Skip to main content

Kampung Bajo

SEORANG perempuan mengetuk kaca pintu mobil. Di tepi jalan beraspal licin di Abeli. Tak begitu jauh dari jembatan warna kuning, jalan masuk menuju pelabuhan di Teluk Kendari. Dia menyergap saya dengan pertanyaan: "pak tadi barusan dari dalam kan", seraya menunjuk sebuah kampung. Dia tidak berhenti bicara, hampir tidak ada jeda. Seingat saya, dia berkata,"ini sudah tiga bulan, bagaimana janjinya". Saya sungguh tidak mengerti ujung-pangkal pertanyaan yang dilontarkannya. Saya baru paham, ketika dia bicara soal "bantuan rumah", yang katanya dia sudah didata oleh pemerintah setempat. Dia sedang menagih janji, rupanya. "Pemerintah itu hanya lewat-lewat saja di jalanan ini,"ujarnya saat menutup percakapan dengan raut muka kecewa.  
Saya memang baru saja keluar dari dalam kampung yang dimaksud. Kampung Bajo. Sebuah kampung, dengan perahu-perahu penangkap ikan yang berlabuh di depan deretan rumah. Sebagian adalah rumah kayu yang mengapung di atas laut. Perahu nelayan bercat warna-warni, sementara di lambungnya, penuh berbagai slogan iklan seperti yang kita lihat di televisi. Saya agak tertegun ketika masuk, menyelusuri kampung ini, sebagian besar rumah tanpa perabot meja-kursi, bahkan lemari. Seperti apa yang saya bayangkan adalah kotak-kotak kosong yang bersekat-sekat. Seorang ibu separuh baya tiba-tiba menawari saya, ikan yang diawetkan dalam kotak gabus, mengusik amatan saya terhadap rumah mereka. Sesaat dua kanak-kanak, laki-laki dan perempuan, berbicara keras di atas kotak sampan kecil, mereka menuai, memulung, sampah botol plastik yang hanyut di cekungan teluk. 
Kata "Bajo" masih terasa magis bagi saya. Kata yang mengingatkan kembali, sekitar 20-an tahun silam, terhadap seorang kawan, seorang warga Jepang. Saya menemaninya di Bone, untuk menjawab rasa penasaran: mengapa Negara mendaratkan para pengembara laut, warga dunia tanpa batas-batas negara, mereka lantas diberi KTP dan disuruh tinggal di darat. Hari ini, saya kembali ke kampung Bajo, tapi di tempat yang lain.
Sekitar satu tahun lalu, kampung ini dibicarakan di koran-koran. Ketika itu, seorang bayi terindikasi gizi buruk. Rasa dramatik yang dibangun kala itu, adalah kampung nelayan, yang setiap hari berkaitan dengan ikan, dan sebuah kota yang sedang mempersiapkan diri menjadi kota layak anak. Kasus semacam ini sejatinya bukan satu-dua, bukan pula pada satu-dua tempat. Faktornya pun bisa bermacam-macam. Boleh jadi, karena relasi-relasi yang semula atas kemurahan hati atau kebajikan yang berubah dalam satu masa menjadi atas dasar laba. Relasi ini menjelma menjadi perang yang panjang terhadap nelayan sebagai kelas pekerja. Saya jadi teringat dengan kutipan filsuf Adam Smith dimana-mana: "It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest".
Kembali ke tepi jalan. Matahari sudah mulai terik. Julia, seorang kawan perempuan, sudah bergegas keluar dari Kampung Bajo. Dia baru saja mendengarkan kisah seorang ibu, warga Kampung Bajo, untuk menjawab rasa penasaran: apakah Negara benar-benar hadir, ketika optimisme hidup sudah kian menyusut di kampung-kampung. Julia, rupanya tak hendak menceritakan pada saya. "Pak, jangan tanya-tanya dulu, kepala saya lagi penuh,"tuturnya.

Kendari,  14 Maret 2015

Popular posts from this blog

Deep Purple, Jakarta, 1975

MARET 2016. Saya bertemu dengan seorang kerabat, setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Pensiunan dari sebuah bank besar di negeri ini, penggemar sekaligus kolektor musik rock klasik. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika terakhir berjumpa, kami mempercakapkan dan menonton video Deep Purple, sebuah group  band  yang dibentuk di kota Hertford, Inggris, 1968. Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath merupakan pelopor aliran heavy metal dalam genre musik rock. Saya menangkap rasa takjub pada dirinya lantaran dapat menonton langsung konser musik Deep Purple di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 1975. "Sebagian Jakarta mati lampu, gelap. Konser mereka butuh banyak strom . Sound system dan lampu, mereka datangkan pakai pesawat kargo. Besar-besar. Orang baru pertama kali lihat konser seperti itu. Stadion penuh sesak, orang  berjubel menonton," ceritanya. Meski dalam sebuah pemberitaan, pemadaman listrik itu hanyalah gosip, "itu hanya bagian dari taktik promosi"....

Senja di Sidangoli

MATAHARI mulai tergelincir turun di kaki langit Sidangoli. Saya berdiri di bekas tambatan perahu penyeberangan menuju pabrik kayu lapis. Pabrik itu terasa senyap, sudah lama tak beroperasi, lantaran kehabisan pasokan bahan baku. Kita pun tahu pada satu masa penebangan kayu di hutan tidak pernah mengenal jeda. Atap bangunan di depan menara pengawas pabrik nampak runtuh, diselimuti semak belukar. Semula ada ribuan orang bekerja di sini. Dan, deretan kapal besi yang membuang sauh di depan pabrik.  "Lihat saja kalau basisnya industri, begitu kayu habis, habis semuanya," ujar seorang kawan pada saya semalam seraya menunjuk lampu-lampu meredup di lokasi pabrik. Pabrik itu dikuasai perusahaan kayu Tunggal Agathis Indah Wood Industries (Taiwi), salah satu tentakel Barito Pasific Grup milik taipan Prajogo Pangestu. Ia dijuluki lord of forest (penguasa hutan) oleh Majalah Far Eastern Economic Review, karena ceruk keuntungan yang berasal dari kayu logging dan pengolahan kayu. Bisnis...

Panderman, Ekologi Politik

TIBA sore di Panderman, pekan lalu. Sebuah jalan menanjak, di kaki Gunung Panderman, di Desa Oro-oro Ombo, Batu, Jawa Timur, yang sesak dengan rumah inap ( homestay ) yang disewakan pada para pelancong. Kata seorang warga, terdapat lebih 250 homestay di Batu. Bisnis ini tumbuh menggeliat mulai 15 tahun lalu, sejak adanya pasar malam, BNS ( Batu Night Spectacular ). "Setiap rumah, sedikitnya ada tiga bilik kamar yang disewakan,"ujarnya sembari mengkalkulasi. Mungkin relatif agak berbeda dengan hotel, boleh jadi kalau dihitung-hitung lebih hemat, terasa seperti rumah sendiri, bisa menginap sekeluarga dalam satu kamar. Toh, kita mesti lebih jeli, tidak seperti kita bayangkan sebelumnya, tarif tiba-tiba melejit setara hotel, ketika para pelancong tumpah ruah di musim liburan panjang. " Homestay juga dikenakan iuran wajib paguyuban, tidak seberapa, untuk uang ronda keamanan dan dana sosial, seperti untuk para janda, kalau pajak dari pemerintah itu kan untuk tambal-tambal a...

Ladang Tebu, Jalan Tol, Mojokerto

MOJOKERTO seperti borjuis kecil. Rasanya, saya tidak memiliki ungkapan yang lebih tepat. Perjalanan kembali ke kampung halaman, seperti menggeledah keranjang ingatan. Lebih sepekan, saya tinggal di sebuah tempat yang berada dalam narasi "sejarah besar" di republik ini. Tapi, saya tidak hendak bercerita soal itu. Lupakan sejenak mengenai  penemuan fosil tengkorak kanak-kanak purba, di Perning, sebuah desa kecil di timur laut Mojokerto, pada 1936. Atau, repihan kota tua Majapahit, di desa Trowulan (sebelumnya, bernama Trangwulan), di sebelah barat Mojokerto.  Saya penasaran mencari tahu lebih jauh. Saat bertemu sejumlah kawan lama semasa sekolah. Ketika percakapan yang tiba-tiba melompat pada: pabrik-pabrik mulai pindah ke tempat yang lebih rendah upah para pekerjanya.   Saya mendadak teringat akan penjelasan David Harvey, seorang geografer sekaligus antropolog. Aliran modal seperti proses molekuler, katanya. Dalam suatu percakapan mengenai buku yang ditulisnya: The New...