Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2016

Foto Tua

FOTO tua mungkin bukan untuk menghadirkan kembali kenangan lama. Bagi para penganut teori lingkaran sejarah, boleh jadi menaifkan nilai dari sebuah kenangan. Mereka memuji kata-kata klise: “tak ada hal yang baru di dunia”. Sejarah hanyalah sebuah siklus, yang mengikuti pola yang berulang-ulang. Namun bagi saya, foto tua dapat mengajukan tafsiran. Kita dapat mengajukan tafsiran baru, rekonstruksi mengenai suatu zaman. Tidak sekedar untuk mengingat, agar tidak lupa. Setumpuk foto-foto tua saya temukan dalam sebuah kardus berdebu di sudut kantor. Salah satu kardus kiriman dari kantor lama kami di Jalan Sunu, Makassar. Foto-foto tua yang tersimpan rapi itu, mengganggu perhatian saya. Bahkan, saya meminta jeda untuk sebuah diskusi, nasib perlindungan konsumen di era digital. Kami sedang mengamati secara serius, hiruk-pikuk para migran dan pribumi digital. Foto-foto tua itu merepresentasikan apa yang sudah dikerjakan pada dekade 1990-an. Saya jadi teringat dengan ungkapan saat itu: dari

Ruang Kota, Leisure

Denyut di jantung kota/Pusat  gelisah dan tawa/Dalam selimut debu dan kabut/Hitam kelam warnanya//Sejuta janji kota/Menggoda wajah-wajah resah … Semua berkejaran dalam bising/Mengapa sejuta wajah engkau libatkan/Dalam himpitan kegelisahan/Adakah hari esok, makmur sentosa/Bagi wajah-wajah yang menghiba// (Balada Sejuta Wajah, God Bless) GOD Bless, sebuah group band rock legendaris di negeri ini. Didirikan tahun 1973, dihitung sejak pementasan pertama kali mereka di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dahsyatnya group band ini mampu bertahan hingga 40 tahun lebih.[1] Tumbuh dari panggung pementasan, sebelum masuk dapur rekaman. Mereka menjadi band pendamping konser group rock dunia Deep Purple di Senayan pada 1975. God Bless dianggap dapat menjadi patron ( role model ) bagi anak muda sebagai penikmat musik, sekaligus yang menaruh minat membuat band rock. Balada Sejuta Wajah merupakan salah satu lagu dalam album bertajuk “Cermin”, yang merupakan judul lagu pembuka. Sebuah album yang dike

Badai dalam Perjumpaan Budaya

PIDATO Sri Mulyani di sebuah kampus, sehari sebelum dilantik kembali menjadi Menteri Keuangan, mengusik perhatian saya. Mantan pejabat teras Bank Dunia ini membicarakan badai yang sempurna. Sebuah badai yang sedang melumpuhkan negara-negara yang semula menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Di sisi lain, kita mendiami sebuah dunia yang paradoks. Dunia yang kini banjir informasi, akan tetapi cenderung tidak membuka pikiran dan wawasan kita, bahkan memudahkan kita memuntahkan prasangka, menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Sri Mulyani juga membicarakan ketimpangan di luar kendali korban. Kesenjangan, baginya, bukan sekedar ketimpangan pendapatan, melainkan ketimpangan peluang. Apa yang menarik perhatian saya. Dia mempercakapkan ketimpangan itu, berada di tempat dimana kita lahir dan orang tua kita. Tentu saja, yang dimaksud bukan karena kita lahir di tempat yang salah, atau bukan pula karena salah bunda mengandung kita. Baiklah, kita membuka kembali peta negeri i