Skip to main content

Kota Agung

"Tidak lain dari benih baru, ya Gusti, dari seberang dan seberangnya seberang pulau Jawa ini. Benih beras besar ya Gusti. Sepuluh kali lebih besar dari beras biasa. Bila disantap sewaktu muda, ya Gusti, hanya ditunu di atas bara, gemeretak bunyinya tapi rasanya takkan kalah dengan emping ketan bercampur kelapa dan gula ..." (Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer, halaman 77).


NOVEL sejarah, Arus Balik, ditulis Pram selama penahanan di Pulau Buru, 1969-1979. Sekitar 40 tahun, ketika Pram menulisnya, benih baru yang dimaksud (jagung) telah dimodifikasi secara genetik, diperkenalkan, ditanam bahkan dikomersialisasikan di negeri ini. Bedanya, benih itu tidak punya bahasa dan mitologi, hanya berjuluk susunan angka. Apabila benih baru dalam Arus Balik, berasal dari kulit merah, seperti warna batu bata, di Amerika, maka benih baru saat ini berasal dari korporasi raksasa di negeri yang sama. Sampai pada akhirnya, para aktivis menghadap presiden di istana, untuk menghentikan peredaran benih transgenik, lantaran menghancurkan kehidupan dan kedaulatan petani. Adalah Wiranggaleng, tokoh protagonis Arus Balik, seorang petani, seorang anak desa, yang mengemban cita-cita menahan arus balik. Mungkin patah di tengah jalan, tetapi dia telah mencoba. Arus Balik menuturkan akan semula kejayaan maritim Nusantara yang kebesarannya berpendaran damai sampai ke Utara. Namun, arus raksasa menggelombang dari utara menghempas Nusantara mundur ke selatan, mundur ke pedalaman, bukan hanya segi geografis, lebih mundur lagi ke pedalaman nurani mengganti nalar rasional, hingga sampai di pedalaman yang tidak dapat tersentuh dimana bisa dibangun kekuasaan paling perkasa dan bisa berbuat segala-galanya, demikian catatan Joesoef Isak mengantar Arus Balik.
Novel Arus Balik, yang saya beli dari penjual buku keliling di Jalan Sabang, Jakarta, masih tersimpan di tas ransel saya, ketika kembali ke kampung halaman, Mojokerto, akhir pekan ketiga desember lalu. Saya menemani anak-anak mengisi liburan sekolah ke tanah kelahiran saya. Saya memang tidak ke Tuban, sebagaimana dituturkan novel tersebut, dimana epos kepahlawanan Wiranggaleng dimulai di kota bandar itu, di pesisir laut Jawa, di senjakala kejayaan Majapahit. Akan tetapi, bersama anak-anak ke sebuah museum di kampung Trowulan, di tengah kerimbunan pohon maja. Anak-anak saya kemudian menyusup masuk ke dalam sebuah rombongan yang memiliki pemandu, melancong ke sejarah masa lalu, sebagai rujukan perubahan guna mendapatkan bayangan masa depan yang lebih cerah. Bagaimana pun juga masa depan itu berada di belakang, kita hanya dapat membaca, menginterpretasikan, mengkonstruksi hampiran masa lalu yang memang berada di depan kita. Sekilas saya mendengar dari pemandu, yang menemani anak-anak, menceritakan masa lalu kampung ini, repihan sebuah ibukota kuno, sebuah metropolitan Majapahit. Majalah National Geographic menyebutnya sebagai: Kota Agung.
Arus Balik, seperti sebuah rujukan mengenai arus atau gelombang perubahan, yang boleh jadi meluluhlatakan relung kehidupan yang semula toleran di tengah kemajemukan dan berjalan secara alami. Laporan National Geographic (Nat Geo) Indonesia, tiga tahun lalu, berdasar kerja-kerja arkeologis yang luar biasa, mengenai repihan Kerajaan Majapahit, bagi saya, mengkonfirmasi novel sejarah yang ditulis Pram. Laporan tersebut, mungkin saja agak "subversif", yang mungkin tidak kita bayangkan sebelumnya mengenai Nusantara, bahwa tanah kekuasaan Majapahit hanya sebagian Jawa saja. Namun, dalam interpretasi saya, begitulah sejatinya negara maritim Nusantara,  sebuah perikatan tanah-tanah merdeka yang berjejaring,  atau meminjam istilah arkeolog Hasan Djafar dalam Nat Geo sebagai "koalisi mitra satata (sahabat, memiliki kedudukan yang sama)". Maka pembacaan saya, negara maritim, bukan negara yang melakukan pemusatan (konsentrasi) ekonomi atau sumberdaya, tidak oligarki, apalagi bersifat teritorial. Nusantara, mestinya dibaca sebagai "nusa antara", atau "pulau-pulau" yang "lain". Pada senjakala Majapahit, sebagaimana penuturan novel yang ditulis Pram, sebuah arus dari utara membalikkan tatanan, datangnya konsentrasi ekonomi-politik, atau keadaan yang yang tidak setara (asimetri), bahkan mistifikasi dunia sosial.
Kembali menengok kampung halaman, seperti perjalanan nostalgia, kembali ke masa lalu, pada masa kanak-kanak. Namun saya tetap saja kehilangan jejak-jejak: jalur rel-rel kereta api di beberapa tempat, lahan-lahan tebu, lori, sawah yang tempat berbiaknya lele dan belut. Apabila kita menelisik melalui peta google earth, kampung halaman saya itu sedang berubah menjadi kawasan industri, termasuk tempat korporasi benih transgenik yang saya ceritakan di awal. Kawan karib saya sejak masa kanak-kanak, dalam sebuah percakapan, menuturkan kegundahannya soal merebaknya prostitusi dan menggeliatnya tempat pembuangan sampah beracun di kampung halaman. Mungkin saja, walikota Surabaya, sudah benarnya membersihkan prostitusi dan lokalisasi pelacuran dari kotanya, akan tetapi dia memundurkan para pelacur ke pedalaman, di kota-kota terdekat dari Surabaya. Kita juga tahu, teknologi saat ini, lebih cepat membuat sampah, sampah yang sama sekali tidak dapat didaur-ulang, tidak ekologis.
Di museum, saya tertegun melihat anak-anak memperhatikan seksama penjelasan soal tata ruang tidak sekedar berkaitan dengan letak pemukiman atau tempat peribadatan, jalanan, jaringan kanal, melainkan juga zona peralihan, atau pola orientasi ruang kota, untuk menunjukan metropolitan kuno Majapahit bukan dongeng tetapi terdapat bukti arkeologis, serta mengunjungi situs pemukiman padat. Salah satu anak saya, merajuk saya agar difoto di rekonstruksi rumah Majapahit dengan skala sesungguhnya. Bangunan hunian yang ekologis. Bangunan berlantai batu bata, ditopang kayu, beratap genting, dan di halaman rumah terdapat batu krakal bulat dibingkai dengan batu bata, agar rumah terhindar dari genangan air. Pemandu rombongan wisata menjelaskan teknologi batu bata pada masa itu yang dapat menyerap air dan menangkap debu-debu yang beterbangan. Bukan sekedar penataan bangunan, melainkan penataan ruang hidup.
Saya seringkali tersenyum membaca dialog jenaka antara Osrifoel Oesman, arsitektur yang menekuni dunia arkeologi, yang melakukan rekonstruksi bangunan hunian Majapahit, dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam berita Nat Geo Indonesia "Di Balik Layar Rekonstruksi Rumah Majapahit", 22 Agustus 2013, sebagaimana yang saya kutip berikut ini:

Pada saat pembukaan akhirnya Presiden masuk ke dalam rumah hasil rekonstruksi tersebut. Dia melangkahkan kaki dengan hati-hati di tangga dan menunduk ketika memasuki rumah rekonstruksi itu. Osrifoel turut menemaninya. Setelah mengamati keadaan rumah, Presiden pun bertanya.  
“Kalau begitu konsep Rumah Sangat Sederhana [RSS] kita masih terlalu besar ya. Itu luasnya berapa?” 
“Sekitar dua belas meter persegi, Pak” “
Kalau begitu bisa kita kecilin ya RSS itu?”—luas RSS adalah duapuluh satu meter persegi. “Silakan Pak,” ujar Osrifoel sambil tersenyum hormat. 
Demikianlah Osrifoel mengisahkan kepada kami tentang percakapan jenaka antara dirinya dan Presiden saat pembukaan pameran. 
Rumah-rumah dalam tradisi tropis seperti Indonesia biasanya berukuran kecil karena menghadapi iklim yang lebih ramah dibandingkan rumah-rumah di iklim empat musim. “Arsitektur kita itu arsitektur halaman,” kata Osrifoel kepada kami. “Fungsi rumah itu hanya untuk tidur.”

Tamalanrea, 11 Januari 2016



Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Panderman, Ekologi Politik

TIBA sore di Panderman, pekan lalu. Sebuah jalan menanjak, di kaki Gunung Panderman, di Desa Oro-oro Ombo, Batu, Jawa Timur, yang sesak dengan rumah inap ( homestay ) yang disewakan pada para pelancong. Kata seorang warga, terdapat lebih 250 homestay di Batu. Bisnis ini tumbuh menggeliat mulai 15 tahun lalu, sejak adanya pasar malam, BNS ( Batu Night Spectacular ). "Setiap rumah, sedikitnya ada tiga bilik kamar yang disewakan,"ujarnya sembari mengkalkulasi. Mungkin relatif agak berbeda dengan hotel, boleh jadi kalau dihitung-hitung lebih hemat, terasa seperti rumah sendiri, bisa menginap sekeluarga dalam satu kamar. Toh, kita mesti lebih jeli, tidak seperti kita bayangkan sebelumnya, tarif tiba-tiba melejit setara hotel, ketika para pelancong tumpah ruah di musim liburan panjang. " Homestay juga dikenakan iuran wajib paguyuban, tidak seberapa, untuk uang ronda keamanan dan dana sosial, seperti untuk para janda, kalau pajak dari pemerintah itu kan untuk tambal-tambal a...

Kampung Bajo

SEORANG perempuan mengetuk kaca pintu mobil. Di tepi jalan beraspal licin di Abeli. Tak begitu jauh dari jembatan warna kuning, jalan masuk menuju pelabuhan di Teluk Kendari. Dia menyergap saya dengan pertanyaan: "pak tadi barusan dari dalam kan", seraya menunjuk sebuah kampung. Dia tidak berhenti bicara, hampir tidak ada jeda. Seingat saya, dia berkata,"ini sudah tiga bulan, bagaimana janjinya". Saya sungguh tidak mengerti ujung-pangkal pertanyaan yang dilontarkannya. Saya baru paham, ketika dia bicara soal "bantuan rumah", yang katanya dia sudah didata oleh pemerintah setempat. Dia sedang menagih janji, rupanya. "Pemerintah itu hanya lewat-lewat saja di jalanan ini,"ujarnya saat menutup percakapan dengan raut muka kecewa.   Saya memang baru saja keluar dari dalam kampung yang dimaksud. Kampung Bajo.  Sebuah kampung, dengan perahu-perahu penangkap ikan yang berlabuh di depan deretan rumah. Sebagian adalah rumah kayu yang mengapung di atas la...

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New...