Skip to main content

Tuna

BADAN tuna rica-rica. Itu yang saya pilih dari menu makanan yang disodorkan, ketika kami mengisi perut di sebuah resto di tepi teluk Ambon dalam. Sebuah resto dengan jendela kaca dan teras terbuka menghadap ke laut, membuat mata saya leluasa melihat sejumlah kapal ikan yang membuang sauh di tengah teluk. Kata seorang kawan, kapal yang tinggal tunggu waktu saja: diledakan dan ditenggelamkan. Kapal-kapal asing itu, jadi barang bukti pencurian ikan di perairan Indonesia. Sementara di seberang jalan sana, tak jauh dari resto ini, berdiri sebuah pemukiman mewah memakai brand Ciputra. Beberapa menit ke arah utara terdapat sebuah plaza. Sepertinya hendak menyatakan keyakinan: roda ekonomi sedang bergerak, bung. Sejumlah kawan yang saya tanya, juga menguatkan keyakinan itu, kota ini cepat memulihkan luka setelah rentetan insiden amuk massa. Lebih cepat dari dugaan banyak orang. Namun, di sejumlah negeri, masih terjaga pos-pos satuan tugas militer. Dari beberapa bacaan, kerusuhan yang terjadi dianggap mengganggu penghidupan orang yang bertumpu pada sumberdaya perikanan laut.
Tiga potong daging tuna masak tiba di atas meja makan. Saya jadi teringat pada sebuah perjalanan ke Bau-Bau, Saumlaki, dan Dobo, pada 2007. Kala itu, saya suka sekali membuka-buka peta migrasi ikan tuna (thunnini) dari sebuah majalah geografi. Deskripsi ikan pelagis ini, memukau perhatian saya, sebagai perenang yang handal, memiliki pergerakan aktif dalam pertemuan arus di antara dua samudera, selain memiliki kandungan gizi tinggi bagi tubuh kita. Maka, negeri ini merupakan jalur penting migrasi tuna, terutama di perairan timur, dari selatan Jawa, ke laut Flores dan Banda, juga ke selat Makassar. Tuna merupakan komoditi penting di pasar ikan dan kerap kali memantik kelakuan overfishing. Kata tetangga saya, yang bekerja mem-fillet ikan laut, tuna seperti kopi Toraja, dipilah-pilah (grade), mana yang untuk ekspor, dan yang tidak masuk kategori ekspor dikirim ke pabrik pengalengan ikan di Surabaya atau resto pizza di Makassar. 
Kata tuna, seperti juga memantik nostalgia. Di Bau-Bau, seorang kawan memacu sepeda motornya di jalanan menanjak, untuk sampai di ketinggian, dan menunjukan pada saya, armada kapal penangkap tuna di laut. Seorang kawan di Ambon memiliki cerita lengkap para pemancing tuna, ketika mengajak saya melihat, nelayan yang sedang mengumpulkan ikan teri, sebagai umpan hidup guna menarik tuna ke atas permukaan. Kawan saya ini menjelaskan posisi para pemancing. Kata kawan,"di haluan itu statusnya spesialis, dia bukan amatir, cara dia menghentakan pancing sehingga tangkapan tidak tergelincir keluar kapal, karena itu akan memancing hiu membuyarkan gerombolan tuna". Kawan saya ini memang keluarga pemancing tuna. Bapak pendiri republik ini, Soekarno, memberi kakeknya sebuah kapal kayu penangkap tuna. Dalam perjalanan siang yang terik menuju Latuhalat, tempat mercusuar memandu kapal masuk ke Kota Ambon, kawan saya ini tiba-tiba bicara: abang pernah dengar, bulan di siang hari. "Kalau kita mancing siang hari, su ada bulan, kita tidak dapat ikan," ujarnya. 
Jalur migrasi tuna menyiratkan akan sumberdaya penghidupan yang penting. Namun, kekayaan sumberdaya bisa saja menjadi paradoksal, ketika negeri ini berada di tubir jurang kemiskinan, prasangka buruk dimana-mana, dan terjadi pelestarian kekerasan. Film tua, Blood Diamond, karya sutradara Edward Zwick, memberikan pembelajaran berharga. Film ini menegaskan kembali, adanya pertalian eskalasi kekerasan dengan eskalasi kapital, terutama industri ekstraktif yang bersifat masif. Bagaimana pun juga, keniscayaan logika kapital yang berada dalam ketidak-samaan, dilanggengkan, akan mengkonstruksikan hirarki keistimewaan (privilege) paska feodalisme, yang mematahkan relasi keadilan yang fundamental.

Paccerakkang, 13 Juni 2015


Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Panderman, Ekologi Politik

TIBA sore di Panderman, pekan lalu. Sebuah jalan menanjak, di kaki Gunung Panderman, di Desa Oro-oro Ombo, Batu, Jawa Timur, yang sesak dengan rumah inap ( homestay ) yang disewakan pada para pelancong. Kata seorang warga, terdapat lebih 250 homestay di Batu. Bisnis ini tumbuh menggeliat mulai 15 tahun lalu, sejak adanya pasar malam, BNS ( Batu Night Spectacular ). "Setiap rumah, sedikitnya ada tiga bilik kamar yang disewakan,"ujarnya sembari mengkalkulasi. Mungkin relatif agak berbeda dengan hotel, boleh jadi kalau dihitung-hitung lebih hemat, terasa seperti rumah sendiri, bisa menginap sekeluarga dalam satu kamar. Toh, kita mesti lebih jeli, tidak seperti kita bayangkan sebelumnya, tarif tiba-tiba melejit setara hotel, ketika para pelancong tumpah ruah di musim liburan panjang. " Homestay juga dikenakan iuran wajib paguyuban, tidak seberapa, untuk uang ronda keamanan dan dana sosial, seperti untuk para janda, kalau pajak dari pemerintah itu kan untuk tambal-tambal a...

Kampung Bajo

SEORANG perempuan mengetuk kaca pintu mobil. Di tepi jalan beraspal licin di Abeli. Tak begitu jauh dari jembatan warna kuning, jalan masuk menuju pelabuhan di Teluk Kendari. Dia menyergap saya dengan pertanyaan: "pak tadi barusan dari dalam kan", seraya menunjuk sebuah kampung. Dia tidak berhenti bicara, hampir tidak ada jeda. Seingat saya, dia berkata,"ini sudah tiga bulan, bagaimana janjinya". Saya sungguh tidak mengerti ujung-pangkal pertanyaan yang dilontarkannya. Saya baru paham, ketika dia bicara soal "bantuan rumah", yang katanya dia sudah didata oleh pemerintah setempat. Dia sedang menagih janji, rupanya. "Pemerintah itu hanya lewat-lewat saja di jalanan ini,"ujarnya saat menutup percakapan dengan raut muka kecewa.   Saya memang baru saja keluar dari dalam kampung yang dimaksud. Kampung Bajo.  Sebuah kampung, dengan perahu-perahu penangkap ikan yang berlabuh di depan deretan rumah. Sebagian adalah rumah kayu yang mengapung di atas la...

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New...