tengah keramaian. Jangan-jangan, media sosial di dunia maya adalah wahana untuk melepas ketakutan itu. Bagi saya, yang menarik untuk diamati, adalah perubahan-perubahan yang terjadi setiap kali saya berada dalam kerumunan. Hal-hal yang kadang kala luput dari pengamatan kita sehari-hari.

Tamalanrea, 30 Maret 2016


Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Panderman, Ekologi Politik

TIBA sore di Panderman, pekan lalu. Sebuah jalan menanjak, di kaki Gunung Panderman, di Desa Oro-oro Ombo, Batu, Jawa Timur, yang sesak dengan rumah inap ( homestay ) yang disewakan pada para pelancong. Kata seorang warga, terdapat lebih 250 homestay di Batu. Bisnis ini tumbuh menggeliat mulai 15 tahun lalu, sejak adanya pasar malam, BNS ( Batu Night Spectacular ). "Setiap rumah, sedikitnya ada tiga bilik kamar yang disewakan,"ujarnya sembari mengkalkulasi. Mungkin relatif agak berbeda dengan hotel, boleh jadi kalau dihitung-hitung lebih hemat, terasa seperti rumah sendiri, bisa menginap sekeluarga dalam satu kamar. Toh, kita mesti lebih jeli, tidak seperti kita bayangkan sebelumnya, tarif tiba-tiba melejit setara hotel, ketika para pelancong tumpah ruah di musim liburan panjang. " Homestay juga dikenakan iuran wajib paguyuban, tidak seberapa, untuk uang ronda keamanan dan dana sosial, seperti untuk para janda, kalau pajak dari pemerintah itu kan untuk tambal-tambal a...

Kampung Bajo

SEORANG perempuan mengetuk kaca pintu mobil. Di tepi jalan beraspal licin di Abeli. Tak begitu jauh dari jembatan warna kuning, jalan masuk menuju pelabuhan di Teluk Kendari. Dia menyergap saya dengan pertanyaan: "pak tadi barusan dari dalam kan", seraya menunjuk sebuah kampung. Dia tidak berhenti bicara, hampir tidak ada jeda. Seingat saya, dia berkata,"ini sudah tiga bulan, bagaimana janjinya". Saya sungguh tidak mengerti ujung-pangkal pertanyaan yang dilontarkannya. Saya baru paham, ketika dia bicara soal "bantuan rumah", yang katanya dia sudah didata oleh pemerintah setempat. Dia sedang menagih janji, rupanya. "Pemerintah itu hanya lewat-lewat saja di jalanan ini,"ujarnya saat menutup percakapan dengan raut muka kecewa.   Saya memang baru saja keluar dari dalam kampung yang dimaksud. Kampung Bajo.  Sebuah kampung, dengan perahu-perahu penangkap ikan yang berlabuh di depan deretan rumah. Sebagian adalah rumah kayu yang mengapung di atas la...

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New...